29 Januari 2009

ANTROPOLOGI ISLAM

KAJIAN ‎ANTROPOLOGI DAN SOSIAL MASYARAKAT ISLAM
Oleh: Nur Rosihin ‎

I. Pendahuluan
Keberadaan suatu masyarakat tidak bisa dilepaskan dari atmosphere ‎yang melingkupinya. Beberapa faktor seperti geografis, demo¬grafis, memberi ‎pengaruh signifikan pada masyarakat dalam dinamika ber¬pi¬kir, ber¬tindak dan ‎bersikap.‎
Di samping itu, perbedaan geografis melahirkan warna kulit yang berbeda, ‎ada yang berkulit coklat, kuning, putih dan hitam, dalam ragam ras (etnik) ‎yang mempunyai ciri khas masing-masing sebagai iden¬titas entitas etnis ‎tertentu. Di atas semua itu, perbedaan spesies manusia me¬ru¬pakan ‎sunnatullâh yang tak terbantahkan dijelaskan dalam nash al-Qur’an. ‎
Perjalanan sejarah Islam di masa lalu yang kelam, bersimbah darah, ‎patut menjadi tela’ah kritis dalam rangka mendapatkan suatu pemahaman ‎yang komprehensip (jâmi’-mâni’). Berbagai faktor pendukung harus ‎dipetakan, diposi¬si¬kan secara simetris. Misalnya faktor geografis dan sosio-‎kultural yang mem¬punyai kaitan erat dengan kecenderungan suatu ‎masyarakat. Dengan memperhati¬kan variabel-variabel ini mempermudah ‎identifikasi kecenderu¬ngan ritme sejarah. ‎
Sementara, di belahan wilayah lain, muncul semangat Islam yang ‎kontradiktif dengan kondisi dimana Islam dilahirkan (Arab). Islamisasi Islam di ‎Asia Tenggara, khususnya Indonesia menampilkan corak pemahaman keis¬la¬‎man yang inklusif yang tercermin dalam sikap keberagaman dan keberaga¬‎maan yang moderat (tawâshuth), toleran (tasâmuh) berimbang (tawâzun). ‎Varian ini antara lain dilatarbelakangi kecermatan para penyebar Islam dalam ‎memahami pola-pola sosio-kultural yang berkembang di tengah-tengah ma¬‎syarakat. Identifikasi sosio-kultural yang matang, menghasilkan format ‎pende¬katan da’wah yang relevan dengan kondisi masyarakat, meskipun di ‎belakang hari muncul tudingan bahwa islamisasi di Indonesia merupakan ‎tahapan yang belum tuntas. Indikatornya misalnya dalam ritual masyarakat ‎penuh dengan aroma sinkretis, yaitu persenyawaan antara ajaran Islam ‎dengan budaya lokal yang sampai sekarang masih kental mewarnai upacara-‎upacara ritual Islam. ‎
Sebagai agama yang membawa umatnya menuju kebahagiaan di du¬‎nia dan akhirat (sa’âdatu al-dârain), Islam lahir di tanah Arab yang gersang ‎meradang, kering kerontang. Sebagai agama selamat, damai, sejahtera, wa¬‎jah Islam justru berhiaskan mahkota berdarah. Apa latar belakang timbulnya ‎pertumpahan darah (qitâl) yang melingkupi perjalanan sejarah Islam. Apakah ‎semata demi kejayaan Islam, menyalurkan hobi berperang para suku nomad ‎Arab, atau ada motivasi profit oriented yaitu mengejar akumulasi ghanîmah ‎dan fai’ yang ditinggalkan pemiliknya (musyrikin) yang meninggal di medan ‎peperangan atau lari menyelamatkan diri. ‎
Begitu juga dalam taqnîn (pembuatan UU), produk-produk hukum Is¬‎lam juga merupakan refleksi dari realitas sosio-kultural pada masanya. Di sisi ‎lain, transformasi sosio-kultural adalah sesuatu yang tak terelakkan mengi¬‎ringi sejarah peradaban yang berjalan dengan logikannya sendiri dan me¬‎nam¬pilkan pola-pola yang berbeda bahkan kontradiktif dengan wacana klasik.‎
Ruang lingkup kajian antropologi dan sosiologi masyarakat Islam ‎sangat luas karena masing-masing wilayah mempunyai varian-varian yang ‎berbeda antara satu wilaya dengan wilayah lainnya. Sosiologi masyarakat ‎Islam yang hidup di Asia Tenggara berbeda dengan masyarakat di Timur ‎Tengah karena masing-masing mempunyai sejarah dan kultur yang berbeda. ‎Sehingga performance dalam bertutur sapa, berfikir, bertindak dan ‎melakukan aktivitas ritual pun seringkali terjadi perbedaan-perbedaan. Oleh ‎karena itu, tulisan ini akan membatasi diri pada antropologi dan sosiologi ‎masyarakat Islam Arab. ‎
II. Definisi ‎
a. Definisi Antropologi
Antropologi (Yunani: Anthropos: manusia) ilmu pengetahuan tentang ‎manusia. “Anthropologi Fisis” mempelajari sifat-sifat jasmani manusia, di sini ‎termasuk juga rasiologi atau ilmu ras-ras. “Anthropologi Kebudayaan” mem¬‎pelajari kultur manusia, di sini termasuk juga etnologi dan prasejarah.‎ ‎ Dalam ‎A. Dictionary of the Social Sciences dijelaskan: ‎
الأنتروبولوجيا: علم الإنسان من حيث هو كائن فيزيقي واجتماعي ويتفرع من هذا العلم ‏مجموعة من العلوم المخصصة فى دراسة الإنسان، كالأنتروبولوجيا الفيزيقية والأنتروبولوجيا ‏الإجتماعية والأنتروبولوجيا الثقافية.‏

‎“Antropologi: pengetahuan tentang manusia dari sisi kondisi fisik dan ‎sosial. Dari ilmu ini lahir kumpulan beberapa cabang disiplin ilmu ‎tentang studi manusia, seperti antropologi fisik, sosial dan budaya.”‎ ‎ ‎

b. Definisi Antropologi Sosial
Antropologi sosial (Social Anthropology) adalah: ‎
الأنتروبولوجيا الإجتماعية: تهتم بدراسة الأشكال الأولية البسيطة للمجتمعات الإنسانية فى ‏المراحل البدائية من تطورها الذي يظهر فيها بوضوح تكامل وحدة البناء. فهي لا تشمل اذن ‏المراحل الأكثر تطورا وتركيبا في نمو هذه المجتمعات. وتعتبر الى حد ما جزءا من الأنتروبولوجيا ‏الثقافية.‏

‎“Antropologi Sosial (social anthropologi): Studi yang konsen terhadap ‎masalah-masalah utama yang melingkupi komunitas manusia, dalam ‎tingkatan-tingkatan awal perkembangannya yang nampak dari ‎kesempurnaan satu bangunan yang jelas. Antropologi sosial dalam ‎hal ini tidak memuat tingkatan-tingkatan mayoritas perkembangan dan ‎struktur dalam pertumbuhan sosial ini. Antropologi Sosial dianggap ‎sebagai bagian dari antropologi budaya.”‎

III. Pembahasan
a. Kondisi Sosial Arab pra-Islam
Semenanjung Arabia pra-Islam merupakan daerah terisolir dari penga¬‎ruh peradaban dua adidaya Romawi dan Persia. Dua adidaya imperial ter¬se¬‎but tidak melakukan ekspansi ke Arab, karena secara geografis dan demo¬‎grafis semenanjung Arabia dikelilingi hamparan gurun pasir yang kering dan ‎tandus. Sepanjang mata memandang hanya hamparan pasir yang ‎mengelabui mata dengan halusinasi, menyimpan misteri karena setiap saat ‎badai gurun datang menggulung pasir-pasir beterbangan mengikuti arah ‎badai bertiup dan menyapu apa saja yang merintanginya. Dengan kata lain, ‎Arabia adalah daerah yang minus sumberdaya alam, tanahnya tidak ‎produktif. Masyarakatnya hidup dalam kelompok-kelompok suku yang hidup ‎dalam tenda-tenda (karavan), oase, berpindah-pindah (nomad) dari satu ‎tempat ke tempat lainnya dan bertahan pada profesi sebagai penggembala ‎ternak (pastoral). Ideologi yang dianut masyarakat adalah ideologi pagan ‎yang mempercayai adanya bermacam-macam dewa sebagai sesembahan.‎
Dasar kesatuan hidup keluarga adalah patriarchal-agnatis, dimana ‎sekelompok masyarakat menurun secara langsung melalui garis laki-laki dari ‎nenek moyang dan di bawah otoritas laki-laki yang tua atau laki-laki kepala ‎keluarga.‎ ‎ Kondisi ini menempatkan laki-laki (kepala keluarga/suku) pada ‎posisi superior dan perempuan berada dalam inferioritas laki-laki. Posisi ‎kepala suku (selalu dijabat oleh laki-laki) sangat sentral, strategis dan taktis. ‎Kebijakan-kebijakan strategis dan taktis yang menjadi keputusan ketua suku ‎sangat sentralistik, tanpa reserve dan sifatnya mengikat bagi seluruh anggota ‎suku. Misalnya ketua suku menginstruksikan karavan pindah ke suatu tempat ‎atau instruksi untuk berperang melawan suku lain. ‎
Hal ini sangat kontras dengan peri-kehidupan masyarakat imperial. ‎Masyarakat imperial mendiami daerah-daerah yang subur sehingga pada ‎umumnya mereka adalah masyarakat agrikultural. Kehidupan mereka teratur ‎karena hidup menetap. Pola hidup masyarakatnya dinamis dan mereka ‎sudah mengenal ajaran monotheis.‎

b. Pengaruh Islam dalam Masyarakat Arab ‎
Setelah Islam datang, masyarakat Arab masih meneruskan tradisi ‎yang berurat akar dari nenek moyang mereka. Lahirnya Islam di tanah Arab ‎tentunya menampilkan corak tersendiri bagi kelangsungan misi suci da’wah ‎islamiyah. Lahirnya Islam di Arab tidak serta-merta membawa perubahan ‎drastis dalam peri-kehidupan masyarakat Arab. Bahkan kehadiran Islam ‎mengundang resistensi dari para ketua suku yang telah lama bercokol ‎menanamkan pengaruh hegemonik di tengah-tengah masyarakat Arab.‎
Namun setahap demi setahap misi da’wah Nabi terus berkumandang ‎meskipun seringkali berhadapan dan membentur tembok tebal kekuasaan. ‎Dalam lingkup internal suku Qurays—suku keturunan Nabi—terjadi friksi ‎dalam merespon ajaran-ajaran Nabi. Abdul Muthalib, kakek Nabi, adalah ‎seorang yang mempunyai pengaruh di Mekah. Meskipun belum secara resmi ‎menyatakan keislamannya, Abdul Muthalib siap membela Muhammad. Hal ini ‎memberikan saham dan proteksi bagi kelangsungan misi da’wah Nabi. Di lain ‎pihak, Abu Lahab cs memberikan respon negatif, bahkan terus merongrong ‎dan menghalangi langkah Nabi. Secara logika, bagaimana mungkin seorang ‎Abu Lahab yang berpengaruh harus tunduk kepada seorang Muhammad.‎
‎ ‎
c. Perang Suci
Kondisi gurun pasir yang panas berpengaruh terhadap pembentukan ‎karakter masyarakat Arab. Masyarakat Arab terkenal dengan karakter ‎mereka yang keras dan gemar berperang. Sehingga suatu hal yang ‎paradoksal jika perjalanan sejarah ekspansi Islam bersimbah darah.‎
Di samping itu, bunyi nash dalam al-Qur’an tentang perang (qitâl, dari ‎kata dasar qatala) memberikan legitimasi yang kuat kepada masyarakat Arab ‎Islam untuk mengobarkan perang suci. Kata qatala dan kata jadiannya ‎disebutkan sebanyak 170 kali dalam al-Qur’an. Di samping kata qatala, al-‎Qur’an juga memakai kata harb yang juga berarti perang. Kata harb disebut ‎sebanyak 4 kali dalam al-Qur’an, yaitu dalam surat al-Baqarah 2: 279; al-‎Maidah 5: 64; al-Anfal 8: 57; Muhammad 47: 4. ‎
Hobi berperang di satu sisi dan legitimasi nash yang sakral berpadu ‎menjadi simbiosis mutualis. Pada tahap tertentu, sikap heroisme ‘askar Islam ‎yang militan mampu meruntuhkan dua kerajaan adidaya Romawi di Barat dan ‎Persia di Timur dan memperluas jangkauan ekspansi hingga masuk wilayah ‎Eropa.‎
Di sisi lain, perang juga merupakan ajang mempertahankan harga diri ‎suku-suku Arab. Kabilah/suku menjadi populer dan dominan ketika ‎mempunyai track record tinggi dalam kemenangan di setiap ajang ‎peperangan. Sentimen antar suku acapkali memicu terjadinya peperangan. ‎Logika individu sudah membaur dalam logika komunal yang impulsif, ‎sehingga tiada lagi perasaan takut untuk memanggul senjata. Membela ‎kehormatan suku, tanpa memandang benar atau salah, adalah kewajiban ‎yang harus dipikul setiap anggota tanpa reserve. Bahkan setiap anggota suku ‎merasa terhina apabila sukunya menjadi ejekan suku lain. Kebanggan ‎terhadap suku/golongan ini sebagaimana dilukiskan dalam surat al-Mu’minûn: ‎‎53 Allah berfirman:‎
فتقطعوا امرهم بينهم زبرا كل حزب بما لديهم فرحون
‎“Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama ‎mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap ‎golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka ‎‎(masing-masing)”.‎

d. Apresiasi Puisi (Syair)‎
Di samping hobi berperang, masyarakat Arab pra-Islam juga juga ‎gemar mengadakan kontes apresiasi puisi (syair). Kontes biasanya diadakan ‎di samping ka’bah. Masing-masing peserta, baik atas nama individu atau ‎suku, membacakan hasil karyanya di depan ka’bah, disaksikan para ‎khalayak. Hasil karya tersebut kemudian ditempel di dinding-dinding ka’bah. ‎
Kontes apresiasi puisi ini juga menjadi ajang gengsi persaingan antar ‎suku. Setiap suku mengirimkan duta terbaiknya untuk berkompetisi dengan ‎duta dari suku lainnya. Tidak ada tim yang membuat juklak, juknis maupun ‎yang merancang event organizer kontes ini. ‎

IV. Konklusi
‎1.‎ Struktur sosio-kultural masyarakat Arab pra-Islam adalah masyarakat ‎kesukuan patriarchal nomaden;‎
‎2.‎ Kondisi geografis gurun sahara yang panas, kering kerontang, ‎berpengaruh pada pola hubungan keseharian yang keras;‎
‎3.‎ Hobi berperang antar suku di semenanjung Arab mendapatkan ‎legitimasi dari nash suci (ayat-ayat tentang qital). Atau pemahaman ‎sebaliknya, nash tentang qital merupakan refleksi dari peri-kehidupan ‎masyarakat yang gemar berperang;‎
‎ ‎


V. Daftar Pustaka

Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Umat Islam, terjemahan (Jakarta, ‎RajaGrafindo Persada: 2000), Bag. I dan II cet. II.‎
Mulia, T.S.G. dan K.A.H. Hidding, Ensiklopedia Indonesia, (Bandung, W. Van ‎Hoeve: tth) h. 91‎
Badawi, A. Zaki, A. Dictionary of the Social Sciences, (Beirut, Librairie Du ‎Liban, 1986), h. 21‎

0 komentar: