10 Februari 2009

KESEJAHTERAAN SOSIAL DALAM ISLAM

Konsep Al-Qur’an tentang Kesejahteraan Sosial
Oleh: Nur Rosihin Ana

I. Pendahuluan
Manusia diciptakan Allah SWT dalam kondisi merdeka. Manusia tidak tun¬‎duk kepada siapapun kecuali kepada-Nya. Hal ini merupakan cermin kebebasan ‎manusia dari ikatan-ikatan perbudakan. Bahkan misi kenabian Muhammad SAW ‎adalah melepaskan manusia dari beban dan rantai yang membelenggunya (al-‎A’râf: 157). Setiap manusia, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat, ‎mempunyai kebebasan dalam berpikir, bertindak (berusaha), dan ber¬sikap dalam ‎rangka menciptakan kehidupan yang sejahtera, baik spirituil maupun materiil.‎
Akan tetapi, kebebasan manusia sebagai individu atau kelompok, tidak bisa ‎dilepaskan dari individu atau kelompok lainnya. Kepentingan individu harus ‎dikorbankan jika bertentangan dengan kepentingan yang menyangkut hajat hidup ‎orang banyak.‎
Kesejahteraan sosial terkait erat dengan keadilan sosial (al-‘adâlah al-‎Ijtimâ‘iyyah). Kesejahteran sosial hanyalah idiom-idiom kosong yang melambung di ‎ruang hampa manakala melupakan prasyarat yang paling signifikan yaitu keadilan. ‎Sebab kesejahteraan sosial merupakan tujuan (goal) yang ingin dicapai, sedang¬‎kan keadilan sosial merupakan shirâthal mustaqîm menuju kesuksesan penca¬‎paian tujuan. Dengan demikian, keadilan di semua bidang, baik materiil maupun ‎spirituil, akan membawa ke arah terciptanya kesejahteraan. ‎
Islam sangat respek dengan tema-tema tentang kesejahteraan sosial. ‎Dalam bidang ekonomi, Islam mengatur distribusi kekayaan agar tidak hanya ‎beredar di kalangan para konglomerat (kay lâ yakûna dûlatan bayna al-aghniyâ’ ‎minkum: al-Hayr: 7). Di samping perannya sebagai agama yang menyeru kepada ‎ajaran tauhid, Islam juga berperan sebagai agama advokasi. Hal ini tergambar dari ‎antusiasme ajaran Islam yang mempunyai keberpihakan kepada kelompok lemah ‎‎(mustadh‘afîn) lewat program zakat. Program zakat meru¬pa¬kan program yang ‎bermuatan ritual dan sosial. Sebagai program ritual, zakat ada¬lah implementasi ‎dari rasa syukur individu atas karunia (kekayaan) yang dibe¬rikan oleh Allah. ‎Sedangkan sebagai program sosial, zakat berfungsi sebagai program aksi ‎pemerataan distribusi dalam rangka mengurangi jumlah kemiskinan. ‎
Dalam pengelolaan negara, Islam memberikan panduan bagi pemimpin ‎negara agar dalam pengambilan keputusan dan kebijakan senantiasa berpihak ‎atas nama kesejahteraan rakyatnya (‎تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة‎). Bukan dalam ‎rangka membangun kekuasaan, menumpuk kekayaan dan mengumbar janji. ‎Semoga dalam Pemilu Presiden 5 Juli 2004 yang akan datang bisa melahirkan ‎figur pemimpin yang adil sehingga mampu menyibak fajar kesejahteraan merekah ‎cerah di wajah masyarakat yang lelah menahan resah.‎
‎ ‎
II. Pembahasan
a. Pengertian
a.1. Kesejahteraan
Kesejahteraan berasal dari kata dasar sejahtera: aman sentosa dan ‎makmur; selamat (terlepas dari segala macam gangguan, kesukaran, dan ‎sebagainya). Kesejahteraan: hal atau keadaan sejahtera; keamanan, keselamatan, ‎ketenteraman, kesenangan hidup, dan sebagainya; kemakmuran. Dalam definisi ‎lain dijelaskan, kesejahteraan:‎
الرفاهية: الحالة التى تتحقق فيها الحاجات الاساسية للفرد والمجتمع من غداء وتعليم وصحة ‏وتأمين ضد كوارث الحياة.‏
‎“Kesejahteraan (welfare) adalah kondisi yang menghendaki ‎terpenuhimya kebutuhan dasar bagi individu atau kelompok baik berupa ‎kebutuhan makan, pendidikan, kesehatan, sedangkan antitesa dari ‎kesejahteraan adalah kesedihan (bencana) kehidupan”. ‎



a.2. Kesejahteraan Sosial ‎
Kesejahteraan sosial: keadaan sejahtera masyarakat.‎ ‎ Sedangkan dalam ‎Mu’jam Musthalahâtu al-‘Ulûm al-Ijtimâ’iyyah dijelaskan:‎
الرفاهية الاجتماعية: نسق منظم من الخدمات الاجتماعية والمؤسسات يرمى الى مساعدة ‏الافراد والجماعات للوصول الى مستويات ملا ئمة للمعيشة والصحة كما يهدف الى قيام علاقات ‏اجتماعية سوية بين الافراد بتنمية قدراتهم وتحسين الحياة الانسانية بما يتفق مع حاجات المجتمع.‏
‎“Kesejahteraan sosial: sistem yang mengatur pelayanan sosial dan ‎lembaga-lembaga untuk membantu individu-individu dan kelompok-‎kelompok mencapai tingkat kehidupan, kesehatan yang layak dengan ‎tujuan menegakkan hubungan kemasayarakatan yang setara antar ‎individu sesuai dengan kemampuan pertumbuhan (development) ‎mereka, memperbaiki kehidupan manusia sesuai dengan kebutuhan-‎kebutuhan masyarakat”. ‎

Dari ragam definisi di atas, pada intinya, kesejahteraan sosial menuntut ‎terpenuhinya kebutuhan manusia yang meliputi kebutuhan primer (primary needs), ‎sekunder (secondary needs) dan kebutuhan tersier. Kebutuhan primer meliputi: ‎pangan (makanan) sandang (pakaian), papan (tempat tinggal), kesehatan dan ‎keamanan yang layak. Kebutuhan sekunder seperti: pengadaan sarana ‎transportasi (sepeda, sepeda motor, mobil, dsb.), informasi dan telekomunikasi ‎‎(radio, televisi, telepon, HP, internet, dsb.). kebutuhan tersier seperti sarana ‎rekereasi, entertaimen. Kebutuhan-kebutuhan ini berdasarkan tingkatan (maqâm) ‎individu. Artinya untuk tingkat masyarakat kelas menengah, kebutuhan akan mobil ‎pribadi untuk menunjang mobilitas aktivitas yang tinggi, masuk dalam kategori ‎kebutuhan primer. Sedangkan untuk kelompok ekonomi menengah ke bawah, ‎mobil pribadi merupakan barang lux dan masuk kategori kebutuhan sekunder. Tiga ‎kategori kebutuhan di atas bersifat materiil sehingga kesejahteraan yang tercipta ‎pun bersifat materiil.‎
Kesejahteraan sosial akan tercipta dalam sistem masyarakat yang stabil, ‎khususnya adanya stabilitas keamanan. Stabilitas sosial, ekonomi tidak mungkin ‎terjamin tanpa adanya stabilitas keamanan (termasuk di dalamnya stabilitas ‎politik). Hal ini sebagaimana do’a Nabi Ibrahim dalam surat al-Baqarah: 126‎
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا ءَامِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ ءَامَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ ‏الْآخِرِ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلًا ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ(126)‏
‎ “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdo`a: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ‎ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan ‎kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan ‎hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun Aku ‎beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa ‎neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali" (al-Baqarah: 126).‎

Kata balad disebut 8 kali dalam al-Qur’an, surat al-A’râf: 57 dan 58, Ibrâhim: ‎‎35, an-Nahl: 7, Fâthir: 9, al-Balad: 1 dan 2, at-Tîn: 3. Kata ini mempunyai arti: ‎negeri, daerah, tanah, kota. Tafsir dari kata baladan âminan dalam ayat di atas ‎adalah sebagai berikut:‎
ابن كثير: رب اجعل هذا بلدا امنا، اى من الخوف لا يرعب اهله. القرطبى: بلدا امنا، يعنى ‏مكة، فدعا لذريته وغيرهم بالامن ورغد العيش.‏
Menurut Ibnu Katsir, kata-kata rabbij‘al hâdzâ baladan âminan, ‎maksudnya adalah aman dari rasa takut yang menyelimuti warga negeri. ‎Sedangkan menurut al-Qurthubi, negeri yang aman itu adalah negeri ‎Mekah, Ibrahim berdo’a untuk keluarga dan penduduk negeri agar ‎tercipta stabilitas keamanan dan kenyamanan dalam kehidupan. ‎

Sebuah negara yang stabilitas keamanannya rawan akan berpengaruh ‎terhadap berbagai sektor kehidupan lainnya. Kinerja sektor ekonomi yang ‎merupakan faktor penyangga kesejahteraan akan terganggu bahkan terbengkelai ‎sama sekali. Begitu pula stabilitas politik. Fakta menunjukkan bahwa negara-‎negara dunia ketiga yang terus dilanda kemelut krisis dalam negeri seperti ‎membengkaknya hutang, angka pengangguran, dan berseminya kawasan kumuh ‎dan miskin (kumis) disebabkan karena stabilitas keamanan dan politik yang labil. ‎Ironisnya, justru tingkat korupsi merajalela di negara-negara dunia ketiga ini. ‎Sebuah ilustrasi, dalam catatan sejarah selama lima kali suksesi kepemimpinan ‎nasional di Indonesia selalu didahului oleh peristiwa-peristiwa yang mengundang ‎kerawanan sosial, politik dan keamanan (sospolkam). Kerawanan-kerawanan ini ‎mengakibatkan gejolak (rush) dalam bidang ekonomi, seperti terjadinya depresiasi ‎nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, menurunnya suku bunga SBI, ‎menurunnya indeks perdagangan di bursa saham yang berarti melemahnya ‎investasi.‎

b. Konsepsi Islam Tentang Kesejahteraan Sosial ‎
Islam sebagai ajaran sangat peduli dengan kesejahteraan sosial. ‎Kesejahteraan social dalam Islam pada intinya mencakup dua hal pokok yaitu ‎kesejahteraan social yang bersifat jasmani dan rohani. Manifestasi dari ‎kesejahteraan sosial dalam Islam adalah bahwa setiap individu dalam Islam harus ‎memperoleh perlindungan yang mencakup lima hal: ‎
Pertama, agama (al-dîn), merupakan kumpulan akidah, ibadah, ketentuan ‎dan hukum yang telah disyari‘atkan Allah SWT untuk mengatur hubungan antara ‎manusia dengan Allah, hubungan antara sebagian manusia dengan sebagian yang ‎lainnya. Kedua, jiwa/tubuh (al-nafs), Islam mengatur eksistensi jiwa dengan men¬‎cip¬takan lembaga pernikahan untuk mendapatkan keturunan. Islam juga melin¬du¬‎ngi dan menjamin eksistensi jiwa berupa kewajiban memenuhi apa yang menjadi ‎kebutuhannya, seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, qishash, diyat, ‎dilarang melakukan hal yang bisa merusak dan membahayakan jiwa/tubuh.‎
Ketiga, akal (al-‘aql), melindungi akal dengan larangan mengkonsumsi ‎narkoba (khamr dan segala hal yang memabukkan) sekaligus memberikan sanksi ‎bagi yang mengkonsumsinya. Keempat, kehormatan (al-‘irdhu), berupa sanksi ‎bagi pelaku zina dan orang yang menuduh zina. Kelima, kekayaan (al-mâl), ‎mengatur bagaimana memperoleh kekayaan dan mengusahakannya, seperti ‎kewajiban mendapatkan rizki dan anjuran bermua‘amalat, berniaga. Islam juga ‎memberi perlindungan kekayaan dengan larangan mencuri, menipu, berkhianat, ‎memakan harta orang lain dengan cara tidak benar, merusak harta orang lain, dan ‎menolak riba.‎ ‎ ‎
Kelima pilar asasi ini menjadi apresiasi, advokasi dan proteksi Islam dalam ‎rangka mewujudkan kesejahteraan sosial. Berkenaan dengan perlindungan jiwa, ‎harta dan kehormatan manusia, Allah berfirman:‎
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ ‏يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ ‏يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ(11)‏
Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok ‎kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik ‎dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita ‎‎(mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita ‎‎(yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan ‎janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil ‎memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ‎ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman‏ ‏dan barangsiapa yang tidak ‎bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (al-Hujurât: 11).‎

Menghina orang lain adalah perbuatan yang tercela. Orang yang menghina ‎belum tentu lebih baik dari yang dihina. Seringkali ada orang menghina orang lain ‎karena alasan kedengkian, kecemburuan. Penghinaan juga bisa berakibat fatal ‎seperti adu mulut, perkelahian hingga pembunuhan. Dalam tayangan di media ‎massa, banyak sekali kasus perkelahian, baik perkelahian tunggal maupun ‎pengeroyokan hingga perkelahian massal yang mengakibatkan korban luka dan ‎meninggal berjatuhan, pembunuhan yang bermula dari sebuah penghinaan. Orang ‎yang dihina, terutama jika penghinaan itu terjadi di depan publik, bisa menuntut ke ‎muka pengadilan karena merasa harga dirinya direndahkan. ‎
‎ ‎
c. Hakikat Kesejahteraan Sosial
Kesejahteraan sosial di dunia bersifat sementara bahkan semu adanya. ‎Pada kurun waktu tertentu mungkin masyarakat hidup damai sejahtera. Namun ‎dalam waktu seketika kesejahteraan itu punah karena konflik massal yang dipicu ‎oleh ketidakpuasan suatu kelompok. Ambisi manusia yang keluar dari konteks ‎kemanusiaan seperti ambisi politik, jabatan, kekuasaan, seringkali merupakan ‎picu-picu dalam sekam yang suatu saat bisa meledakkan konflik horizontal dan ‎meluluhlantakkan bangunan kesejahteraan sosial. ‎
Dalam ranah sejarah kekhalifahan Islam, terdapat tiga generasi yang ‎masing-masing mempunyai ciri tersendiri: pertama, generasi yang berkorban ‎membangun dan mengembangkan sayap kekhalifahan. Sarana suprastruktur ‎diciptakan untuk mengatur struktur roda pemerintahan, sarana infrastruktur ‎dibangun untuk kesejahteraan sosial. Kedua, generasi penikmat kekhalifahan. ‎Generasi ini menuai jerih payah generasi sebelumnya dan tidak banyak ‎mempunyai inisiatif karena kemakmuran dan kesejahteraan sosial sudah mapan ‎pada masa generasi sebelumnya. Ketiga, generasi perusak. Khalifah hanya sibuk ‎dalam kenikmatan dunia (hedonis), sering berpesta pora dan lupa akan ‎kesejahteraan rakyatnya. Rakyat diperas dengan upeti dan pajak tinggi untuk ‎membiayai ambisi pribadi khalifah. Pada kondisi ini khalifah dan para hulubalang ‎lupa dengan peran dan fungsinya. Sementara kekhalifahan berada di atas ujung ‎tanduk kehancuran. Di sisi lain, ada kekuatan asing yang siap mengintai lalu dan ‎menyerbu mereka yang sedang terkapar lemas bermandikan anggur dan minuman ‎keras. Sebetulnya Allah seringkali menjanjikan kesejahteraan bagi manusia. Akan ‎tetapi manusia seringkali lupa, berpaling dari kebenaran. Firman Allah: ‎
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ ‏بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ(96)‏
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, ‎pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan ‎bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa ‎mereka disebabkan perbuatannya (al-A’râf: 96).‎

Penduduk suatu negara yang ingkar nikmat akan menuai laknat. Kekayaan ‎alam yang melimpah, aneka tanaman dan tumbuhan, bahan-bahan tambang, baik ‎di daratan maupun di lautan merupakan sumber-sumber kehidupan yang bisa ‎dimanfaatkan dan dibudidaya untuk kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi karena ‎manusia tidak mensyukurinya lalu bertindak kerusakan sehingga bumi menjadi ‎gersang kering kerontang. Hujan rahmat berubah menjadi bencana erosi dan ‎banjir karena penggundulan hutan. Ikan-ikan di Teluk Jakarta mati karena limbah. ‎
Gambaran Kesejahteraan sosial yang hakiki hanya terjadi di alam surgawi. ‎sebagaimana kondisi Nabi Adam dan Istrinya, Hawa ketika berada di surga: ‎
فَقُلْنَا يَاآدَمُ إِنَّ هَذَا عَدُوٌّ لَكَ وَلِزَوْجِكَ فَلَا يُخْرِجَنَّكُمَا مِنَ الْجَنَّةِ فَتَشْقَى(117)إِنَّ لَكَ أَلَّا تَجُوعَ ‏فِيهَا وَلَا تَعْرَى(118)وَأَنَّكَ لَا تَظْمَأُ فِيهَا وَلَا تَضْحَى(119)‏
Maka kami berkata: "Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh ‎bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia ‎mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu ‎menjadi celaka. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya ‎dan tidak akan telanjang. dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa ‎dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya" ‎‎(Thâhâ: 117-119).‎

Tiada tangis yang menyayat pilu karena derita kelaparan, kemiskinan, ‎ketertindasan. Masyarakat penghuni surga tidak akan pernah merasa haus dan ‎lapar, resah dan gelisah. Tiada caci-maki, konflik yang terjadi di surga karena ‎kesejahteraan lahiriah dan dan batiniah menemukan bentuknya yang paling ‎sempurna. Tiada tayangan sumpah serapah, saling menghujat, slogan dan janji ‎pepesan kosong para politisi yang sedang mengincar kursi kekuasaan. Semuanya ‎hidup teratur, rukun tentrem kerto raharjo seraya senantiasa istighfar, bertasbih ‎dan berdzikir menyebut asma Allah.‎

Daftar Pustaka

Al-Qur’an al-Karim, Tafsir Ibn Katsir dan Tafsir al-Qurthubi, (Perusahaan ‎Perangkat Lunak “Sakhr: 1997), Keluaran ke-V versi 6.50.‎
Badawi, A. Zaki, Mu’jam Mushthalahâtu al-‘Ulûm al-Ijtimâ’iyyah, (Beirut, Maktabah ‎Lubnan: 1986), New Impression.‎
Khalaf, Abdul Wahab, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, (Jakarta, Al-Majlis al-A’la al-Indonîsî li al-‎Da’wah al-Islâmiyyah: 1972), cet. IX.‎
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus ‎Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka: 1996), cet. VII, edisi II.‎







Menghirup udara pagi,‎
Jakarta, 18 Mei 2004‎



0 komentar: