29 Januari 2009

ANTROPOLOGI ISLAM

KAJIAN ‎ANTROPOLOGI DAN SOSIAL MASYARAKAT ISLAM
Oleh: Nur Rosihin ‎

I. Pendahuluan
Keberadaan suatu masyarakat tidak bisa dilepaskan dari atmosphere ‎yang melingkupinya. Beberapa faktor seperti geografis, demo¬grafis, memberi ‎pengaruh signifikan pada masyarakat dalam dinamika ber¬pi¬kir, ber¬tindak dan ‎bersikap.‎
Di samping itu, perbedaan geografis melahirkan warna kulit yang berbeda, ‎ada yang berkulit coklat, kuning, putih dan hitam, dalam ragam ras (etnik) ‎yang mempunyai ciri khas masing-masing sebagai iden¬titas entitas etnis ‎tertentu. Di atas semua itu, perbedaan spesies manusia me¬ru¬pakan ‎sunnatullâh yang tak terbantahkan dijelaskan dalam nash al-Qur’an. ‎
Perjalanan sejarah Islam di masa lalu yang kelam, bersimbah darah, ‎patut menjadi tela’ah kritis dalam rangka mendapatkan suatu pemahaman ‎yang komprehensip (jâmi’-mâni’). Berbagai faktor pendukung harus ‎dipetakan, diposi¬si¬kan secara simetris. Misalnya faktor geografis dan sosio-‎kultural yang mem¬punyai kaitan erat dengan kecenderungan suatu ‎masyarakat. Dengan memperhati¬kan variabel-variabel ini mempermudah ‎identifikasi kecenderu¬ngan ritme sejarah. ‎
Sementara, di belahan wilayah lain, muncul semangat Islam yang ‎kontradiktif dengan kondisi dimana Islam dilahirkan (Arab). Islamisasi Islam di ‎Asia Tenggara, khususnya Indonesia menampilkan corak pemahaman keis¬la¬‎man yang inklusif yang tercermin dalam sikap keberagaman dan keberaga¬‎maan yang moderat (tawâshuth), toleran (tasâmuh) berimbang (tawâzun). ‎Varian ini antara lain dilatarbelakangi kecermatan para penyebar Islam dalam ‎memahami pola-pola sosio-kultural yang berkembang di tengah-tengah ma¬‎syarakat. Identifikasi sosio-kultural yang matang, menghasilkan format ‎pende¬katan da’wah yang relevan dengan kondisi masyarakat, meskipun di ‎belakang hari muncul tudingan bahwa islamisasi di Indonesia merupakan ‎tahapan yang belum tuntas. Indikatornya misalnya dalam ritual masyarakat ‎penuh dengan aroma sinkretis, yaitu persenyawaan antara ajaran Islam ‎dengan budaya lokal yang sampai sekarang masih kental mewarnai upacara-‎upacara ritual Islam. ‎
Sebagai agama yang membawa umatnya menuju kebahagiaan di du¬‎nia dan akhirat (sa’âdatu al-dârain), Islam lahir di tanah Arab yang gersang ‎meradang, kering kerontang. Sebagai agama selamat, damai, sejahtera, wa¬‎jah Islam justru berhiaskan mahkota berdarah. Apa latar belakang timbulnya ‎pertumpahan darah (qitâl) yang melingkupi perjalanan sejarah Islam. Apakah ‎semata demi kejayaan Islam, menyalurkan hobi berperang para suku nomad ‎Arab, atau ada motivasi profit oriented yaitu mengejar akumulasi ghanîmah ‎dan fai’ yang ditinggalkan pemiliknya (musyrikin) yang meninggal di medan ‎peperangan atau lari menyelamatkan diri. ‎
Begitu juga dalam taqnîn (pembuatan UU), produk-produk hukum Is¬‎lam juga merupakan refleksi dari realitas sosio-kultural pada masanya. Di sisi ‎lain, transformasi sosio-kultural adalah sesuatu yang tak terelakkan mengi¬‎ringi sejarah peradaban yang berjalan dengan logikannya sendiri dan me¬‎nam¬pilkan pola-pola yang berbeda bahkan kontradiktif dengan wacana klasik.‎
Ruang lingkup kajian antropologi dan sosiologi masyarakat Islam ‎sangat luas karena masing-masing wilayah mempunyai varian-varian yang ‎berbeda antara satu wilaya dengan wilayah lainnya. Sosiologi masyarakat ‎Islam yang hidup di Asia Tenggara berbeda dengan masyarakat di Timur ‎Tengah karena masing-masing mempunyai sejarah dan kultur yang berbeda. ‎Sehingga performance dalam bertutur sapa, berfikir, bertindak dan ‎melakukan aktivitas ritual pun seringkali terjadi perbedaan-perbedaan. Oleh ‎karena itu, tulisan ini akan membatasi diri pada antropologi dan sosiologi ‎masyarakat Islam Arab. ‎
II. Definisi ‎
a. Definisi Antropologi
Antropologi (Yunani: Anthropos: manusia) ilmu pengetahuan tentang ‎manusia. “Anthropologi Fisis” mempelajari sifat-sifat jasmani manusia, di sini ‎termasuk juga rasiologi atau ilmu ras-ras. “Anthropologi Kebudayaan” mem¬‎pelajari kultur manusia, di sini termasuk juga etnologi dan prasejarah.‎ ‎ Dalam ‎A. Dictionary of the Social Sciences dijelaskan: ‎
الأنتروبولوجيا: علم الإنسان من حيث هو كائن فيزيقي واجتماعي ويتفرع من هذا العلم ‏مجموعة من العلوم المخصصة فى دراسة الإنسان، كالأنتروبولوجيا الفيزيقية والأنتروبولوجيا ‏الإجتماعية والأنتروبولوجيا الثقافية.‏

‎“Antropologi: pengetahuan tentang manusia dari sisi kondisi fisik dan ‎sosial. Dari ilmu ini lahir kumpulan beberapa cabang disiplin ilmu ‎tentang studi manusia, seperti antropologi fisik, sosial dan budaya.”‎ ‎ ‎

b. Definisi Antropologi Sosial
Antropologi sosial (Social Anthropology) adalah: ‎
الأنتروبولوجيا الإجتماعية: تهتم بدراسة الأشكال الأولية البسيطة للمجتمعات الإنسانية فى ‏المراحل البدائية من تطورها الذي يظهر فيها بوضوح تكامل وحدة البناء. فهي لا تشمل اذن ‏المراحل الأكثر تطورا وتركيبا في نمو هذه المجتمعات. وتعتبر الى حد ما جزءا من الأنتروبولوجيا ‏الثقافية.‏

‎“Antropologi Sosial (social anthropologi): Studi yang konsen terhadap ‎masalah-masalah utama yang melingkupi komunitas manusia, dalam ‎tingkatan-tingkatan awal perkembangannya yang nampak dari ‎kesempurnaan satu bangunan yang jelas. Antropologi sosial dalam ‎hal ini tidak memuat tingkatan-tingkatan mayoritas perkembangan dan ‎struktur dalam pertumbuhan sosial ini. Antropologi Sosial dianggap ‎sebagai bagian dari antropologi budaya.”‎

III. Pembahasan
a. Kondisi Sosial Arab pra-Islam
Semenanjung Arabia pra-Islam merupakan daerah terisolir dari penga¬‎ruh peradaban dua adidaya Romawi dan Persia. Dua adidaya imperial ter¬se¬‎but tidak melakukan ekspansi ke Arab, karena secara geografis dan demo¬‎grafis semenanjung Arabia dikelilingi hamparan gurun pasir yang kering dan ‎tandus. Sepanjang mata memandang hanya hamparan pasir yang ‎mengelabui mata dengan halusinasi, menyimpan misteri karena setiap saat ‎badai gurun datang menggulung pasir-pasir beterbangan mengikuti arah ‎badai bertiup dan menyapu apa saja yang merintanginya. Dengan kata lain, ‎Arabia adalah daerah yang minus sumberdaya alam, tanahnya tidak ‎produktif. Masyarakatnya hidup dalam kelompok-kelompok suku yang hidup ‎dalam tenda-tenda (karavan), oase, berpindah-pindah (nomad) dari satu ‎tempat ke tempat lainnya dan bertahan pada profesi sebagai penggembala ‎ternak (pastoral). Ideologi yang dianut masyarakat adalah ideologi pagan ‎yang mempercayai adanya bermacam-macam dewa sebagai sesembahan.‎
Dasar kesatuan hidup keluarga adalah patriarchal-agnatis, dimana ‎sekelompok masyarakat menurun secara langsung melalui garis laki-laki dari ‎nenek moyang dan di bawah otoritas laki-laki yang tua atau laki-laki kepala ‎keluarga.‎ ‎ Kondisi ini menempatkan laki-laki (kepala keluarga/suku) pada ‎posisi superior dan perempuan berada dalam inferioritas laki-laki. Posisi ‎kepala suku (selalu dijabat oleh laki-laki) sangat sentral, strategis dan taktis. ‎Kebijakan-kebijakan strategis dan taktis yang menjadi keputusan ketua suku ‎sangat sentralistik, tanpa reserve dan sifatnya mengikat bagi seluruh anggota ‎suku. Misalnya ketua suku menginstruksikan karavan pindah ke suatu tempat ‎atau instruksi untuk berperang melawan suku lain. ‎
Hal ini sangat kontras dengan peri-kehidupan masyarakat imperial. ‎Masyarakat imperial mendiami daerah-daerah yang subur sehingga pada ‎umumnya mereka adalah masyarakat agrikultural. Kehidupan mereka teratur ‎karena hidup menetap. Pola hidup masyarakatnya dinamis dan mereka ‎sudah mengenal ajaran monotheis.‎

b. Pengaruh Islam dalam Masyarakat Arab ‎
Setelah Islam datang, masyarakat Arab masih meneruskan tradisi ‎yang berurat akar dari nenek moyang mereka. Lahirnya Islam di tanah Arab ‎tentunya menampilkan corak tersendiri bagi kelangsungan misi suci da’wah ‎islamiyah. Lahirnya Islam di Arab tidak serta-merta membawa perubahan ‎drastis dalam peri-kehidupan masyarakat Arab. Bahkan kehadiran Islam ‎mengundang resistensi dari para ketua suku yang telah lama bercokol ‎menanamkan pengaruh hegemonik di tengah-tengah masyarakat Arab.‎
Namun setahap demi setahap misi da’wah Nabi terus berkumandang ‎meskipun seringkali berhadapan dan membentur tembok tebal kekuasaan. ‎Dalam lingkup internal suku Qurays—suku keturunan Nabi—terjadi friksi ‎dalam merespon ajaran-ajaran Nabi. Abdul Muthalib, kakek Nabi, adalah ‎seorang yang mempunyai pengaruh di Mekah. Meskipun belum secara resmi ‎menyatakan keislamannya, Abdul Muthalib siap membela Muhammad. Hal ini ‎memberikan saham dan proteksi bagi kelangsungan misi da’wah Nabi. Di lain ‎pihak, Abu Lahab cs memberikan respon negatif, bahkan terus merongrong ‎dan menghalangi langkah Nabi. Secara logika, bagaimana mungkin seorang ‎Abu Lahab yang berpengaruh harus tunduk kepada seorang Muhammad.‎
‎ ‎
c. Perang Suci
Kondisi gurun pasir yang panas berpengaruh terhadap pembentukan ‎karakter masyarakat Arab. Masyarakat Arab terkenal dengan karakter ‎mereka yang keras dan gemar berperang. Sehingga suatu hal yang ‎paradoksal jika perjalanan sejarah ekspansi Islam bersimbah darah.‎
Di samping itu, bunyi nash dalam al-Qur’an tentang perang (qitâl, dari ‎kata dasar qatala) memberikan legitimasi yang kuat kepada masyarakat Arab ‎Islam untuk mengobarkan perang suci. Kata qatala dan kata jadiannya ‎disebutkan sebanyak 170 kali dalam al-Qur’an. Di samping kata qatala, al-‎Qur’an juga memakai kata harb yang juga berarti perang. Kata harb disebut ‎sebanyak 4 kali dalam al-Qur’an, yaitu dalam surat al-Baqarah 2: 279; al-‎Maidah 5: 64; al-Anfal 8: 57; Muhammad 47: 4. ‎
Hobi berperang di satu sisi dan legitimasi nash yang sakral berpadu ‎menjadi simbiosis mutualis. Pada tahap tertentu, sikap heroisme ‘askar Islam ‎yang militan mampu meruntuhkan dua kerajaan adidaya Romawi di Barat dan ‎Persia di Timur dan memperluas jangkauan ekspansi hingga masuk wilayah ‎Eropa.‎
Di sisi lain, perang juga merupakan ajang mempertahankan harga diri ‎suku-suku Arab. Kabilah/suku menjadi populer dan dominan ketika ‎mempunyai track record tinggi dalam kemenangan di setiap ajang ‎peperangan. Sentimen antar suku acapkali memicu terjadinya peperangan. ‎Logika individu sudah membaur dalam logika komunal yang impulsif, ‎sehingga tiada lagi perasaan takut untuk memanggul senjata. Membela ‎kehormatan suku, tanpa memandang benar atau salah, adalah kewajiban ‎yang harus dipikul setiap anggota tanpa reserve. Bahkan setiap anggota suku ‎merasa terhina apabila sukunya menjadi ejekan suku lain. Kebanggan ‎terhadap suku/golongan ini sebagaimana dilukiskan dalam surat al-Mu’minûn: ‎‎53 Allah berfirman:‎
فتقطعوا امرهم بينهم زبرا كل حزب بما لديهم فرحون
‎“Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama ‎mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap ‎golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka ‎‎(masing-masing)”.‎

d. Apresiasi Puisi (Syair)‎
Di samping hobi berperang, masyarakat Arab pra-Islam juga juga ‎gemar mengadakan kontes apresiasi puisi (syair). Kontes biasanya diadakan ‎di samping ka’bah. Masing-masing peserta, baik atas nama individu atau ‎suku, membacakan hasil karyanya di depan ka’bah, disaksikan para ‎khalayak. Hasil karya tersebut kemudian ditempel di dinding-dinding ka’bah. ‎
Kontes apresiasi puisi ini juga menjadi ajang gengsi persaingan antar ‎suku. Setiap suku mengirimkan duta terbaiknya untuk berkompetisi dengan ‎duta dari suku lainnya. Tidak ada tim yang membuat juklak, juknis maupun ‎yang merancang event organizer kontes ini. ‎

IV. Konklusi
‎1.‎ Struktur sosio-kultural masyarakat Arab pra-Islam adalah masyarakat ‎kesukuan patriarchal nomaden;‎
‎2.‎ Kondisi geografis gurun sahara yang panas, kering kerontang, ‎berpengaruh pada pola hubungan keseharian yang keras;‎
‎3.‎ Hobi berperang antar suku di semenanjung Arab mendapatkan ‎legitimasi dari nash suci (ayat-ayat tentang qital). Atau pemahaman ‎sebaliknya, nash tentang qital merupakan refleksi dari peri-kehidupan ‎masyarakat yang gemar berperang;‎
‎ ‎


V. Daftar Pustaka

Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Umat Islam, terjemahan (Jakarta, ‎RajaGrafindo Persada: 2000), Bag. I dan II cet. II.‎
Mulia, T.S.G. dan K.A.H. Hidding, Ensiklopedia Indonesia, (Bandung, W. Van ‎Hoeve: tth) h. 91‎
Badawi, A. Zaki, A. Dictionary of the Social Sciences, (Beirut, Librairie Du ‎Liban, 1986), h. 21‎

Selengkapnya.....

28 Januari 2009

SISTEM EKONOMI ISLAM

Oleh: Nur Rosihin Ana

I.‎ Pendahuluan
Ajaran Islam mengandung tatanan-tatanan yang mencakup seluruh aspek kehidu‎pan seperti aspek sosio-ekonomi, budaya, politik, keamanan. Di samping itu juga mengatur ‎tentang hak dan kewajiban, hubungan individu dengan individu, masyarakat dan negara.


‎Tatanan tersebut merupakan misi suci Islam dalam rangka mewujudkan kehidupan yang ‎ideal, adil makmur, aman sejahtera lahir maupun batin. Di bidang ekonomi, Islam memberikan tuntunan yang bisa menjadi alternatif sistem perekonomian setelah gagalnya sistem ‎perekonomian Sosialis yang telah runtuh dan sistem Kapitalis yang masih bersikukuh ‎menguasai perekonomian dunia. Kapitalisme telah melahirkan kesenjangan yang tajam ‎antara negara maju, berkembang dan negara dunia ketiga. Beberapa dasawarsa peta dunia ‎didominasi oleh dua mainstream ideologi sentralistik yaitu ideologi Kapitalis dan Sosialis. ‎Kedua ideologi ini saling berlomba mem¬perluas jangkauan hegemoninya ke sejumlah ‎negara di dunia hingga memicu perang berkepanjangan.‎
Kapitalisme ‎ adalah penguasa tunggal perekonomian dunia setelah Uni Soviet se¬‎bagai komando perekonomian terpusat, runtuh pada awal dekade 1990-an. Pertarungan ‎ideo¬logis yang kemudian larut dalam perang dingin berakhir dengan kapitalisme sebagai ‎pemenang. Berakhirnya perang dingin, tidak saja menyebabkan berbagai perubahan men¬da¬‎sar dalam struktur kekuatan dunia, melainkan juga membawa nuansa baru dalam hubungan ‎ekonomi antar bangsa. Kehancuran komunisme menuntun negara-negara penganutnya un¬‎tuk mau tidak mau cenderung menatap pada ekstrim yang lain: dari perencanaan terpusat ke ‎mekanisme pasar.‎ ‎ ‎
Madzhab ekonomi Kapitalis sebagai penguasa tunggal ekonomi dunia telah gagal ‎membawakan misi keadilan ('adâlah), kesejahteraan (falâh) bagi kemaslahatan umat ma¬‎nusia. Justru sebaliknya, kapitalisme membawa dampak buruk bagi sejarah pere¬ko¬¬nomian ‎dunia. Karakter kapitalisme yang eksploitatif telah mewariskan kerusakan alam yang parah ‎bagi kelangsungan ekosistem. Eksploitasi besar-besaran tidak hanya terjadi pa¬da sumber¬‎daya alam, bahkan sumberdaya manusia dipalingkan dari hakekat ke¬ma¬¬nusiaan, memposi¬‎sikan manusia sebagai binatang materialis, hedonis yang berten¬ta¬ngan dengan fitrah ‎manusia sebagai makhluk beradab. Kapitalisme melahirkan konsentrasi kekayaan di tangan ‎segelintir orang di tengah kehidupan yang timpang. Bahkan praktek konglomerasi yang ‎tidak sehat memberikan andil cukup besar bagi runtuhnya perekonomian Indo¬nesia. Ketika ‎badai krisis menerjang Indonesia pada pertengahan tahun 1997, noktah hitam konglomerasi ‎tergambar menganga menampilkan guratan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). ‎
Konglomerasi merupakan bentuk keserakahan yang bertentangan dengan konsep ‎keadilan ('adâlah), menghambat kese¬jah¬te¬raan (falâh) yang merata bagi manusia. Kong¬lo¬‎merasi juga merupakan wujud pe¬mua¬san ambisi yang berlebihan dan keluar dari konteks ‎kemanusiaan. Islam se¬ba¬gai ajaran sangat respek dan menjunjung tinggi ikhtiar manusia se¬‎panjang tidak berten¬ta¬ngan dengan norma-norma aga¬ma dan kemanusiaan secara universal. ‎Nilai-nilai normatif yang dibawa¬kan Islam menjadi pijakan dalam memahami kecen¬de¬ru¬‎ngan yang ter¬ja¬di se¬kaligus men¬cari alternatif pemecahan yang tepat sasaran, mem¬bu¬tuh¬kan ‎pemikiran yang tidak hanya bersifat tradi¬sional, tapi juga pemikiran rasional dan glo¬bal. ‎Pemikiran tentang reaktualisasi pemi¬kiran keislamanan di bidang perekonomian men¬jadi ‎alternatif signifikan di tengah carut-marut sistem pereko¬no¬mi¬an Sosialis dan Kapi¬talis. ‎Profesor Jacquen Austry, ahli ekonomi berkebangsaan Perancis mengatakan: "Bahwa jalan ‎menum¬buh¬¬kan ekonomi tidak terbatas pada dua mazhab yang telah kita kenal, yaitu kapita¬‎lisme dan sosialisme saja, melainkan ada satu mazhab ekonomi ketiga yaitu mazhab ‎ekonomi Islam. Beliau berpendapat bahwa mazhab ekonomi Islam akan memimpin dunia di ‎kemudian hari karena mazhab ini merupakan susunan kehidupan yang sempurna."‎
Misi ekonomi Islam adalah menciptakan tatanan yang berkeadilan ('adâlah) dan ‎egaliter. Prinsip ekonomi Islam menitikberatkan pembahasannya pada aspek-aspek vital ‎yang menyangkut kepentingan masyarakat secara universal, lebih-lebih pada golongan fa¬‎kir-miskin, individu atau kelompok yang dizalimi oleh kebijakan penguasa atau pengu¬sa¬ha. ‎Keberpihakan pada masyarakat yang tidak diuntungkan secara ekonomi ini merupakan ‎bentuk kepedulian Islam dalam rangka meminimalisir ketimpangan sosio-ekonomi yang ‎diaki¬bat¬kan oleh konglomerasi oleh segelintir orang di berbagai bidang kehidupan ‎khususnya bi¬dang ekonomi. ‎
II. ‎ Pengertian Ekonomi Islam
Definisi ekonomi (economic) adalah suatu istilah yang dipakai untuk setiap tinda¬‎kan atau usaha atau proses yang bertujuan menciptakan barang-barang atau jasa-jasa yang ‎dimaksudkan akan memenuhi atau memuaskan kebutuhan-kebutuhan manusia. Lebih khu¬‎sus, istilah ini dipakai untuk menggambarkan corak produksi barang-barang dan jasa-jasa ‎dengan cara yang paling efektif dan sesuai dengan pengetahuan teknik yang sudah ada.‎ ‎ ‎
Sedangkan definisi ekonomi Islam, menurut Prof. M. Abdul Mannan, MA, Ph.D, ‎ilmu ekonomi Islam merupakan il¬mu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-‎masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.‎ ‎ Sebagian ahli berpendapat ‎bahwa ekonomi Islam merupakan sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang ‎disimpulkan dari Al-Qur'an dan As-Sunnah dan merupakan ba¬ngu¬nan perekonomian yang ‎didirikan atas landasan dasar-dasar tersebut sesuai dengan ling¬kungan dan masanya.‎ ‎ ‎
Definisi ekonomi Islam yang pertama menekankan pembahasannya pada masalah-‎masalah sosial, khususnya yang berkaitan dengan masalah-masalah ekonomi serta impli¬ka¬‎si-implikasi logis yang ditimbulkannya. Obyek kajian ekonomi Islam terhadap masalah ‎ekonomi kerakyatan merupakan panduan etis dalam menjalankan peran dan fungsi ekonomi ‎sebagai indikator pertumbuhan dan pemerataan menuju terciptanya kesejahteraan rakyat. ‎Rakyat sebagai pemilik kedaulatan mempunyai hak untuk menda¬patkan penghidupan yang ‎layak sesuai dengan tingkat pertumbuhan di suatu negara. Kemudian rakyat juga ‎berkewajiban ikut andil mensukseskan stabilitas ekonomi yang dirumuskan oleh ne¬ga¬ra. ‎Untuk mengetahui hak dan kewajiban di bidang ekonomi, individu harus menge¬ta¬hui ‎konstelasi di bidang ekonomi. Bagaimana mekanisme perputaran ekonomi, aliran uang ‎‎(cash flow) dan barang. Perubahan yang pesat dalam bidang Iptek secara langsung ber¬‎pengaruh pada mekanisme pasar. Oleh karena itu dibutuhkan analisa mendalam bagaimana ‎merumuskan konsep perekonomian yang berdasar pada tata-nilai islami.‎
Definisi ekonomi Islam kedua memberikan tekanan pada tataran nilai etis eko¬no¬‎mis. Salah satu prasayarat untuk menciptakan kondisi ekonomi yang stabil dibutuhkan rule ‎of game yang fair. Al-Qur'an ‎ sebagai pandangan hidup (way of life) kaum muslimin mem¬‎berikan landasan etis-normatif di bidang perekonomian. Landasan etis-normatif tersebut ‎kemudian diperjelas lagi oleh As-Sunnah ‎, Ijmak‎ ‎ dan Qiyas‎ ‎. Ketiga re¬fe¬rensi ini menjadi ‎pijakan bagi para mujtahid dan para ekonom Islam untuk menyusun sejumlah rumusan ‎sebagai panduan bagi aktifitas ekonomi yang relevan dengan transformasi sosial, budaya, ‎politik dan keamanan.‎
III.‎ Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam
a. ‎ Keadilan ('Adâlah)‎
Misi keadilan adalah substansi dari ajaran Islam, sehingga Al-Qur'an be¬be¬rapa ‎kali mengemas topik-topik yang berkaitan keadilan. Keadilan dalam Islam sangat universal, ‎menyentuh seluruh aspek kehidupan. Dalam menyampaikan misi keadilan, Al-Qur'an tidak ‎hanya memakai kata 'adl, tetapi juga memakai kata yang sinonim dengannya, yaitu qisth. ‎Allah berfirman dalam surah an-Nisâ': 135‎
يآأيها‎ ‎الذين أمنوا كونوا قوامين بالقسط شهداء‏‎ ‎لله ولو على أنفسكم أو‎ ‎الوالدين والأقربين‎ ‎
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar ‎penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri ‎atau ibu bapa dan kaum kerabatmu.‎
Ayat di atas membahas masalah keadilan dan persaksian. Kata 'adl adalah antitesa ‎dari kata zhulm. Adil berarti menempatkan sesuatu pada proporsi yang relevan. Sikap adil ‎adalah manifestasi dari kepribadian manusia yang berdasar pada nilai-nilai keimanan dan ‎ketakwaan. Nilai-nilai keadilan merupakan fithrah dari Allah SWT, sehingga manusia ‎senantiasa dituntut untuk mempertahankan eksistensi keadilan dalam semua bidang ‎kehidupan, termasuk dalam bidang ekonomi. Sungguh berat menghadapi kemelut batin ‎dalam diri (perang me¬lawan hawa nafsu) ketika dihadapkan pada pilihan yang bertentangan ‎dengan nor¬ma-norma agama. Begitu juga ketika berhadapan dengan kedua orang tua atau ‎famili. Berlaku adil kepada diri sendiri, kedua orang tua dan famili di bidang eko¬¬nomi ‎berarti mencegah terjadinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme KKN.‎
Konsep keadilan di bidang ekonomi adalah perlindungan terhadap hak-hak ‎individu. Setiap individu harus terbebas dari eksploitasi yang dilakukan oleh individu-‎individu lainnya. Islam dengan tegas melarang seorang muslim meru¬gi¬kan orang lain.‎ ‎ ‎Firman Allah dalam surat Asy-Syu'arâ: 183‎
ولا تبخسوا‎ ‎الناس أشياءهم ولا تعثوا فى الأرض مفسدين
Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu ‎merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan. ‎
Konsep keadilan juga berarti pemerataan distribusi kekayaan. Ketidakadilan di ‎bidang ekonomi melahirkan terjadinya konsentrasi kekayaan pada negara adi¬daya, ‎kelompok kecil orang atau individu. Konsentrasi kekayaan (konglomerasi) merupakan ‎bentuk konspirasi jahat antara para pengusaha dengan penguasa. Mengenai konglomerasi ‎ini, Allah berfirman Allah dalam surat al-Hasyr: 7‎
‏...كي لا يكون دولة بين الأغنياء منكم...‏
‎...supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di ‎antara kamu...‎
Ayat tersebut di atas berbicara tentang pembagian harta benda fai, harta ram¬pasan ‎yang diberikan Allah kepada kaum muslimin, tanpa melalui pertempuran yang berasal dari ‎harta benda orang kafir. Pada suatu peristiwa, Rasulullah mem¬be¬¬¬rikan rampasan dari Bani ‎Nadhir kepada orang-orang Muhajirin, karena waktu itu mereka adalah orang yang fakir. ‎Sedangkan orang-orang Anshar tidak mene¬ri¬ma bagian apapun, sebab mereka dinilai lebih ‎baik kondisi ekonominya diban¬ding¬kan orang Muhajirin. ‎
Implementasi ayat tersebut oleh Rasulullah di lapangan, pertama, untuk men¬¬cipta¬‎kan kesejahteraan umum yang merata dan mampu bertahan dalam jangka panjang, serta ‎diperlukan strategi yang memberikan perhatian yang seimbang an¬ta¬ra pertumbuhan dan pe¬‎merataan. Rasulullah memberikan contoh yang feno¬menal dengan melaksanakan strategi ‎pertumbuhan yang berimbang, dengan hanya mem¬¬berikan fasilitas kepada kelompok yang ‎pa¬ling lemah: Kaum Muhajirin. Feno¬mena kelompok Anshar adalah indikator pertum¬bu¬‎han, sedangkan kelompok Muhajirin adalah indikator pemerataan. Dengan memberikan fa¬‎silitas kepada Mu¬ha¬¬jirin, diharapkan mereka dapat berkembang seperti berkembangnya ‎kaum An¬shar. Kedua, untuk melaksanakan strategi pertumbuhan seperti itu, diperlukan pe¬‎me¬rintahan yang adil, bijaksana dan konsisten dalam menjabarkan kebijakan di lapangan.‎ ‎ ‎
b. ‎ Solidaritas Sosial
Sistem perekonomian Islam dibangun atas dasar solidaritas sosial. Soli¬da¬ri¬tas ‎sosial dalam Islam tercermin dari sikap tolong-menolong (gotong royong) antar sesama ‎manusia dalam hal kebaikan. Dalam surat al-Ma'idah: 2 Allah SWT berfirman:‎
وتعاونوا على البر والتقوى ولا تتعاونوا على الإثم والعدوان
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan ‎jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. ‎
Ayat ini memberi spirit akan pentingnya tolong-menolong atau kerja sama dalam ‎hal-hal yang bernilai posistif. Dalam bidang ekonomi, menurut Kunto¬wi¬joyo, ta'âwun itu ‎dapat pula menjadi kaidah bagi persekutuan yang bersifat mikro, misalnya dalam satu ‎pabrik atau perusahaan. Self management pekerja dan pemi¬likan asset-asset perusahaan ‎oleh karyawan, akan meningkatkan tanggung jawab karyawan pada perusahaan, suatu hal ‎yang sangat baik dalam era yang penuh kom¬petisi. Jadi ada ta'âwun antara pemilik modal ‎dan pemrakarsa dengan karya¬wan. Ta'âwun yang bermula dari kaidah normatif, perlu dasar ‎legal-rasional melalui proses demokratis.‎ ‎ ‎
Ta'âwun adalah sebuah upaya kreatif individu yang yang terpancar dari sisi-sisi ‎kemanusiaan dan dilandasi oleh ajaran moral agama (Islam) terhadap individu lainnya. ‎Melalui gerakan ta'âwun akan tercipta sinergi yang sangat potensial bagi terciptanya ‎atmosphere ekonomi yang harmonis, selaras, serasi dan seimbang. Imple¬mentasi konsep ‎Ta’awun yang cukup strategis yaitu mendistribusikan sebagian melalui ibadah zakat, infak, ‎sha¬daqah dan hibah. Misi sosial yang terkandung dalam ibadah zakat, pada hake¬kat¬nya ‎merupakan bentuk kepedulian Islam dalam rangka meminimalisir jumlah ke¬miskinan. ‎Bagaimanapun juga, keberadaan ‘kumis’ (kumuh dan miskin) akan tetap menghiasi wajah ‎du¬nia. Memotong kumis hingga habis tanpa bekas adalah sesuatu yanng mustahil. Sehingga ‎yang bisa dilakukan adalah upaya maksimal meminimalisir tumbuhnya kumis. ‎
Arti zakat dari segi bahasa adalah: persekutuan antara dua hal: berkembang dan ‎kesucian ‎‏(مشتركة بين النماء والطهارة)‏‎. Ibadah zakat diwajibkan pada tahun kedua hijrah sebelum ‎diwajibkannya puasa Ramadhan. Ibadah zakat sekaligus mengan¬dung dua dimensi spiritual, ‎yaitu ibadah personal dan sosial. ‎
عن ابن عباس أن النبى صلى الله عليه وسلم بعث معاذا إلى اليمن فذكر الحديث وفيه: ‏إن الله قدافترض عليهم صدقة فى أموالهم توءخذ من أغنيائهم فترد فى فقرائهم. (متفق ‏عليه واللفظ للبخارى)‏
‏ ‏Dari Ibnu Abbâs Nabi Saw. mengutus Mu'âdz ke Yaman seraya menyebutkan ‎hadits sebagai berikut: Sesungguhnya Allah telah mewajibkan (bagi kaum ‎muslimin) memberikan sedekah harta-hara mereka yang diambil dari para orang‏ ‏kaya untuk kemudian dikembalikan (diserahkan) kepada para orang fakir. ‎
Harta merupakan titipan (amânah) dari Allah yang harus didistribusikan pada ‎jalan yang diridhai-Nya. Manusia secara de facto memang memiliki keka¬yaan, tetapi secara ‎de jure pemiliknya adalah Allah. Karena itu Allah mempunyai disposal right atas keka¬‎yaan. Pandangan Islam tentang kekayaan ini berbeda, baik dengan kapitalisme maupun ‎sosialisme. Kapitalisme menjadikan individu sebagai pemilik de facto dan de jure, sedang¬‎kan sosialisme menyatakan bahwa se¬cara de facto dan de jure kolektifitaslah (negara, ‎masyarakat) yang memiliki. Kapi¬talisme menganggap bahwa selfishness adalah sebuah ‎virtue (nilai), sedangkan sosialisme justru altruism-lah yang paling bernilai.‎
Kesetiakawanan sosial lewat ibadah zakat menunjukkan kepedulian Islam ‎terhadap masyarakat ekonomi lemah sangat tinggi. Sehingga Al-Qur'an se¬ringkali mengutip ‎kata zakat setelah kata shalat. Firman Allah surat Al-Baqarah: 43‎
وأقيموا الصلاة وأتوا الزكاة واركعوا مع الراكعين
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku'lah bersama orang-orang ‎yang ruku'.‎
Shalat merupakan bentuk ritual berdimensi vertikal antara individu dengan Allah. ‎Sedangkan zakat mengandung dua dimensi yaitu vertikal dan horisontal. Untuk mencip¬ta¬‎kan harmonitas sosial, Allah mewajibkan ibadah shalat sebagai bentuk pengabdian seorang ‎hamba kepada-Nya, dan mewajibkan zakat, di samping sebagai bentuk ketaatan kepada-‎Nya juga merupakan bentuk kepedulian individu terhadap kondisi lingkungan sosialnya. ‎Oleh ka¬rena itu, sikap apatis si kaya terha¬dap kondisi lingkungannya merupakan tindakan ‎tak bermoral dan keluar dari konteks manusia sebagai makhluk sosial. Lebih tragis lagi bila ‎dengan kekayaan itu si kaya berani membayar mahal untuk sebuah status simbol, memberi ‎makanan he¬wan-hewan piaraan kesayangan dengan minuman dan makanan bergizi. ‎Sementara bayi-bayi di lingkungan tersebut tidak terpenuhi kebutuhan gizinya.‎
Skala prioritas dari misi dan orientasi zakat terfokus pada upaya mengu¬rangi ‎angka kemiskinan. Khususnya memerangi "kemiskinan mutlak", yaitu mereka yang me¬‎ngalami kondisi kehidupan yang buruk karena pe¬nyakit, buta huruf, kekurangan gizi, dan ‎kekumuhan sebagai korban-korban ka¬rena tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya.‎ ‎ ‎
Usia kemiskinan hampir sebaya dengan sejarah kehidupan manusia. Dan ‎sepanjang sejarah, belenggu kemiskinan memunculkan implikasi sangat negatif, terlebih ‎lagi jika kemiskinan terjadi karena program atau rekayasa individu terhadap sekelompok ‎orang. Kerawanan-kerawanan sosial menjadi bom waktu yang me¬¬nge¬rikan. Orang-orang ‎yang tertindas dan terpuruk dalam kemiskinan bisa mem¬bangun solidaritas laksanana ‎kawanan srigala yang lapar mengejar mangsa.‎
c. ‎ Halâlan Thayyibâ
Prinsip Islam tentang halâlan thayyibâ (halal dan baik) merupakan panduan etis ‎dalam dunia bisnis. Barang-barang yang diproduksi, diperjualbelikan haruslah barang-‎barang yang masuk dalam kategori diperbolehkan (halâl) dan baik (thayyib). Produsen dan ‎penjual di tingkat agen maupun pengecer mendapatkan keu¬ntungan secara fair, tidak ada ‎unsur penipuan dalam substansi maupun kom¬po¬sisi produk. Di samping itu hak-hak konsu¬‎men terlindungi dari praktek-praktek kotor yang dilakukan oleh produsen maupun penjual ‎yang ingin mengeruk keun¬tungan yang sebesar-besarnya. Persaingan di pasar yang kian ke¬‎tat, memunculkan produk makanan, minuman, dan produk-produk baru lainnya yang sama ‎sekali baru, baik produk import maupun domestik. Oleh karena itu kon¬su¬men harus jeli de¬‎ngan produk-produk yang dijual di pasar. Sebelum membeli se¬buah produk, konsumen hen¬‎daknya memeriksa komposisi yang tertera dalam kemasan. Apakah di dalamnya terkan¬‎dung hal-hal yang dilarang oleh agama, apakah barang dalam kondisi baik, belum melam¬‎paui masa kadaluwarsa dan cocok untuk dikonsumsi. Mengenai barang-barang yang rusak ‎atau cacat, pembeli mempunyai hak untuk mengembalikan kepada penjual atau menga¬‎dukan (complain) kepada pihak produsen. Dalam hal ini ulama Syafi'iyyah berpendapat:‎
إن كان بعض المبيع فاسدا لاينتفع به وبعضه غير فاسد ينتفع به، كان للمشترى الحق فى ‏رده وأخذ ثمنه كاملا، بدون أن يلزم بشئ عما أحدثه فيه من التغيير، لأن له العذر فى ‏ذلك حيث لا يمكنه معرفته إلا بكسره.‏
Apabila sebagian barang yang dijual (telah dibeli oleh konsumen) dalam kondisi ‎rusak, tidak dapat berfungsi dan sebagian dapat berfungsi dengan baik, maka ‎pembeli mempunyai hak untuk mengembalikan barang (complain) dan meminta ‎kembali harga barang (yang telah dibayarkan) dengan utuh, tanpa dibebani ‎kewajiban atas perubahan yang terjadi pada barang, karena dia dalam posisi ‎terhalang sehingga tidak memungkinkan baginya untuk mengetahui kondisi ‎barang kecuali dengan cara memecahkannya (membuka kemasan).‎ ‎ ‎
Meskipun apa yang tertera dalam kemasan bukan jaminan, setidaknya konsumen ‎sudah bertindak hati-hati untuk menghindari diri dari mengkonsumsi makanan maupun ‎minuman yang dilarang oleh agama (ingat kasus Ajinomoto yang menghebohkan itu). ‎Firman Allah dalam surah al-Baqarah: 172‎
يآأيهاالذين أمنوا كلوا من طيبات مارزقناكم واشكروا لله إن كنتم إياه تعبدون ‏
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang ‎Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya ‎kepada-Nya kamu menyembah.‎
Dalam sistem ekonomi Islam, produk barang baik makanan, minuman harus ‎termasuk dalam kategori barang yang sah (diperbolehkan) dan thayyib (baik) untuk ‎diperjualbelikan maupun dikonsumsi. Firman Allah dalam surah al-Baqarah: 173‎
إنماحرم عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وماأهل به لغير الله فمن اضطر غير باغ ولا عاد ‏فلا إثم عليه إن الله غفور رحيم
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, ‎dan binatang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa ‎dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan ‎tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah ‎Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ‎
Tiga golongan pertama dilarang karena hewan-hewan ini berbahaya bagi tubuh, ‎yang berbahaya bagi tubuh tentu berbahaya pula bagi jiwa.‎ ‎ Menurut jumhur ulama, yang ‎dimaksud dengan keharaman bangkai yaitu ‎‏ الإ نتفاع بها بأكل أو غيره‎, mengambil manfaat dengan ‎mengkonsumsi atau lainnya (menjual, pen).‎
Thayyibâ berarti bahwa makanan yang dikonsumsi maupun dijual harus baik dan ‎cocok untuk dimakan, tidak kotor, menjijikkan sehingga merusak selera. Karena itu tidak ‎semua yang diperkenankan boleh dimakan dan diminum dalam semua keadaan.‎ ‎ ‎
IV.‎ Identitas Ekonomi Islam
a.‎ Kebebasan Individu dalam berusaha
Setiap individu mempunyai kebebasan dalam berpikir, bertindak dan ber¬sikap. ‎Allah menciptakan segala apa yang ada di bumi adalah untuk kesejahteraan seluruh ‎manusia. Manusia diberi kebebasan mengelola, membudidaya sumber¬da¬ya alam yang ‎dikaruniakan oleh Allah sesuai dengan tingkat kemampuan dan kecerdasan mereka. Firman ‎Allah dalam surat al-Baqarah: 29 ‎
هو الذى خلق لكم مافى الأرض جميعا...‏
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu... ‎
Namun kebebasan tersebut dibatasi oleh etika-etika Islam. Sebab kebebasan yang ‎berlebihan dan keluar dari konteks kemanusiaan berakibat fatal bagi kelangsungan ekosis¬‎tem alam. Eksploitasi sumber daya alam seperti eksploitasi hutan secara besar-besaran oleh ‎perusahaan-perusahaan yang mendapatkan Hak Pengelolaan Hutan (HPH) dari pemerintah, ‎sehingga hutan menjadi gundul dan berdampak erosi dan bahaya bencana banjir. ‎
Kebebasan manusia dalam berusaha menempati posisi yang mulia dalam Islam. ‎Kebebasan berusaha (Ihtiyâr) merupakan implementasi dari peran manusia sebagai khalifah ‎Allah yang memegang amanah di bumi. Sebagai makhluk yang dibekali dengan kecerdasan ‎‎(akal), memungkinkan manusia untuk berusaha sesuai dengan kemampuan yang dimiliki¬‎nya. Dalam Islam, usaha yang bermuatan positif adalah termasuk dalam kategori ibadah. ‎Sekecil apapun usaha yang dilakukan oleh individu akan tampak hasilnya di kemudian hari. ‎Firman Allah dalam surah an-Najm: 39-42 ‎
وأن ليس للإنسان إلا ماسعى، وأن سعيه سوف يرى، ثم يجزيه الجزاء الأوفى، وأن إلى ‏ربك المنتهى
Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah di¬‎usahakannya. Dan bahwasannya‏ ‏usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepa¬da¬‎nya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling ‎sempurna, dan bahwasannya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu).‎
Ayat tersebut di atas mengisyaratkan akan pentingnya sebuah 'proses'. Ke¬mu¬dian ‎di dalam proses ada tahapan-tahapan. Di dalam tahapan-tahapan ada skala-skala prioritas. ‎Untuk mencapai kesuksesan dalam usaha, seseorang harus berproses le¬wat usaha keras ‎yang dijalani dengan penuh kesungguhan dan tawakkal (menye¬rahkan sepenuhnya apa ‎yang telah diusahakan kepada Allah SWT). Usaha yang di¬lakukan individu adalah proses ‎untuk mencapai sesuatu, baik yang berupa mate¬ri seperti kekayaan maupun yang immateri ‎seperti penghargaan, status simbol.‎
Kebebasan manusia dalam aktifitas ekonomi yang paling utama adalah un¬tuk ‎memenuhi kebutuhan primer (primary need) yang meliputi: pakan (makan) sandang ‎‎(pakaian), papan (rumah/tempat tinggal), kesehatan dan pendidikan. Namun dalam Islam, ‎bekerja tidak hanya sekedar untuk memenuhi unsur-unsur material, melainkan ada nilai ‎transendental yaitu bahwa bekerja merupakan ibadah. Hal ini sebagaimana kaidah ‎ushûliyyah: ‎لا يتم الواجب المطلق إلا به فهو واجب‎.‎
Islam mengakui pandangan universal bahwa kebebasan individu bersing¬gu¬ngan ‎atau dibatasi oleh individu lain. Menyangkut masalah hak individu dalam kaitannya dengan ‎masyarakat, para sarjana muslim sepakat pada prinsip-prinsip sebagai berikut: ‎
‎1.‎ Kepentingan masyarakat yang lebih luas harus didahulukan dari kepentingan pribadi.‎
‎2.‎ Melepas kesulitan harus diprioritaskan dibanding memberi manfaat ‎‏ (درء المفاسد مقدم على ‏جلب المصالح)‏‎ meskipun keduanya sama-sama merupakan tujuan syari'ah.‎
‎3.‎ Kerugian yang lebih besar tidak dapat diterima untuk menghilangkan yang le¬bih kecil. ‎Manfaat yang lebih besar tidak dapat dikorbankan untuk manfaat yang lebih kecil. ‎Sebaliknya, bahaya yang lebih kecil harus diterima/¬di¬ambil untuk menghindarkan ‎bahaya yang lebih besar, sedangkan manfaat yang lebih kecil dapat dikorbankan untuk ‎mendapatkan manfaat yang lebih besar.‎
Maka dalam hal ini kebebasan yang melekat pada manusia adalah kebebasan yang ‎relatif, terkait dengan keberadaan alam raya dan seisinya, termasuk di dalamnya adalah ‎komunitas manusia. Stigma pelupa, lemah, keluh kesah yang melekat pada manusia cukup ‎memberikan kesimpulan bahwa kebebasan manusia adalah limited. Sebab segala sesuatu ‎yang unlimited sepenuhnya berada di sisi Allah SWT. ‎
b.‎ Hak Milik Pribadi
Kebebasan manusia untuk mencari rizki yang halal pada tahap tertentu melahirkan ‎hak milik pribadi. Islam memberikan pembenaran terhadap individu untuk memiliki asset ‎sejumlah tertentu yang diperoleh berdasarkan pengetahuan, kemampuan (skill) yang ‎dimiliki individu dengan jalan yang halal. Firman Allah surat al-Baqarah: 188‎
ولاتأكلوا أموالكم بينكم بالباطل وتدلوا بها إلى الحكام لتأكلوا فريقا من أموال الناس بالإثم ‏وأنتم تعلمون
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu ‎dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu ‎kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda ‎orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. ‎
Ayat di atas merupakan larangan memakan harta dengan jalan yang batil. Juga ‎menyinggung praktek-praktek memperkaya diri dengan ber¬sem¬bunyi di balik jubah hukum. ‎Menyelesaikan perkara melalui jalur pengadilan pada hakikatnya adalah un¬tuk mencari ‎solusi penyelesaian yang adil dan cermin kesadaran warga negara yang taat pada hukum. ‎Namun ketika hukum tunduk kepada kepentingan, maka keputusan yang diam¬bil berda¬‎sarkan order dari pihak-pihak yang berkuasa baik secara materi maupun posisi. ‎
Dalam bidang ekonomi, salah satu sarana untuk memperoleh hak milik ada¬lah ‎melalui usaha perdagangan (bussiness) secara fairplay. Firman Allah surat an-Nisâ': 29‎
يأيهاالذين أمنوا لاتأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم ولا ‏تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta ‎sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang ‎berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh ‎dirimu; sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu. ‎
Ayat di atas merupakan penegasan larangan memakan harta orang lain dengan ‎cara yang batil, seperti mencuri, menipu, memeras. Menurut Syekh Muhammad 'Abduh, ‎kata al-bâthil adalah lawan kata atau antitesa dari al-haqq ‎‏(أن الباطل هو ما يقابل الحق ويضاده) ‏‎.‎
Ayat tersebut juga memberi solusi untuk memperoleh harta, yaitu berasal dari ni¬‎lai keuntungan (profit value) dari sebuah usaha dagang (bussiness) yang berlangsung de¬‎ngan prinsip saling menguntungkan, tidak merugikan salah satu pihak. Kepemilikan pribadi ‎dari hasil yang merugikan orang lain adalah sama dengan menari di atas penderitaan orang ‎lain. Di samping itu, memakan harta yang bukan haknya juga berpengaruh kepada ‎kejiwaan, sehingga tidak ada ketenteraman dan keseimbangan dalam kehidupan. Yang ‎tergambar dalam pikiran adalah "besok makan di mana, menginap di mana, dengan siapa" ‎dan merancang agenda "besok makan siapa". Hal ini sangat kontras dengan keluhan si ‎miskin “besok makan apa dan bagaimana cara memperolehnya”.‎
Hak milik pribadi dalam Islam bukanlah sesuatu yang mutlak. Karena pada hake¬‎katnya alam raya dan seisinya adalah kepunyaan Allah. Manusia diberi ke¬per¬cayaan ‎‎(amânah) untuk mengelola dengan sebaik-baiknya sehingga semakin ber¬kembang dan bisa ‎dimanfaatkan oleh sesamanya. Firman Allah surat al-Mâidah: 120‎
لله ملك السموات والأرض وما فيهن وهو على كل شئ قدير
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; ‎dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. ‎
Jadi pada hakekatnya manusia tidak mempunyai apa-apa karena segala apa yang ‎ada dalam alam raya dan seisinya adalah kepunyaan Allah. Sehingga milik pribadi yang ‎berada dalam kekuasaan individu di dalamnya terdapat hak individu lainnya. Firman Allah ‎surat adz-Dzâriyât: 19‎
وفى أموالهم حق للسائل والمحروم
Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan ‎orang miskin yang tidak mendapat bahagian.‎
Menurut riwayat, ayat ini turun ketika Rasulullah mengirim pasukan bersen¬ja¬ta. ‎Dalam pertempuran, pasukan Rasulullah mendapat kemenangan dan ghanî¬mah. Setelah ‎selesai peperangan datanglah orang-orang miskin meminta bagian¬nya. Ayat ini merupakan ‎penegasan bahwa pada harta ghanîmah terdapat bagian kaum fakir miskin.‎
Karena hak milik pribadi dalam Islam tidak bersifat mutlak, maka harta yang ‎berada dalam kekuasaan individu mempunyai fungsi sosial. Fungsi-fungsi sosial yang ber¬‎si¬fat karitatif itu antara lain seperti zakat, shadaqah, hibah, waqaf. Program zakat terutama ‎ber¬tu¬ju¬an meminimalisir angka pengangguran dan kemis¬ki¬nan. Meskipun peranan zakat ‎belum mam¬pu mengatasi tingkat kemiskinan yang terus membengkak, bukan berarti ‎peranan zakat tidak efektif. Pro¬ble¬matika sosial yang sangat kompleks, membu¬tuh¬kan ana¬‎lisa dan identifikasi ma¬salah secara akurat, faktual dan komprehenship. Sehingga muncul ‎for¬mulasi ba¬¬ru tentang bentuk institusi dan manajemen zakat yang betul-betul berhasil-guna ‎dan berdayaguna meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan di bidang ekonomi. ‎
V.‎ Kesimpulan
‎1.‎ Runtuhnya Sosialisme dan hegemoni Kapitalisme terhadap perekonomian dunia ‎terbukti gagal menciptakan kesejahteraan (falâh) bagi umat manusia. Sehingga sistem ‎perekonomian Islam menjadi alternatif setelah gagalnya kedua sistem tersebut. ‎
‎2.‎ Sistem perekonomian Islam berlandaskan pada Al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas ‎yang memberikan guidence tentang prinsip-prinsip keadilan (‘adâlah), solidaritas ‎sosial, halâlan thayyibâ.‎
‎3.‎ Dalam pandangan Islam, aktivitas manusia dalam bidang ekonomi yang bertujuan ‎membangun kemashlahatan merupakan aktivitas yang bernilai ibadah. ‎
‎4.‎ Kepemilikan yang berada dalam genggaman manusia adalah kepemilikan muqayyad ‎‎(limited), karena kepemilikan muthlaq (unlimited) sepenuhnya berada dalam kekuasaan ‎Allah SWT. ‎
‎5.‎ Kekayaan yang dimiliki seseorang tidak mungkin terwujud tanpa adanya faktor ‎pendukung berupa keterlibatan berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung. ‎Sehingga menjadi kewajiban individu muslim yang mendapat anugerah kekayaan untuk ‎mendistribusikan kekayaannya melalui aksi sosial yang karitatif dalam bentuk program ‎zakat, infaq, shadaqah, hibah, waqaf, kepada pihak-pihak yang tidak diuntungkan secara ‎materi. Aksi ini sangat strategis dalam rangka meminimalisir angka pengangguran, ‎kemiskinan menuju terciptanya tatanan sosial yang harmonis, selaras, serasi dan ‎seimbang sebagaimana cita ideal yang menjadi misi suci Islam.© ‎


Daftar Pustaka

Abduh, Muhammad, Tafsîr al-Manâr, (Mesir: Math'ba'ah Qâhirah, 1380 H.) cet. IV, juz 5‎
Abdurachman, A, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan, Jakarta: Yayasan ‎Prapanca, 1963‎
Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995‎
Antonio, Muhammad Syafi'i, Bank Syari'ah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani ‎Press, 2001, cet. II
Assal (Al), Ahmad Muhammad, dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem, Prinsip dan ‎Tujuan Ekonomi Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1999, cet. I
Badawi, A. Zaki, A. Dictionary of the Social Sciences English, French, Arabic‏ (معجم ‏مصطلحات العلوم الاجتماعية)‏‎ Beirut: Maktabah Lubnan, 1978, cet. I. ‎
Basri, Faisal H., Ekonomi Indonesia Menjelang Abad XXI: Distorsi Peluang dan Kendala, ‎Jakarta: Erlangga, 1995, cet. I
Brewer, Anthony, Kajian Kritis Das Kapital Karl Marx, Jakarta: Teplok Press, 2000, cet.II‎
Bukhari (Al), Shahih Bukhari, Semarang: Thoha Putra ‎
Chapra, M. Umer, Islam dan Pembangunan Ekonomi, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, ‎cet. I
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Medinah ‎Munawwarah: Khadim al Haramain as Syarifain li Thiba'at al Mush-haf, 1411 H.‎
Haroen, Nasrun, Perdagangan Saham di Bursa Efek Tinjauan Hukum Islam, Ciputat: ‎Kalimah, 2000, cet. I‎
Kamali, Muhammad Hashim, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka ‎Pelajar, 1996, cet. I
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1999, cet. III‎
Mannan, M. Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima ‎Yasa, 1997.‎
Saleh, Qamaruddin, et. al., Asbabun Nuzul, (Bandung: CV Diponegoro, tt.), cet. II.‎
Suseno, Franz Magnis, Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan ‎Revisionisme, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001, cet. V
Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995, cet. I.‎
Weber, Max, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, Surabaya: Pustaka Promothea, ‎‎2001, cet. II‎
Zawawi, Ali, dan Saifullah Ma'shum, Penjelasan Al-Qur'an tentang Krisis Sosial, Ekonomi ‎dan Politik, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, cet. I.‎


Menguak tirai pagi
Jakarta, 11 Pebruari 2004‎
Pukul 4.24 WIB. ‎

Selengkapnya.....

MUHKAMÂT DAN MUTASYÂBIHÂT

‏‏(المحكمات والمتشابهات)‏
Oleh: Nur Rosihin Ana‎


A. Pendahuluan

Al-Qur’an adalah kalâm Allah yang diturunkan kepada baginda Nabi Muhammad ‎SAW melalui Malaikat Jibril. Dalam rentang waktu sejak al-Qur’an diturunkan, berbagai ‎diskursus yang menyangkut berbagai aspek dalam al-Qur’an terus dilakukan sampai ‎sekarang, sehingga menghasilkan khazanah disiplin ilmu-ilmu al-Qur’an (‘ulûm al-‎Qur’ân).‎

Diibaratkan lautan teduh, al-Qur’an tidak akan pernah kering ditimba, meskipun ‎pasokan distribusi hujan dari langit sudah terhenti sama sekali. Keindahan panorama laut ‎senantiasa menarik minat para wisatawan untuk menghirup pesonanya. Para pecinta ‎lingkungan hidup penuh dedikasi dan keikhlasan menjaga kelestarian ekosistem laut dari ‎pencemaran. Para ilmuwan dengan teliti melakukan riset untuk mengkaji materi kelautan.‎ Sementara hamparan lautan membentang luas, kandungannya sangat majemuk, ‎namun semuanya dalam kesatuan integral ekosistem laut. Kejernihan air di laut seringkali ‎melahirkan persepsi, interpretasi yang keliru ketika dilihat secara kasat mata. Misalnya dari ‎tanjung terlihat dasar laut yang dangkal, padahal kedalamannya lebih dari lima meter. Oleh ‎karena itu, untuk mengetahui akumulasi materi kelautan, dibutuhkan beberapa instrumen, ‎metodologi pendekatan yang relevan. Pola-pola pendekatan lama seperti terjun bebas tanpa ‎bantuan perlengkapan alat pernafasan, oksigen, kacamata selam, kurang mendapatkan hasil ‎optimal karena keterbatasan stamina tubuh menahan nafas, jarak pandang terlampau dekat ‎sehingga obyek di dasar laut yang ditangkap oleh mata pun terbatas. Bahkan telah dikem¬‎bangkan teknologi kapal selam mini berpenumpang 1-2 orang yang dilengkapi perangkat ‎digital canggih untuk memotret, mendeteksi, menganalisis kehidupan di dasar laut.‎
Proses yang kurang optimal karena keterbatasan instrumen dan metodologi tersebut, ‎membuahkan output yang bias dan mengacaukan logika akal sehat. Apalagi bila output ‎tersebut menjadi referensi para pemerhati lingkungan dan kalangan akademisi. Lebih tragis ‎lagi adalah ketika terjadi penyimpangan esensial dalam melakukan interpretasi. Misalnya ‎ketika berada di dasar laut tampak binatang kecil, badanya membentuk huruf S dan ‎berkepala kuda (kuda laut). Namun karena keterbatasan cara pandang sehingga timbul ‎interpretasi huruf S itu identik dengan $, symbol mata uang dollar Amerika karena di lokasi ‎itu terdapat bangkai kapal Amerika yang tenggelam akibat agresi Jepang dalam peristiwa ‎Pearl Harbour. Begitu juga misalnya penyelam melihat obyek yang menyerupai hewan ‎raksasa tergolek di dasar lautan. Setelah penyelam kembali ke permukaan dia membuat ‎interpretasi bahwa ada ikan paus raksasa sedang melahirkan. Padahal itu adalah kapal ‎selam milik Rusia yang tenggelam karena baling-balingnya dihantam rudal Amerika. Oleh ‎karena itu, analisa komprehenship (jâmi’ dan mâni’), didukung instrumen, akurasi data dan ‎metodologi pendekatan yang relevan merupakan prasyarat yang harus dipenuhi untuk ‎menangkap kata-kata dalam ayat al-Qur’an yang menyimpan makna tersembunyi atau ‎bermakna ganda, sehingga tidak terjadi deviasi dalam interpretasi. ‎
B. Pengertian Muhkamât dan Mutasyâbihât

Kata Muhkamât adalah bentuk plural dari kata muhkam yang merupakan isim ‎maf’ul (passive participle) dari kata ahkama dan berasal dari akar kata dasar hakama yang ‎artinya: mengatur, memim¬pin, memerintahkan, mendekritkan, menitahkan, memutuskan. ‎Kata-kata yang berasal dari akar kata hakama disebut sebanyak 210 kali dalam al-Qur’an. ‎Kata Mutasyâbihât ber¬asal dari kata dasar syabaha yang artinya: mirip, sama, serupa. Kata-‎kata yang berasal da¬ri akar kata syabaha disebut sebanyak 12 kali, disebut sebanyak tiga ‎kali dalam surat Al-Baqarah; dua kali dalam surat Ali Imrân; surat An-Nisâ’; empat kali ‎dalam surat Al-An’âm; surat Ar-Ra’du; dan surat Az-Zumâr. Sedangkan ayat al-Qur’an ‎yang berbicara mengenai muhkamat dan mutasyabihat terdapat dalam surat Ali Imran (3): 7‎
هو الذى أنزل عليك الكتب منه ءايت محكمت هن أم الكتب وأخر متشبهت فأماالذين فى ‏قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشبه منه ابتغآء الفتنة وابتغآء تأويله ومايعلم تأويله إلا الله والرسخون فى ‏العلم يقولون ءامنا به كل من عند ربنا وما يذكر إلا أولوا الألبب ‏‎ ‎
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara ‎‎(isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan ‎yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam ‎hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-‎ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ‎ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan ‎orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-‎ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat ‎mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.‎

Ayat di atas memberikan ilustrasi bahwa ayat-ayat yang terkandung dalam al-‎Qur’an terbagi menjadi dua kategori yaitu Muhkamat dan Mutasyabihat. Ayat-ayat ‎muhkamat adalah (‎أم الكتاب ‏‎ ) ummul kitâb/induk kitab suci ini. Kata ( ‎أم‎ ) um terambil dari ‎akar kata yang bermakna “dituju/menjadi arah”. Ibu dinamai um karena ibu adalah arah ‎yang dituju oleh anak. Imam adalah arah yang dituju oleh yang mengikutinya, sehingga ‎mereka tidak melangkah sebelum sang imam melangkah. Makmum tidak boleh ruku’ ‎sebelum imamnya ruku’, tidak pula sujud sebelum sang imam sujud. Ayat-ayat al-Qur’an ‎yang masuk dalam Um al-Kitab, atau dengan kata lain ayat-ayat muhkamat, adalah yang ‎kepadanya merujuk segala ketetapan serta menjadi penjelas terhadap ayat-ayat lain yang ‎bersifat mutasyabihat, yakni yang samar artinya, sehingga memerlukan keterangan dan ‎penjelasan tambahan. ‎
Kata um berbentuk tunggal, sedang ayat-ayat muhkamat banyak, dan karena itu ayat ‎ini menunjuk ayat-ayat tersebut dalam bentuk jamak ( ‎هن‎ ) hunna/mereka untuk ‎menunjukkan bahwa kedudukannya sebagai induk bukan dalam keberadaan ayat-ayat itu ‎secara berdiri sendiri, tetapi secara keseluruhan. Al-Biqa’i menulis bahwa, “karena sesuatu ‎yang muhkam merupakan sesuatu yang sangat jelas sahingga keterikatan satu ayat dengan ‎yang lain atau pemahaman arti satu ayat dengan ayat yang lain sedemikian mudah, maka ‎ayat-ayat yang muhkam yang banyak itu diperlukan sebagai satu kesatuan, dan dengan ‎demikian ayat-ayat mutasyabih dengan mudah pula dirujuk maknanya kepada ayat-ayat ‎muhkam itu. Ini mudah bagi yang pengetahuannya mendalam serta tulus niatnya”. ‎
Ayat-ayat Muhkamât yaitu yang kandungannya jelas, sehingga hampir-hampir tidak ‎lagi dibutuhkan penjelasan tambahan untuknya, atau yang tidak mengandung makna selain ‎yang terlintas pertama kali dalam benak. Ada juga yang memahami ayat-ayat muhkamât ‎dalam arti ayat-ayat yang mengandung perintah melaksanakan sesuatu atau larangan. ‎
Sedangkan ayat-ayat Mutasyâbihât yaitu bila ada ayat-ayat yang serupa (makna) ‎dengan yang lain. Kata ini (mutasyâbih) dalam penggunaannya, seringkali menunjuk ‎kepada keserupaan dua hal atau lebih yang menimbulkan kesamaran dalam membedakan ‎ciri masing-masing. Jadi yang dimaksud dalam hal ini adalah ayat-ayat yang mengandung ‎kesamaran dalam maknanya. Sementara ulama berpendapat bahwa kesamaran itu muncul ‎karena:‎

‎1.‎ Salah satu kata yang digunakan tidak popular di kalangan pendengarnya. Seperti jika ‎Anda berbicara kepada seseorang di pedesaan yang tidak mengerti satu suku kata yang ‎bisa jadi popular di kota tempat Anda. Kata (‎ابا‎ ) abban dalam QS. ‘abasa (80): 31, ‎tidak diketahui artinya oleh Umar Ibn Khatthab ra., sehingga ayat itu –pada mulanya- ‎buat beliau adalah mutasyâbih. Termasuk dalam bagian ini –menurut banyak ulama- ‎huruf-huruf yang terdapat pada awal surah-surah tertentu, seperti Alif Lâm Mîm. ‎
‎2.‎ Kata yang digunakan mempunyai arti yang bermacam-macam, seperti kata (‎قروء‎) qurû’ ‎yang dapat berarti “suci” dan dapat juga berarti “haid”. Nah, yang manakah yang ‎dimaksud oleh ayat al-Baqarah (2): 228, yang memerintahkan wanita yang dicerai agar ‎menanti tiga qurû’? Ulama berbeda pendapat akibat kesamaran tersebut.‎
‎3.‎ Makna yang dikandungnnya tidak jelas, seperti ayat-ayat yang berbicara tentang ‎persoalan metafisika, nama atau sifat-sifat Allah, dan lain-lain. Apa makna “tangan ‎Allah” atau “wajah-Nya” dan lain-lain? sekali lagi, di sini pun terdapat perbedaan. ‎

Ada ulama yang membagi mutasyâbih dalam tiga kelompok ayat:‎
‎1.‎ Ayat-ayat yang kandungannya mustahil diketahui manusia, seperti ayat-ayat yang ‎berbicara tentang sifat-sifat Allah, waktu kedatangan hari kiamat, dan semacamnya.‎
‎2.‎ Ayat-ayat yang dapat diketahui melalui penelitian seksama, seperti ayat-ayat yang ‎kandungannya bersifat umum, atau yang kesamarannya lahir dari singkatnya redaksi ‎dan atau susunan kata-katanya.‎
‎3.‎ Ayat-ayat yang hanya diketahui oleh para ulama yang sangat mantap pengetahuannya ‎dengan melakukan penyucian jiwa. Ayat-ayat semacam ini tidak dapat terungkap ‎maknanya hanya dengan menggunakan nalar semata-mata.‎

Allah SWT tidak menentukan yang mana ayat mutasyâbih dan mana pula yang ‎muhkam. Bahkan dalam kenyataannya, ada ayat yang oleh sementara ulama dinilai muta¬‎syâbih, sedang ulama yang lain menilainya muhkam, demikian juga sebaliknya. Karena itu, ‎agaknya tidak keliru bila dikatakan bahwa ayat-ayat mutasyâbih antara lain bertujuan untuk ‎mengantar setiap muslim berhati-hati ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. ‎
Di sisi lain, adanya tiga kelompok ayat-ayat yang mutasyabih seperti dikemuka¬kan ‎ini, bertujuan -sekurang-kurangnya bagi kelompok yang pertama- untuk menyadar¬kan ‎manusia tentang keterbatasan ilmu mereka, di samping menjadi semacam ujian ten¬tang ‎kepercayaan manusia terhadap informasi Allah SWT. Sementara itu, untuk ayat-ayat ‎kelompok kedua dan ketiga, ia dapat merupakan dorongan untuk lebih giat melakukan ‎pem¬bahasan dan penelitian, sekaligus untuk menunjukkan peringkat pengetahuan dan ‎kedudukan ilmiah seseorang.‎

C. Ayat-ayat Muhkamât (definitif)‎
Firman Allah dalam surat ‘Ali Imran ayat 7 merupakan signal bahwa dalam al-‎Qur’an terdapat ayat-ayat yang muhkamat dan mutasyabihat. Namun Allah tidak merinci ‎ayat-ayat yang masuk dalam kategori muhkamat dan mutasyabihat, sehingga muncul ‎beberapa perbedaan pendapat di kalangan ulama. ‎
Menurut Abu ‘Utsman: al-muhkam yaitu fâtihatu al-kitâb (surat al-fatihah) karena ‎fâtihatu al-kitâb merupakan bagian dari shalat. Menurut Muhammad ibn Fadhl, al-muh¬‎kam yaitu surat al-Ikhlash karena surat ini hanya menyinggung masalah tauhid. Ada pen¬‎dapat yang mengatakan, seluruh ayat al-Qur’an itu muhkam sebagaimana firman Allah ‎surat Hûd ayat 1: ‎‏ الر كتاب أحكمت اياته‎, Alif Laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya ‎disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci.‎ ‎ Maksudnya diperinci atas ‎beberapa macam, ada yang mengenai ketauhidan, hukum, kisah, akhlak, ilmu pengetahuan, ‎janji dan peringatan dan lain-lain.‎ ‎ ‎
Ada pula yang mengatakan sebaliknya, al-Qur’an itu seluruhnya mutasyabih ‎sebagaimana firman Allah surat al-Zumar ayat 23: ‎كتابا متشابها‎ . Sedangkan menurut Ibn ‎Abbas, ayat-ayat yang muhkamat yaitu firman Allah surat al-An’âm ayat 151: ‎قل تعالوا أتل ما حرم ‏ربكم عليكم ‏‎ dan tiga ayat berikutnya, dan firman Allah yang berkaitan dengan Bani Israil surat ‎al-Isrâ ayat 23: ‎وقضى ربك ألا تعبدوا الا اياه وبالوالدين احسانا‎.‎

D. Ayat-ayat Mutasyâbihât (spekulatif) ‎
Kata-kata dalam al-Qur’an yang mutasyabih misalnya: ‎
‎1.‎‏ ‏Kata abba (‎أبّا‎ ) dalam surat ‘Abasa (80): 31 Allah berfirman:‎
وفكهة وأبا
dan buah-buahan serta rumput-rumputan,‎

Kata abba dalam ayat sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Anas bahwa pada ‎waktu Umar Ibn Khatthab ra membaca surat ‘Abasa, Umar mengetahui seluruh arti kata-‎kata dalam surat ini kecuali kata abba. Suatu kata seringkali terdengar asing (gharîb) di ‎telinga seseorang atau komunitas masyarakat karena tidak dikenal dan tidak dipakai dalam ‎komunitas tersebut. Misalnya kata oyong (nama sayuran) bukanlah kata yang asing bagi ‎sebagian besar ibu-ibu rumah tangga di Jakarta. Namun kata tersebut sangat asing di telinga ‎masyarakat Jawa Tengah karena di daerah-daerah Jawa Tengah nama sayuran oyong ‎dikenal dengan nama-nama: gambas, cmt, mm, trms. ‎

‎2. kata ‎قروء‎ dalam surat al-Baqarah (2): 228:‎
والمطلقت يتربصن بأنفسهن ثلثة قروء...‏
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali ‎quru…‎

Lafazh ‎قروء‎ adalah bentuk jama’ dari ‎قرء‎ , menurut Imam Syafi’i kata ini berarti ‎الطهر‎ ‎‎(suci), sedangkan menurut Imam Hanafi berarti ‎الحيض‎ (menstruasi).‎ ‎ Karena adanya kon¬tro¬‎versi, dimana kata ini mempunyai makna konotatif dan kontradiktif sehingga menim¬bulkan ‎implikasi hukum yang berbeda. Artinya, menurut Imam Syafi’i, perempuan (sudah digauli) ‎yang dicerai suaminya hendaknya menunggu sampai tiga kali masa suci. Sedangkan ‎menurut Imam Hanafi, perempuan tersebut menunggu sampai tiga kali menstruasi. ‎

‎4.‎ Kata ‎يد‎ Dalam surat al-Mâidah (5): 64 ‎
وقالت اليهود يد الله مغلولة...‏
Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu",… ‎
‎ ‎
Kataيد ‏‎ dalam ungkapan bahasa Arab berarti: 1). Anggota badan, tangan (‎الجارحة‎), ‎firman Allah surat Shâd ayat 44: ‎وخذ بيدك ضغثا‎ , Dan ambillah dengan tanganmu seikat ‎‎(rumput); 2) Kenikmatan (‎النعمة‎), orang Arab bilang: ‎كم يد لى عند فلان، أي كم من نعمة لى قد أسديتها له‎ ; 3). ‎Kekuatan (‎القوة‎), surat Shâd ayat 17: ‎واذكر عبدنا داود ذاالأيد، أي ذاالقوة‎ , dan ingatlah hamba Kami ‎Daud yang mempunyai kekuatan; 4. Kekuasaan (‎الملك والقدرة‎) firman Allah surat Ali Imrân ‎ayat 73: ‎قل ان الفضل بيد الله يؤتيه من يشآء‎ ; 5) Anugerah, pemberian (‎صلة‎) surat Yâsin 71: ‎‏...مما عملت ‏ايدينا...، أي مما عملنا نحن‎ ; 6). Penguatan, advokasi, bantuan (‎التأييد والنصرة‎), Nabi Muhammad SAW ‎bersabda: ‎يد الله مع القاضى حتى يقضي والقاسم حتى يقسم ‏‎ . ‎

Dalam surat al-Fath (48): 10‎
إن الذين يبايعونك إنما يبايعون الله يد الله فوق أيديهم...‏
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya ‎mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka,… ‎

‎4. Kata ‎وجه‎ , Firman Allah surat al-Baqarah (2): 115‎
ولله المشرق والمغرب فأينما تولوا فثم وجه الله...‏
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu ‎menghadap di situlah wajah Allah…‎

Al-Thabari menyebutkan bahwa ayat ini turun berkenaan tentang suatu kaum suatu ‎ketika tidak dapat melihat arah kiblat yang tepat, sehingga mereka shalat ke arah yang ‎berbeda-beda.‎ ‎ Menurut Ibn Abbas, ayat ini di-naskh (mansukhah) dengan surat al-‎Baqarah: 144, ‎وحيث ما كنتم فولوا وجوهكم شطره‎ . Diriwayatkan dari Mujahid dan Dhahak, ‎bahwasannya ayat ini muhkam, artinya, di mana saja kamu berada, baik di timur maupun ‎barat, di situlah wajah Allah dan kita diperintahkan untuk menghadap ke arah ka’bah.‎ ‎ ‎Sebab antara timur dan barat terdapat kiblat, sebagaimana sebuah hadits riwayat Abi ‎Hurairah: ‎‏ عن ابى هريرة قال، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم، مابين المشرق والمغرب قبلة لأهل المدينة واهل الشام واهل العراق‏‎.‎ ‎ ‎
Firman Allah surat al-Baqarah (2): 272‎
ليس عليك هدهم ولكن الله يهدى من يشآء وما تنفقوا من خير فلأنفسكم وما تنفقون إلا ‏ابتغآء وجه الله... ‏
Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi ‎Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-‎Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), ‎maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan ‎sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah… ‎

Firman Allah surat Ali ‘Imran (3): 72‎
وقالت طآئـــفة من أهل الكتب ءامنوا بالذى أنزل على الذين أمنوا وجه النهار واكفروا ءاخره ‏لعلهم يرجعون
Segolongan (lain) dari Ahli Kitab berkata (kepada sesamanya): ‎‎"Perlihatkanlah (seolah-olah) kamu beriman kepada apa yang diturunkan ‎kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang ‎dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang mu'min) ‎kembali (kepada kekafiran).‎

Ayat ini diturunkan berkaitan dengan Ka’b ibn Asyraf, Malik ibn al-Shaf dan ‎lainnya, mereka berkata untuk merendahkan kaumnya: "Perlihatkanlah (seolah-olah) kamu ‎beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat Rasul) ‎pada wajah siang ( ‎وجه النهار‎ ), maksudnya permulaan siang (‎أوله‎ ).‎ ‎ Dengan demikian ‎interpretasi dari wajah siang ( ‎وجه النهار‎ ) dalam ayat ini berarti permulaan siang (‎أول النهار‎ ).‎

Firman Allah Surat Yusuf (12): 9‎
اقتلوا يوسف أواطرحوه أرضا يخل لكم وجه أبيكم وتكونوا من بعده قوما صلحين
Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu daerah (yang tak dikenal) supaya ‎perhatian ayahmu tertumpah kepadamu saja, dan sesudah itu hendaklah kamu ‎menjadi orang-orang yang baik."‎

Firman Allah surat Yusuf (12): 93‎
اذهبوا بقميصى هذا فألقوه على وجه أبى يأت بصيرا وأتونى بأهلكم أجمعين‏
Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah dia ke ‎wajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali; dan bawalah keluargamu ‎semuanya kepadaku".‎



Firman Allah surat ar-Ra’d (13): 22‎
والذين صبروا ابتــغآء وجه ربهم...‏
Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, ‎
Firman Allah surat ar-Rûm (30): 38‎
فــئات ذاالقربى حـقه والمسكين وابن السبيل ذلك خـــــير للذين يريدون وجه الله وأولئك هم ‏المفلحون
Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) ‎kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang ‎lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka ‎itulah orang-orang beruntung.‎

Firman Allah surat ar-Rûm (30): 39‎
ومآ ءاتيــتم من ربا ليربوا فى امول الناس فلا يربوا عند الله ومآ ءاتيـــتم من زكــوة تريدون وجه ‏الله فأولئك هم المضعفون ‏
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada ‎harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang ‎kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan ‎Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat ‎gandakan (pahalanya).‎

Firman Allah surat ar-Rahman (55): 27‎
ويبــقى وجه ربك ذوالجـــــلل والإكــرام‏
Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.‎

Kata wajah (‎وجه‎ ) dalam ayat di atas sebagai ungkapan atas Wujud dan Dzat Allah ‎SWT (‎فالوجه عبارة عن وجوده وذاته سبحانه‎) Abu al-Ma’ali berkata, yang dimaksud wajah (‎وجه‎ ) ‎menurut elit ulama adalah Wujud Allah SWT Sang Maha Pencipta.‎ ‎ Segala apa yang ada ‎di dunia akan sirna (fân) kecuali Wujud dan Dzat Allah SWT.‎
‎ ‎
Firman Allah surat al-Lail (92): 20‎
إلا ابتــغآء وجه ربه الأعلى‏
tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya ‎Yang Maha Tinggi.‎
Dalam tafsir Ibn Katsir dijelaskan, ayat di aatas (‎إبتغآء وجه ربه الأعلى‎) yaitu sikap ‎ambisius untuk dapat “menyaksikan” Allah dalam taman-taman surga kehidupan di akhirat ‎‎(‎اى طمعا فى أن يحصل له رؤيته فى الدار الأخرة فى روضات الجنان ‏‎ ).‎ ‎ ‎

E. Konklusi

‎1.‎ Muhkamât yaitu yang kandungannya jelas, sehingga hampir-hampir tidak lagi ‎dibutuhkan penjelasan tambahan untuknya, atau yang tidak mengandung makna selain ‎yang terlintas pertama kali dalam benak. Ada juga yang memahami ayat-ayat muhkamât ‎dalam arti ayat-ayat yang mengandung perintah melaksanakan sesuatu atau larangan. ‎
‎2.‎ Mutasyâbihât yaitu yang serupa (makna) dengan yang lain. Kata ini (mutasyâbih) dalam ‎penggunaannya, seringkali menunjuk kepada keserupaan dua hal atau lebih yang ‎menimbulkan kesamaran dalam membedakan ciri masing-masing.‎
‎3.‎ Dalam al-Qur’an Allah menyinggung tentang muhkam dan mutasyabih, namun tidak ‎ada penjelasan lebih lanjut mengenai kategorisasi ayat-ayat muhkamat dan ‎mutasyabihat.‎
‎4.‎ Sebagian ulama berpendapat bahwa seluruh ayat al-Qur’an adalah muhkamat, sebagian ‎berpendapat bahwa seluruhnya adalah mutasyabihat.© ‎



Daftar Pustaka

Ali, Attabik, dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, ‎‎(Yogyakarta, Yayasan Ali maksum Pondok Pesantren Krapyak: 1998), cet. III.‎
Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mush-haf asy-‎Syarif Medinah Munawwarah: 1422 H),‎
CD Program Al-Qur’an al-Karim, (Perusahaan Perangkat Lunak Sakhr: 1997), ‎Keluaran V, version 6.5.‎
Hijazi, Muhammad Mahmud, Al-Tafsir al-Wâdhih, (Beirut: Dar al-Jail, 1413 H/1993 ‎M) cet. X
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, ‎‎(Ciputat: Lentera Hati, 2000), vol. 2, cet. I.‎




Menyapa senja ‎
Jakarta, 16 Pebr. 1994‎

Selengkapnya.....