KAJIAN ANTROPOLOGI DAN SOSIAL MASYARAKAT ISLAM
Oleh: Nur Rosihin
Oleh: Nur Rosihin
I. Pendahuluan
Keberadaan suatu masyarakat tidak bisa dilepaskan dari atmosphere yang melingkupinya. Beberapa faktor seperti geografis, demo¬grafis, memberi pengaruh signifikan pada masyarakat dalam dinamika ber¬pi¬kir, ber¬tindak dan bersikap.
Di samping itu, perbedaan geografis melahirkan warna kulit yang berbeda, ada yang berkulit coklat, kuning, putih dan hitam, dalam ragam ras (etnik) yang mempunyai ciri khas masing-masing sebagai iden¬titas entitas etnis tertentu. Di atas semua itu, perbedaan spesies manusia me¬ru¬pakan sunnatullâh yang tak terbantahkan dijelaskan dalam nash al-Qur’an.
Perjalanan sejarah Islam di masa lalu yang kelam, bersimbah darah, patut menjadi tela’ah kritis dalam rangka mendapatkan suatu pemahaman yang komprehensip (jâmi’-mâni’). Berbagai faktor pendukung harus dipetakan, diposi¬si¬kan secara simetris. Misalnya faktor geografis dan sosio-kultural yang mem¬punyai kaitan erat dengan kecenderungan suatu masyarakat. Dengan memperhati¬kan variabel-variabel ini mempermudah identifikasi kecenderu¬ngan ritme sejarah.
Sementara, di belahan wilayah lain, muncul semangat Islam yang kontradiktif dengan kondisi dimana Islam dilahirkan (Arab). Islamisasi Islam di Asia Tenggara, khususnya Indonesia menampilkan corak pemahaman keis¬la¬man yang inklusif yang tercermin dalam sikap keberagaman dan keberaga¬maan yang moderat (tawâshuth), toleran (tasâmuh) berimbang (tawâzun). Varian ini antara lain dilatarbelakangi kecermatan para penyebar Islam dalam memahami pola-pola sosio-kultural yang berkembang di tengah-tengah ma¬syarakat. Identifikasi sosio-kultural yang matang, menghasilkan format pende¬katan da’wah yang relevan dengan kondisi masyarakat, meskipun di belakang hari muncul tudingan bahwa islamisasi di Indonesia merupakan tahapan yang belum tuntas. Indikatornya misalnya dalam ritual masyarakat penuh dengan aroma sinkretis, yaitu persenyawaan antara ajaran Islam dengan budaya lokal yang sampai sekarang masih kental mewarnai upacara-upacara ritual Islam.
Sebagai agama yang membawa umatnya menuju kebahagiaan di du¬nia dan akhirat (sa’âdatu al-dârain), Islam lahir di tanah Arab yang gersang meradang, kering kerontang. Sebagai agama selamat, damai, sejahtera, wa¬jah Islam justru berhiaskan mahkota berdarah. Apa latar belakang timbulnya pertumpahan darah (qitâl) yang melingkupi perjalanan sejarah Islam. Apakah semata demi kejayaan Islam, menyalurkan hobi berperang para suku nomad Arab, atau ada motivasi profit oriented yaitu mengejar akumulasi ghanîmah dan fai’ yang ditinggalkan pemiliknya (musyrikin) yang meninggal di medan peperangan atau lari menyelamatkan diri.
Begitu juga dalam taqnîn (pembuatan UU), produk-produk hukum Is¬lam juga merupakan refleksi dari realitas sosio-kultural pada masanya. Di sisi lain, transformasi sosio-kultural adalah sesuatu yang tak terelakkan mengi¬ringi sejarah peradaban yang berjalan dengan logikannya sendiri dan me¬nam¬pilkan pola-pola yang berbeda bahkan kontradiktif dengan wacana klasik.
Ruang lingkup kajian antropologi dan sosiologi masyarakat Islam sangat luas karena masing-masing wilayah mempunyai varian-varian yang berbeda antara satu wilaya dengan wilayah lainnya. Sosiologi masyarakat Islam yang hidup di Asia Tenggara berbeda dengan masyarakat di Timur Tengah karena masing-masing mempunyai sejarah dan kultur yang berbeda. Sehingga performance dalam bertutur sapa, berfikir, bertindak dan melakukan aktivitas ritual pun seringkali terjadi perbedaan-perbedaan. Oleh karena itu, tulisan ini akan membatasi diri pada antropologi dan sosiologi masyarakat Islam Arab.
II. Definisi
a. Definisi Antropologi
Antropologi (Yunani: Anthropos: manusia) ilmu pengetahuan tentang manusia. “Anthropologi Fisis” mempelajari sifat-sifat jasmani manusia, di sini termasuk juga rasiologi atau ilmu ras-ras. “Anthropologi Kebudayaan” mem¬pelajari kultur manusia, di sini termasuk juga etnologi dan prasejarah. Dalam A. Dictionary of the Social Sciences dijelaskan:
الأنتروبولوجيا: علم الإنسان من حيث هو كائن فيزيقي واجتماعي ويتفرع من هذا العلم مجموعة من العلوم المخصصة فى دراسة الإنسان، كالأنتروبولوجيا الفيزيقية والأنتروبولوجيا الإجتماعية والأنتروبولوجيا الثقافية.
“Antropologi: pengetahuan tentang manusia dari sisi kondisi fisik dan sosial. Dari ilmu ini lahir kumpulan beberapa cabang disiplin ilmu tentang studi manusia, seperti antropologi fisik, sosial dan budaya.”
b. Definisi Antropologi Sosial
Antropologi sosial (Social Anthropology) adalah:
الأنتروبولوجيا الإجتماعية: تهتم بدراسة الأشكال الأولية البسيطة للمجتمعات الإنسانية فى المراحل البدائية من تطورها الذي يظهر فيها بوضوح تكامل وحدة البناء. فهي لا تشمل اذن المراحل الأكثر تطورا وتركيبا في نمو هذه المجتمعات. وتعتبر الى حد ما جزءا من الأنتروبولوجيا الثقافية.
“Antropologi Sosial (social anthropologi): Studi yang konsen terhadap masalah-masalah utama yang melingkupi komunitas manusia, dalam tingkatan-tingkatan awal perkembangannya yang nampak dari kesempurnaan satu bangunan yang jelas. Antropologi sosial dalam hal ini tidak memuat tingkatan-tingkatan mayoritas perkembangan dan struktur dalam pertumbuhan sosial ini. Antropologi Sosial dianggap sebagai bagian dari antropologi budaya.”
III. Pembahasan
a. Kondisi Sosial Arab pra-Islam
Semenanjung Arabia pra-Islam merupakan daerah terisolir dari penga¬ruh peradaban dua adidaya Romawi dan Persia. Dua adidaya imperial ter¬se¬but tidak melakukan ekspansi ke Arab, karena secara geografis dan demo¬grafis semenanjung Arabia dikelilingi hamparan gurun pasir yang kering dan tandus. Sepanjang mata memandang hanya hamparan pasir yang mengelabui mata dengan halusinasi, menyimpan misteri karena setiap saat badai gurun datang menggulung pasir-pasir beterbangan mengikuti arah badai bertiup dan menyapu apa saja yang merintanginya. Dengan kata lain, Arabia adalah daerah yang minus sumberdaya alam, tanahnya tidak produktif. Masyarakatnya hidup dalam kelompok-kelompok suku yang hidup dalam tenda-tenda (karavan), oase, berpindah-pindah (nomad) dari satu tempat ke tempat lainnya dan bertahan pada profesi sebagai penggembala ternak (pastoral). Ideologi yang dianut masyarakat adalah ideologi pagan yang mempercayai adanya bermacam-macam dewa sebagai sesembahan.
Dasar kesatuan hidup keluarga adalah patriarchal-agnatis, dimana sekelompok masyarakat menurun secara langsung melalui garis laki-laki dari nenek moyang dan di bawah otoritas laki-laki yang tua atau laki-laki kepala keluarga. Kondisi ini menempatkan laki-laki (kepala keluarga/suku) pada posisi superior dan perempuan berada dalam inferioritas laki-laki. Posisi kepala suku (selalu dijabat oleh laki-laki) sangat sentral, strategis dan taktis. Kebijakan-kebijakan strategis dan taktis yang menjadi keputusan ketua suku sangat sentralistik, tanpa reserve dan sifatnya mengikat bagi seluruh anggota suku. Misalnya ketua suku menginstruksikan karavan pindah ke suatu tempat atau instruksi untuk berperang melawan suku lain.
Hal ini sangat kontras dengan peri-kehidupan masyarakat imperial. Masyarakat imperial mendiami daerah-daerah yang subur sehingga pada umumnya mereka adalah masyarakat agrikultural. Kehidupan mereka teratur karena hidup menetap. Pola hidup masyarakatnya dinamis dan mereka sudah mengenal ajaran monotheis.
b. Pengaruh Islam dalam Masyarakat Arab
Setelah Islam datang, masyarakat Arab masih meneruskan tradisi yang berurat akar dari nenek moyang mereka. Lahirnya Islam di tanah Arab tentunya menampilkan corak tersendiri bagi kelangsungan misi suci da’wah islamiyah. Lahirnya Islam di Arab tidak serta-merta membawa perubahan drastis dalam peri-kehidupan masyarakat Arab. Bahkan kehadiran Islam mengundang resistensi dari para ketua suku yang telah lama bercokol menanamkan pengaruh hegemonik di tengah-tengah masyarakat Arab.
Namun setahap demi setahap misi da’wah Nabi terus berkumandang meskipun seringkali berhadapan dan membentur tembok tebal kekuasaan. Dalam lingkup internal suku Qurays—suku keturunan Nabi—terjadi friksi dalam merespon ajaran-ajaran Nabi. Abdul Muthalib, kakek Nabi, adalah seorang yang mempunyai pengaruh di Mekah. Meskipun belum secara resmi menyatakan keislamannya, Abdul Muthalib siap membela Muhammad. Hal ini memberikan saham dan proteksi bagi kelangsungan misi da’wah Nabi. Di lain pihak, Abu Lahab cs memberikan respon negatif, bahkan terus merongrong dan menghalangi langkah Nabi. Secara logika, bagaimana mungkin seorang Abu Lahab yang berpengaruh harus tunduk kepada seorang Muhammad.
c. Perang Suci
Kondisi gurun pasir yang panas berpengaruh terhadap pembentukan karakter masyarakat Arab. Masyarakat Arab terkenal dengan karakter mereka yang keras dan gemar berperang. Sehingga suatu hal yang paradoksal jika perjalanan sejarah ekspansi Islam bersimbah darah.
Di samping itu, bunyi nash dalam al-Qur’an tentang perang (qitâl, dari kata dasar qatala) memberikan legitimasi yang kuat kepada masyarakat Arab Islam untuk mengobarkan perang suci. Kata qatala dan kata jadiannya disebutkan sebanyak 170 kali dalam al-Qur’an. Di samping kata qatala, al-Qur’an juga memakai kata harb yang juga berarti perang. Kata harb disebut sebanyak 4 kali dalam al-Qur’an, yaitu dalam surat al-Baqarah 2: 279; al-Maidah 5: 64; al-Anfal 8: 57; Muhammad 47: 4.
Hobi berperang di satu sisi dan legitimasi nash yang sakral berpadu menjadi simbiosis mutualis. Pada tahap tertentu, sikap heroisme ‘askar Islam yang militan mampu meruntuhkan dua kerajaan adidaya Romawi di Barat dan Persia di Timur dan memperluas jangkauan ekspansi hingga masuk wilayah Eropa.
Di sisi lain, perang juga merupakan ajang mempertahankan harga diri suku-suku Arab. Kabilah/suku menjadi populer dan dominan ketika mempunyai track record tinggi dalam kemenangan di setiap ajang peperangan. Sentimen antar suku acapkali memicu terjadinya peperangan. Logika individu sudah membaur dalam logika komunal yang impulsif, sehingga tiada lagi perasaan takut untuk memanggul senjata. Membela kehormatan suku, tanpa memandang benar atau salah, adalah kewajiban yang harus dipikul setiap anggota tanpa reserve. Bahkan setiap anggota suku merasa terhina apabila sukunya menjadi ejekan suku lain. Kebanggan terhadap suku/golongan ini sebagaimana dilukiskan dalam surat al-Mu’minûn: 53 Allah berfirman:
فتقطعوا امرهم بينهم زبرا كل حزب بما لديهم فرحون
“Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing)”.
d. Apresiasi Puisi (Syair)
Di samping hobi berperang, masyarakat Arab pra-Islam juga juga gemar mengadakan kontes apresiasi puisi (syair). Kontes biasanya diadakan di samping ka’bah. Masing-masing peserta, baik atas nama individu atau suku, membacakan hasil karyanya di depan ka’bah, disaksikan para khalayak. Hasil karya tersebut kemudian ditempel di dinding-dinding ka’bah.
Kontes apresiasi puisi ini juga menjadi ajang gengsi persaingan antar suku. Setiap suku mengirimkan duta terbaiknya untuk berkompetisi dengan duta dari suku lainnya. Tidak ada tim yang membuat juklak, juknis maupun yang merancang event organizer kontes ini.
IV. Konklusi
1. Struktur sosio-kultural masyarakat Arab pra-Islam adalah masyarakat kesukuan patriarchal nomaden;
2. Kondisi geografis gurun sahara yang panas, kering kerontang, berpengaruh pada pola hubungan keseharian yang keras;
3. Hobi berperang antar suku di semenanjung Arab mendapatkan legitimasi dari nash suci (ayat-ayat tentang qital). Atau pemahaman sebaliknya, nash tentang qital merupakan refleksi dari peri-kehidupan masyarakat yang gemar berperang;
V. Daftar Pustaka
Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Umat Islam, terjemahan (Jakarta, RajaGrafindo Persada: 2000), Bag. I dan II cet. II.
Mulia, T.S.G. dan K.A.H. Hidding, Ensiklopedia Indonesia, (Bandung, W. Van Hoeve: tth) h. 91
Badawi, A. Zaki, A. Dictionary of the Social Sciences, (Beirut, Librairie Du Liban, 1986), h. 21
Perjalanan sejarah Islam di masa lalu yang kelam, bersimbah darah, patut menjadi tela’ah kritis dalam rangka mendapatkan suatu pemahaman yang komprehensip (jâmi’-mâni’). Berbagai faktor pendukung harus dipetakan, diposi¬si¬kan secara simetris. Misalnya faktor geografis dan sosio-kultural yang mem¬punyai kaitan erat dengan kecenderungan suatu masyarakat. Dengan memperhati¬kan variabel-variabel ini mempermudah identifikasi kecenderu¬ngan ritme sejarah.
Sementara, di belahan wilayah lain, muncul semangat Islam yang kontradiktif dengan kondisi dimana Islam dilahirkan (Arab). Islamisasi Islam di Asia Tenggara, khususnya Indonesia menampilkan corak pemahaman keis¬la¬man yang inklusif yang tercermin dalam sikap keberagaman dan keberaga¬maan yang moderat (tawâshuth), toleran (tasâmuh) berimbang (tawâzun). Varian ini antara lain dilatarbelakangi kecermatan para penyebar Islam dalam memahami pola-pola sosio-kultural yang berkembang di tengah-tengah ma¬syarakat. Identifikasi sosio-kultural yang matang, menghasilkan format pende¬katan da’wah yang relevan dengan kondisi masyarakat, meskipun di belakang hari muncul tudingan bahwa islamisasi di Indonesia merupakan tahapan yang belum tuntas. Indikatornya misalnya dalam ritual masyarakat penuh dengan aroma sinkretis, yaitu persenyawaan antara ajaran Islam dengan budaya lokal yang sampai sekarang masih kental mewarnai upacara-upacara ritual Islam.
Sebagai agama yang membawa umatnya menuju kebahagiaan di du¬nia dan akhirat (sa’âdatu al-dârain), Islam lahir di tanah Arab yang gersang meradang, kering kerontang. Sebagai agama selamat, damai, sejahtera, wa¬jah Islam justru berhiaskan mahkota berdarah. Apa latar belakang timbulnya pertumpahan darah (qitâl) yang melingkupi perjalanan sejarah Islam. Apakah semata demi kejayaan Islam, menyalurkan hobi berperang para suku nomad Arab, atau ada motivasi profit oriented yaitu mengejar akumulasi ghanîmah dan fai’ yang ditinggalkan pemiliknya (musyrikin) yang meninggal di medan peperangan atau lari menyelamatkan diri.
Begitu juga dalam taqnîn (pembuatan UU), produk-produk hukum Is¬lam juga merupakan refleksi dari realitas sosio-kultural pada masanya. Di sisi lain, transformasi sosio-kultural adalah sesuatu yang tak terelakkan mengi¬ringi sejarah peradaban yang berjalan dengan logikannya sendiri dan me¬nam¬pilkan pola-pola yang berbeda bahkan kontradiktif dengan wacana klasik.
Ruang lingkup kajian antropologi dan sosiologi masyarakat Islam sangat luas karena masing-masing wilayah mempunyai varian-varian yang berbeda antara satu wilaya dengan wilayah lainnya. Sosiologi masyarakat Islam yang hidup di Asia Tenggara berbeda dengan masyarakat di Timur Tengah karena masing-masing mempunyai sejarah dan kultur yang berbeda. Sehingga performance dalam bertutur sapa, berfikir, bertindak dan melakukan aktivitas ritual pun seringkali terjadi perbedaan-perbedaan. Oleh karena itu, tulisan ini akan membatasi diri pada antropologi dan sosiologi masyarakat Islam Arab.
II. Definisi
a. Definisi Antropologi
Antropologi (Yunani: Anthropos: manusia) ilmu pengetahuan tentang manusia. “Anthropologi Fisis” mempelajari sifat-sifat jasmani manusia, di sini termasuk juga rasiologi atau ilmu ras-ras. “Anthropologi Kebudayaan” mem¬pelajari kultur manusia, di sini termasuk juga etnologi dan prasejarah. Dalam A. Dictionary of the Social Sciences dijelaskan:
الأنتروبولوجيا: علم الإنسان من حيث هو كائن فيزيقي واجتماعي ويتفرع من هذا العلم مجموعة من العلوم المخصصة فى دراسة الإنسان، كالأنتروبولوجيا الفيزيقية والأنتروبولوجيا الإجتماعية والأنتروبولوجيا الثقافية.
“Antropologi: pengetahuan tentang manusia dari sisi kondisi fisik dan sosial. Dari ilmu ini lahir kumpulan beberapa cabang disiplin ilmu tentang studi manusia, seperti antropologi fisik, sosial dan budaya.”
b. Definisi Antropologi Sosial
Antropologi sosial (Social Anthropology) adalah:
الأنتروبولوجيا الإجتماعية: تهتم بدراسة الأشكال الأولية البسيطة للمجتمعات الإنسانية فى المراحل البدائية من تطورها الذي يظهر فيها بوضوح تكامل وحدة البناء. فهي لا تشمل اذن المراحل الأكثر تطورا وتركيبا في نمو هذه المجتمعات. وتعتبر الى حد ما جزءا من الأنتروبولوجيا الثقافية.
“Antropologi Sosial (social anthropologi): Studi yang konsen terhadap masalah-masalah utama yang melingkupi komunitas manusia, dalam tingkatan-tingkatan awal perkembangannya yang nampak dari kesempurnaan satu bangunan yang jelas. Antropologi sosial dalam hal ini tidak memuat tingkatan-tingkatan mayoritas perkembangan dan struktur dalam pertumbuhan sosial ini. Antropologi Sosial dianggap sebagai bagian dari antropologi budaya.”
III. Pembahasan
a. Kondisi Sosial Arab pra-Islam
Semenanjung Arabia pra-Islam merupakan daerah terisolir dari penga¬ruh peradaban dua adidaya Romawi dan Persia. Dua adidaya imperial ter¬se¬but tidak melakukan ekspansi ke Arab, karena secara geografis dan demo¬grafis semenanjung Arabia dikelilingi hamparan gurun pasir yang kering dan tandus. Sepanjang mata memandang hanya hamparan pasir yang mengelabui mata dengan halusinasi, menyimpan misteri karena setiap saat badai gurun datang menggulung pasir-pasir beterbangan mengikuti arah badai bertiup dan menyapu apa saja yang merintanginya. Dengan kata lain, Arabia adalah daerah yang minus sumberdaya alam, tanahnya tidak produktif. Masyarakatnya hidup dalam kelompok-kelompok suku yang hidup dalam tenda-tenda (karavan), oase, berpindah-pindah (nomad) dari satu tempat ke tempat lainnya dan bertahan pada profesi sebagai penggembala ternak (pastoral). Ideologi yang dianut masyarakat adalah ideologi pagan yang mempercayai adanya bermacam-macam dewa sebagai sesembahan.
Dasar kesatuan hidup keluarga adalah patriarchal-agnatis, dimana sekelompok masyarakat menurun secara langsung melalui garis laki-laki dari nenek moyang dan di bawah otoritas laki-laki yang tua atau laki-laki kepala keluarga. Kondisi ini menempatkan laki-laki (kepala keluarga/suku) pada posisi superior dan perempuan berada dalam inferioritas laki-laki. Posisi kepala suku (selalu dijabat oleh laki-laki) sangat sentral, strategis dan taktis. Kebijakan-kebijakan strategis dan taktis yang menjadi keputusan ketua suku sangat sentralistik, tanpa reserve dan sifatnya mengikat bagi seluruh anggota suku. Misalnya ketua suku menginstruksikan karavan pindah ke suatu tempat atau instruksi untuk berperang melawan suku lain.
Hal ini sangat kontras dengan peri-kehidupan masyarakat imperial. Masyarakat imperial mendiami daerah-daerah yang subur sehingga pada umumnya mereka adalah masyarakat agrikultural. Kehidupan mereka teratur karena hidup menetap. Pola hidup masyarakatnya dinamis dan mereka sudah mengenal ajaran monotheis.
b. Pengaruh Islam dalam Masyarakat Arab
Setelah Islam datang, masyarakat Arab masih meneruskan tradisi yang berurat akar dari nenek moyang mereka. Lahirnya Islam di tanah Arab tentunya menampilkan corak tersendiri bagi kelangsungan misi suci da’wah islamiyah. Lahirnya Islam di Arab tidak serta-merta membawa perubahan drastis dalam peri-kehidupan masyarakat Arab. Bahkan kehadiran Islam mengundang resistensi dari para ketua suku yang telah lama bercokol menanamkan pengaruh hegemonik di tengah-tengah masyarakat Arab.
Namun setahap demi setahap misi da’wah Nabi terus berkumandang meskipun seringkali berhadapan dan membentur tembok tebal kekuasaan. Dalam lingkup internal suku Qurays—suku keturunan Nabi—terjadi friksi dalam merespon ajaran-ajaran Nabi. Abdul Muthalib, kakek Nabi, adalah seorang yang mempunyai pengaruh di Mekah. Meskipun belum secara resmi menyatakan keislamannya, Abdul Muthalib siap membela Muhammad. Hal ini memberikan saham dan proteksi bagi kelangsungan misi da’wah Nabi. Di lain pihak, Abu Lahab cs memberikan respon negatif, bahkan terus merongrong dan menghalangi langkah Nabi. Secara logika, bagaimana mungkin seorang Abu Lahab yang berpengaruh harus tunduk kepada seorang Muhammad.
c. Perang Suci
Kondisi gurun pasir yang panas berpengaruh terhadap pembentukan karakter masyarakat Arab. Masyarakat Arab terkenal dengan karakter mereka yang keras dan gemar berperang. Sehingga suatu hal yang paradoksal jika perjalanan sejarah ekspansi Islam bersimbah darah.
Di samping itu, bunyi nash dalam al-Qur’an tentang perang (qitâl, dari kata dasar qatala) memberikan legitimasi yang kuat kepada masyarakat Arab Islam untuk mengobarkan perang suci. Kata qatala dan kata jadiannya disebutkan sebanyak 170 kali dalam al-Qur’an. Di samping kata qatala, al-Qur’an juga memakai kata harb yang juga berarti perang. Kata harb disebut sebanyak 4 kali dalam al-Qur’an, yaitu dalam surat al-Baqarah 2: 279; al-Maidah 5: 64; al-Anfal 8: 57; Muhammad 47: 4.
Hobi berperang di satu sisi dan legitimasi nash yang sakral berpadu menjadi simbiosis mutualis. Pada tahap tertentu, sikap heroisme ‘askar Islam yang militan mampu meruntuhkan dua kerajaan adidaya Romawi di Barat dan Persia di Timur dan memperluas jangkauan ekspansi hingga masuk wilayah Eropa.
Di sisi lain, perang juga merupakan ajang mempertahankan harga diri suku-suku Arab. Kabilah/suku menjadi populer dan dominan ketika mempunyai track record tinggi dalam kemenangan di setiap ajang peperangan. Sentimen antar suku acapkali memicu terjadinya peperangan. Logika individu sudah membaur dalam logika komunal yang impulsif, sehingga tiada lagi perasaan takut untuk memanggul senjata. Membela kehormatan suku, tanpa memandang benar atau salah, adalah kewajiban yang harus dipikul setiap anggota tanpa reserve. Bahkan setiap anggota suku merasa terhina apabila sukunya menjadi ejekan suku lain. Kebanggan terhadap suku/golongan ini sebagaimana dilukiskan dalam surat al-Mu’minûn: 53 Allah berfirman:
فتقطعوا امرهم بينهم زبرا كل حزب بما لديهم فرحون
“Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing)”.
d. Apresiasi Puisi (Syair)
Di samping hobi berperang, masyarakat Arab pra-Islam juga juga gemar mengadakan kontes apresiasi puisi (syair). Kontes biasanya diadakan di samping ka’bah. Masing-masing peserta, baik atas nama individu atau suku, membacakan hasil karyanya di depan ka’bah, disaksikan para khalayak. Hasil karya tersebut kemudian ditempel di dinding-dinding ka’bah.
Kontes apresiasi puisi ini juga menjadi ajang gengsi persaingan antar suku. Setiap suku mengirimkan duta terbaiknya untuk berkompetisi dengan duta dari suku lainnya. Tidak ada tim yang membuat juklak, juknis maupun yang merancang event organizer kontes ini.
IV. Konklusi
1. Struktur sosio-kultural masyarakat Arab pra-Islam adalah masyarakat kesukuan patriarchal nomaden;
2. Kondisi geografis gurun sahara yang panas, kering kerontang, berpengaruh pada pola hubungan keseharian yang keras;
3. Hobi berperang antar suku di semenanjung Arab mendapatkan legitimasi dari nash suci (ayat-ayat tentang qital). Atau pemahaman sebaliknya, nash tentang qital merupakan refleksi dari peri-kehidupan masyarakat yang gemar berperang;
V. Daftar Pustaka
Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Umat Islam, terjemahan (Jakarta, RajaGrafindo Persada: 2000), Bag. I dan II cet. II.
Mulia, T.S.G. dan K.A.H. Hidding, Ensiklopedia Indonesia, (Bandung, W. Van Hoeve: tth) h. 91
Badawi, A. Zaki, A. Dictionary of the Social Sciences, (Beirut, Librairie Du Liban, 1986), h. 21
0 komentar:
Posting Komentar