Oleh: Nur Rosihin Ana
I. Pendahuluan
Bahasa merupakan alat komunikasi yang penting. Dalam Dekla¬ra¬si Sumpah Pemuda 1928 terdapat slogan yang mengangkat kata bahasa: “Berta¬nah Air Satu, Tanah Air Indonesia Berbangsa Satu, Bangsa Indonesia, Berbahasa Satu Bahasa Indonesia”. Ada juga slogan “Bahasa adalah alat pemersatu bangsa”.
Suku-suku bangsa di kawasan Arab berkomunikasi dengan bahasa Arab. Namun karena perbedaan latar belakang geografis, etnis, sejarah, menyebabkan mereka berbeda dalam dialek (lahjah). Namun terlepas dari perbedaan yang ada, bahasa Arab merupakan bahasa komunikasi resmi seluruh etnis yang ada di kawasan Arab.
II. Pembahasan
a. Pengertian Dialek (lahjah).
Menurut Hasan Shadily, Dialek (Yunani: dialektos), logat setempat atau sedaerah yang berbeda dengan bahasa baku (standar), karena kelainan ucapan dan aturan-aturan tata bahasa. Umpamanya bahasa Melayu ada dialek Deli, Jakarta, Ambon, Johor (bahasa tulisan baku, bukan Riau seperti secara disangka P.P. Rooda van Eysinga dan dijiplak yang lain-lain kemudian), Riau, dan dialek Manado. Ukuran pembeda, apakah kita berhadapan dengan dialek atau dengan bahasa, adalah derajat kemungkinannya untuk dipahami. Suatu dialek pada umum¬nya atau dalam garis besarnya masih dapat dipahami para pemakai bahasa baku atau dialek lain, sedangkan suatu bahasa tidak. Orang Sunda dapat mema¬hami dialek Sunda Brebes tapi tidak dapat memahami dialek Jawa Brebes, karena bahasanya lain, tetapi orang jawa dari Surabaya tidak akan terlalu sukar mema¬hami dialek Jawa Brebes tersebut. Sedangkan pengertian dialek (lahjah) menurut Dr. A. Zaki Badawi:
تنبثق اللهجة من اللغات العامة وتتميز بخواص معينة من حيث النطق والقواعد والكلمات ولكنها لا تتميز تميزا كافيا بحيث يجعل منها لغة مستقلة. وترتبط اللهجة عادة بمناطق جغرافية معينة (dialect areas).
Pengertian di atas memberikan ilustrasi bahwa dialek adalah subsistem dari bahasa. Bahasa resmi bangsa Indonesia adalah bahasa Indonesia. Namun di da¬lamnya terdapat berbagai dialek yang berbeda-beda. Bahasa Indonesia yang diu¬capkan orang yang berasal dari Demak, Solo, Yogyakarta berbeda dengan yang diucapkan oleh orang Batak, Sunda, atau orang Jakarta (Betawi). Baik berbeda dalam dialek maupun dalam tekanan suara (intonasi). Jakarta adalah Ibukota dan pusat pemerintahan RI. Posisi ini menjadikan Jakarta sebagai benteng pertahanan bahasa Indonesia. Namun justru penduduk Jakarta menggunakan bahasa dan dialek yang diadopsi dari bahasa negara lain, khususnya bahasa Cina, seperti jigo, cepek, ceban.
Begitu juga yang terjadi di kota Mekah karena menjadi tempat transit para pedagang. Di samping itu juga menjadi tujuan para peziarah Ka’bah untuk memuja kepada patung-patung dewa yang berderet di sekitar Ka’bah. Sehingga terjadi dinamika yang kurang sehat bagi perkembangan bahasa Arab. Para pengunjung yang berasal dari berbagai penjuru kawasan Arab ini mempunyai dialek yang berbeda. Di depan Ka’bah sering diadakan pentas apresiasi sastra (sya’ir), Setiap kabilah mengirimkan penyair terbaiknya. Ketika satu persatu penyair membacakan sya’irnya, muncul ragam dialek yang menjadi identitas suku tertentu.
Bahasa resmi orang Arab adalah Bahasa Arab. Namun mereka mempunyai dialek yang berbeda. Orang awam Yaman membaca/mengucapkan huruf jîm dengan G (Jamal:Gamal), sebagian lagi di antara mereka mengucapkan sa atau saufa dengan bâ. Suku Himyar mengucapkan al dengan am. Madrasah Lughah Arab terdapat di Basrah dan Kufah.
b. Pengertian ‘Arab
Arti kata Arab (‘araba): bangsa atau orang Arab. Kata ‘araba (عرب) dan kata jadiannya disebut 21 kali dalam al-Qur’an. Disebut 6 kali dalam surat at-Taubah: 90, 97, 98, 99, 101, 120; Yusuf: 2; ar-Ra’du: 37; an-Nahl: 103; Thaha: 113; asy-Syu’ara: 195; al-Ahzab: 20; az-Zumar: 28; Fushshilat: 3 dan 44; asy-Syuura: 7; az-Zukhruf: 3; al-Ahqaaf: 12; al-Fath: 11 dan 16; al-Hujuraat: 14.
Ayat-ayat tersebut di atas pada garis besarnya berbicara tentang dua hal. Pertama, tentang sikap orang-orang Arab Badwi, at-Taubah: ayat 90, 97, 98, 99, 101, 120; surat al-Ahzab: 20; surat al-Fath: 11 dan 16; dan surat al-Hujuraat: 14. Dalam surat al-Taubah ayat 97:
الأعراب اشد كفرا ونفاقا واجدر الا يعلموا حدودما انزل الله على رسوله والله عليم حكيم
“Orang-orang Arab Badwi itu, lebih sangat kekafiran dan kemu¬na¬fi¬kannya, dan lebih wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Menurut pakar bahasa al-Azhari, kata al-A’râb (الأعراب) di atas menunjuk siapapun yang tinggal yang jauh dari perkotaan atau tempat pemukiman umum, baik orang Arab maupun orang bukan Arab, dan baik yang tinggal di wilayah Arab atau bukan. Karena itu, tulis al-Jamal, mengutip pendapat al-Azhari, sungguh keli¬ru menduga kata ini adalah jamak dari kata ‘arab (عرب) karena yang dinamakan orang Arab adalah yang dapat berbahasa Arab, baik yang tinggal di pemukiman umum perkotaan/pedesaan maupun yang jauh di puncak gunung atau para nomaden. Di sisi lain, perlu diingat, bahwa yang dimaksud ayat ini bukan semua Badwi dan penduduk yang jauh dari pemukiman. Para a’râb (أعراب) itu, karena jauhnya tempat tinggal mereka dari kota dan tempat pemukiman, maka mereka hidup dalam kebiasaan mereka, antara lain berterus terang, dan berpegang teguh pada keyakinan dan adat istiadat mereka. Keberanian, kedermawanan, keeng¬ga¬nan ditindas merupakan sifat mereka yang terpuji. Tetapi karena jauh dari per¬kotaan, mereka tidak mengenal basa-basi, tidak mendengar tuntunan-tuntunan dan budi pekerti Rasulullah secara langsung. Maka wajar jika mereka tidak me¬ngetahui batas-batas ajaran agama.
Bangsa Arab dikenal sebagai suku nomad, tidak menetap, suka berpindah-pindah karena alasan sebagaimana tersebut di atas. Saya berasumsi bahwa kata urban (عربان), bentuk masdar dari kata ‘araba yang seringkali dijumpai dalam pembahasan ilmu-ilmu sosial, merupakan kata yang diadopsi dari bahasa Arab. Masyarakat urban adalah masyarakat yang tinggal di perkotaan atau di pedesaan namun bukan penduduk asli (pendatang). Mereka eksodus baik secara berkelom¬pok atau sendiri-sendiri meninggalkan desa mereka menuju kota atau desa lain untuk bekerja, belajar dan berbagai keperluan lainnya. Sehingga penggunaan kata urban, urbanisasi, dengan arti sebagaimana di atas itu dinisbatkan dengan karakter orang Arab yang nomaden.
Kedua, tentang diturunkannya al-Qur’an dengan bahasa Arab, dalam surat Yusuf: 2; ar-Ra’du: 37; an-Nahl: 103; Thaha: 113; asy-Syu’ara: 195; az-Zumar: 28; Fushshilat: 3 dan 44; asy-Syuura: 7; az-Zukhruf: 3; al-Ahqaaf: 12.
{انا انزلناه قرآنا عربيا} {وكذلك انزلناه حكما عربيا}
{وهذا لسان عربي مبين} {وكذلك انزلناه قرآنا عربيا...}
{بلسان عربي مبين} { قرآنا عربيا غير ذى عوج لعلهم يتقون}
{كتاب فصلت آياته قرآنا عربيالقوم يعلمون}
{ولو جعلناه قرآنااعجميالقالوا لولا فصلت اياتهءاعجمي وعربي}
{وكذلك اوحينااليك قرآنا عربيا} {انا جعلناه قرآنا عربيا لعلكم تعقلون} {...وهذا كتاب مصدق لسانا عربيا...}
Menurut Dr. Jawwad, kata lughat (لغة) menggunakan arti lahjah (لهجه, dialek), seperti perkatakaan: bahasa suku Qurays, Hudzail, Tsaqif, maksudnya adalah dialek-dialek mereka. Bahasa al-Qur’an bukanlah salah satu dari lughat (lahjah) Arab. Karena al-Qur’an diturunkan sifatnya ‘araby, maksudnya al-Qur’an diturun¬kan dengan menggunakan bahasa seluruh orang Arab (بلسان جميع العرب). Makna kata-kata لسان عربي dalam al-Qur’an sebagaimana di atas, penggunaan kata لسان adalah sebagai pengganti (badal) dari kata lughat (لغة) yang berfungsi memperkuat pengertian bahwa bahasa al-Qur’an bukanlah salah satu dari bahasa (lahjah) orang Arab, melainkan meliputi seluruh bahasa (lisan) orang Arab.
c. Munculnya Bahasa, Dialek (lahjah)
Klasifikasi manusia dalam entitas etnis dan bangsa adalah fitrah dari Allah SWT. Hal ini sebagaimana nash dalam al-Qur’an:
يأيهاالناس انا خلقنكم من ذكر وانثى وجعلنكم شعوبا وقبائل لتعارفوا ان اكرمكم عند الله اتقكم ان الله عليم خبير الله
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (al-Hujurat, 49: 13).
Bangsa merupakan sebuah institusi yang universal. Dalam bangunan se¬buah bangsa terdapat subsistem yang dinamakan suku. Kemudian dalam sub¬sistem suku terdapat kelompok-kelompok. Subsistem terkecil dari bangsa adalah keluarga kemudian individu-individu. Penafsiran ayat di atas menurut Ibnu Katsir:
وجعلهم شعوبا وهى أعم من القبائل وبعد القبائل مراتب أخر كالفصائل والعشائر والعمائر والأفخاد وغير ذلك وقيل المراد بالشعوب بطون العجم وبالقبائل بطون العرب...
Allah menjadikan kamu berbangsa-bangsa. Kata berbangsa-bangsa (شعوبا) lebih umum dari suku-suku. Subsistem dari suku-suku seperti fashail, ‘asya’ir, ‘amair dan afkhad dan lain-lain. Ada yang mengata¬kan, yang dimaksud dengan syu’ûb (شعوب) adalah klan ajam sedangkan qabâil (قبائل) adalah klan Arab…”
Bangsa adalah perkumpulan orang-orang karena didorong oleh faktor keturunan, kesamaan budaya, bahasa atau agama. Kumpulan orang-orang terse¬but tinggal di sebuah wilayah tertentu, membuat aturan-aturan sebagai landasan hidup berbangsa demi terciptanya stabilitas politik, sosial, ekonomi, budaya, per¬tahanan dan keamanan.
Manifestasi konsep ta’aruf antar individu, bangsa dan suku adalah dengan menggunakan bahasa sebagai sarana komunikasi. Karena faktor bahasa, komu¬ni¬kasi akan mengalami hambatan cukup signifikan, menimbulkan salah persepsi, bahkan bisa memicu konflik berkepanjangan. Sehingga tepatlah jika dikatakan bahwa bahasa merupakan alat perekat pemersatu bangsa. Seseorang akan merasa segan berinteraksi dengan orang lain jika gagap dalam berbahasa, baik karena tidak mampu berbahasa dengan baik dan benar, atau karena tidak memahami bahasa orang lain. Apalagi jika masing-masing mempunyai dialek yang berbeda dan perbedaan itu mempunyai konotasi berlawanan dari segi arti. Misal¬nya ada pertanyaan “Saya ingin menuju ke Cafe Semanggi, dari Jembatan Se¬manggi arahnya terus ke mana? Yang ditanya menjawab “Tahu” (menurut dialek Jakarta, kata ini berarti tidak tahu).
Dengan demikian, bahasa, dialek lahir dari keberadaan sebuah bangsa, su¬ku. Suatu bangsa, misalnya bangsa Indonesia, mempunyai bahasa resmi yaitu bahasa Indonesia. Namun karena faktor geografis, budaya, sejarah suku yang berbeda-beda, melahirkan dialek yang berbeda pula.
d. Kanibalisme Bahasa
Istilah kanibal seringkali digunakan dalam dunia binatang (zoology), ter¬masuk di dalamnya adalah manusia. Kanibal diartikan sebagai manusia pemangsa manusia. Kanibalisme bahasa adalah kondisi dimana satu bahasa menjadi punah karena dimangsa oleh bahasa lainnya. Dalam hal ini, penulis ingin meminjam teori Antonio Gramsci tentang hege¬moni. Mansour Fakih, dalam pengantar buku Gaga¬san-Gagasan Politik Gramsci mengatakan: “Bagi Gramsci, proses hegemoni ter¬jadi apabila cara hidup, cara berpikir dan pandangan pemikiran masyarakat bawah terutama kaum proletar telah meniru dan menerima cara berpikir dan gaya hidup dari kelompok elit yang mendominasi dan mengeksploitasi mereka.” Menurut Gramsci, hegemoni berarti penguasaan satu bangsa terhadap bangsa lainnya, atau menggunakan pengertian yang lebih umum, yaitu penguasaan antarbangsa atau antara kota dan desa.
Hegemoni negara atau beberapa negara terhadap negara atau beberapa negara lainnya berdampak pada pudarnya struktur politik, sosial, ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan negara yang dikuasai. Bahasa resmi sebuah negara yang hidup di bawah bayang-bayang hegemoni negara asing, sedikit demi sedikit dimasuki oleh bahasa tersebut. Di masa penjajahan Belanda, masyarakat Indone¬sia tidak asing, bahkan ada yang menguasai bahasa Belanda. Sampai sekarang sistem hukum di Indonesia masih masih didominasi sistem hukum produk Belanda yang sebenarnya sudah tidak relevan lagi.
Kondisi ironis bersimbah tragis juga dialami negara-negara dunia Islam. Kebodohan, Keterpurukan yang melingkupi sebagian besar negara-negara Islam, berdampak pada kemunduran peradaban. Islam yang pernah tampil gemilang di pentas peradaban, kini jatuh lunglai tak berdaya menatap peradaban Barat. Ketika Islam sedang naik daun di pentas, penemuan demi penemuan menggunakan label berbahasa Arab. Dalam kondisi sekarang, ketika penemuan-penemuan di bidang iptek dikuasai oleh dunia Barat, maka label yang dipakai menggunakan bahasa mereka.
Kamus bahasa Arab kedodoran mencari padanan kata untuk sebuah pe¬nemuan, misalnya apa bahasa Arabnya komputer dan satuan-satuannya, seperti mouse, keyboard, CPU, processor, cd room, web site dan program aplikasinya. Dalam kamus Arab makna kata telepon di samping dengan menggunakan kata aslinya (al-telephone), juga memakai kata al-hatif. Ketika ditemukan handphone, apakah bisa masuk dalam kategori al-hatif (?). Lain halnya jika penemuan itu berasal dari orang Islam.
Hal ini merupakan proses terjadinya kanibalisme atau hegemoni bahasa. Bahasa Inggris, Jepang, Cina, Korea tampil menghiasi produk barang, jasa dan produk budaya. Sementara negara-negara Islam yang kaya karena minyak tapi kebekuan menyelimuti otak mereka, sudah cukup berbangga ria mengkonsumsi produk-produk Barat. Sedangkan bagi negara Islam yang terpuruk memeluk ke¬mis¬kinan, hanya bisa ternganga menatap kemegahan bangsa lain seraya me¬ngangkat kitab suci yang tak berbunyi.
III. Konklusi
1. Dialek adalah logat setempat atau sedaerah yang berbeda dengan bahasa baku (standar), karena kelainan ucapan dan aturan-aturan tata bahasa.
2. Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa (lisân) Arab yang jelas yang dipakai oleh seluruh orang Arab, bukan dengan salah satu bahasa (lahjah) suku tertentu.
3. Lahirnya dialek disebabkan oleh faktor perbedaan gografis, antropologis.
4. Kanibalisme bahasa terjadi karena faktor hegemoni politik, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan dan Iptek oleh satu bangsa terhadap bangsa lainnya.
Daftar Pustaka
Ali, Attabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta, Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak: 1998), cet III.
Bâb (al), Ja’far Dak, Asrâru al-Lisân al-‘Araby, (Damaskus, Al-Ahali Lithibâ’ati wa al-Nasyr: 1990), cet. II,
Badawi, A. Zaki, Mu’jam Musthalahât al-‘Ulûm al-Ijtimâ’iyyah, (Beirut, Librairie Du Liban: 1986), New Impression.
CD Holy Qur’an Version 6.5, Tafsir Ibn Katsîr, (Perusahaan Perangkat Lunak “Sakhr”, 1997), Keluaran Kelima.
Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Ummat Islam, terjemahan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), Bagian Kesatu dan Dua, cet. II.
Shadily, Hasan, et. al., Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta, PT Ichtiar van Hove: tth) Edisi khusus, jilid 2.
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, (Jakarta, Lentera Hati: 2001), cet. I, jilid V.
Simon, Roger, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci, terjemahan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 1999), cet. 1.
Jakarta, 10 Mei 2004