28 Januari 2009

SISTEM EKONOMI ISLAM

Oleh: Nur Rosihin Ana

I.‎ Pendahuluan
Ajaran Islam mengandung tatanan-tatanan yang mencakup seluruh aspek kehidu‎pan seperti aspek sosio-ekonomi, budaya, politik, keamanan. Di samping itu juga mengatur ‎tentang hak dan kewajiban, hubungan individu dengan individu, masyarakat dan negara.


‎Tatanan tersebut merupakan misi suci Islam dalam rangka mewujudkan kehidupan yang ‎ideal, adil makmur, aman sejahtera lahir maupun batin. Di bidang ekonomi, Islam memberikan tuntunan yang bisa menjadi alternatif sistem perekonomian setelah gagalnya sistem ‎perekonomian Sosialis yang telah runtuh dan sistem Kapitalis yang masih bersikukuh ‎menguasai perekonomian dunia. Kapitalisme telah melahirkan kesenjangan yang tajam ‎antara negara maju, berkembang dan negara dunia ketiga. Beberapa dasawarsa peta dunia ‎didominasi oleh dua mainstream ideologi sentralistik yaitu ideologi Kapitalis dan Sosialis. ‎Kedua ideologi ini saling berlomba mem¬perluas jangkauan hegemoninya ke sejumlah ‎negara di dunia hingga memicu perang berkepanjangan.‎
Kapitalisme ‎ adalah penguasa tunggal perekonomian dunia setelah Uni Soviet se¬‎bagai komando perekonomian terpusat, runtuh pada awal dekade 1990-an. Pertarungan ‎ideo¬logis yang kemudian larut dalam perang dingin berakhir dengan kapitalisme sebagai ‎pemenang. Berakhirnya perang dingin, tidak saja menyebabkan berbagai perubahan men¬da¬‎sar dalam struktur kekuatan dunia, melainkan juga membawa nuansa baru dalam hubungan ‎ekonomi antar bangsa. Kehancuran komunisme menuntun negara-negara penganutnya un¬‎tuk mau tidak mau cenderung menatap pada ekstrim yang lain: dari perencanaan terpusat ke ‎mekanisme pasar.‎ ‎ ‎
Madzhab ekonomi Kapitalis sebagai penguasa tunggal ekonomi dunia telah gagal ‎membawakan misi keadilan ('adâlah), kesejahteraan (falâh) bagi kemaslahatan umat ma¬‎nusia. Justru sebaliknya, kapitalisme membawa dampak buruk bagi sejarah pere¬ko¬¬nomian ‎dunia. Karakter kapitalisme yang eksploitatif telah mewariskan kerusakan alam yang parah ‎bagi kelangsungan ekosistem. Eksploitasi besar-besaran tidak hanya terjadi pa¬da sumber¬‎daya alam, bahkan sumberdaya manusia dipalingkan dari hakekat ke¬ma¬¬nusiaan, memposi¬‎sikan manusia sebagai binatang materialis, hedonis yang berten¬ta¬ngan dengan fitrah ‎manusia sebagai makhluk beradab. Kapitalisme melahirkan konsentrasi kekayaan di tangan ‎segelintir orang di tengah kehidupan yang timpang. Bahkan praktek konglomerasi yang ‎tidak sehat memberikan andil cukup besar bagi runtuhnya perekonomian Indo¬nesia. Ketika ‎badai krisis menerjang Indonesia pada pertengahan tahun 1997, noktah hitam konglomerasi ‎tergambar menganga menampilkan guratan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). ‎
Konglomerasi merupakan bentuk keserakahan yang bertentangan dengan konsep ‎keadilan ('adâlah), menghambat kese¬jah¬te¬raan (falâh) yang merata bagi manusia. Kong¬lo¬‎merasi juga merupakan wujud pe¬mua¬san ambisi yang berlebihan dan keluar dari konteks ‎kemanusiaan. Islam se¬ba¬gai ajaran sangat respek dan menjunjung tinggi ikhtiar manusia se¬‎panjang tidak berten¬ta¬ngan dengan norma-norma aga¬ma dan kemanusiaan secara universal. ‎Nilai-nilai normatif yang dibawa¬kan Islam menjadi pijakan dalam memahami kecen¬de¬ru¬‎ngan yang ter¬ja¬di se¬kaligus men¬cari alternatif pemecahan yang tepat sasaran, mem¬bu¬tuh¬kan ‎pemikiran yang tidak hanya bersifat tradi¬sional, tapi juga pemikiran rasional dan glo¬bal. ‎Pemikiran tentang reaktualisasi pemi¬kiran keislamanan di bidang perekonomian men¬jadi ‎alternatif signifikan di tengah carut-marut sistem pereko¬no¬mi¬an Sosialis dan Kapi¬talis. ‎Profesor Jacquen Austry, ahli ekonomi berkebangsaan Perancis mengatakan: "Bahwa jalan ‎menum¬buh¬¬kan ekonomi tidak terbatas pada dua mazhab yang telah kita kenal, yaitu kapita¬‎lisme dan sosialisme saja, melainkan ada satu mazhab ekonomi ketiga yaitu mazhab ‎ekonomi Islam. Beliau berpendapat bahwa mazhab ekonomi Islam akan memimpin dunia di ‎kemudian hari karena mazhab ini merupakan susunan kehidupan yang sempurna."‎
Misi ekonomi Islam adalah menciptakan tatanan yang berkeadilan ('adâlah) dan ‎egaliter. Prinsip ekonomi Islam menitikberatkan pembahasannya pada aspek-aspek vital ‎yang menyangkut kepentingan masyarakat secara universal, lebih-lebih pada golongan fa¬‎kir-miskin, individu atau kelompok yang dizalimi oleh kebijakan penguasa atau pengu¬sa¬ha. ‎Keberpihakan pada masyarakat yang tidak diuntungkan secara ekonomi ini merupakan ‎bentuk kepedulian Islam dalam rangka meminimalisir ketimpangan sosio-ekonomi yang ‎diaki¬bat¬kan oleh konglomerasi oleh segelintir orang di berbagai bidang kehidupan ‎khususnya bi¬dang ekonomi. ‎
II. ‎ Pengertian Ekonomi Islam
Definisi ekonomi (economic) adalah suatu istilah yang dipakai untuk setiap tinda¬‎kan atau usaha atau proses yang bertujuan menciptakan barang-barang atau jasa-jasa yang ‎dimaksudkan akan memenuhi atau memuaskan kebutuhan-kebutuhan manusia. Lebih khu¬‎sus, istilah ini dipakai untuk menggambarkan corak produksi barang-barang dan jasa-jasa ‎dengan cara yang paling efektif dan sesuai dengan pengetahuan teknik yang sudah ada.‎ ‎ ‎
Sedangkan definisi ekonomi Islam, menurut Prof. M. Abdul Mannan, MA, Ph.D, ‎ilmu ekonomi Islam merupakan il¬mu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-‎masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.‎ ‎ Sebagian ahli berpendapat ‎bahwa ekonomi Islam merupakan sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang ‎disimpulkan dari Al-Qur'an dan As-Sunnah dan merupakan ba¬ngu¬nan perekonomian yang ‎didirikan atas landasan dasar-dasar tersebut sesuai dengan ling¬kungan dan masanya.‎ ‎ ‎
Definisi ekonomi Islam yang pertama menekankan pembahasannya pada masalah-‎masalah sosial, khususnya yang berkaitan dengan masalah-masalah ekonomi serta impli¬ka¬‎si-implikasi logis yang ditimbulkannya. Obyek kajian ekonomi Islam terhadap masalah ‎ekonomi kerakyatan merupakan panduan etis dalam menjalankan peran dan fungsi ekonomi ‎sebagai indikator pertumbuhan dan pemerataan menuju terciptanya kesejahteraan rakyat. ‎Rakyat sebagai pemilik kedaulatan mempunyai hak untuk menda¬patkan penghidupan yang ‎layak sesuai dengan tingkat pertumbuhan di suatu negara. Kemudian rakyat juga ‎berkewajiban ikut andil mensukseskan stabilitas ekonomi yang dirumuskan oleh ne¬ga¬ra. ‎Untuk mengetahui hak dan kewajiban di bidang ekonomi, individu harus menge¬ta¬hui ‎konstelasi di bidang ekonomi. Bagaimana mekanisme perputaran ekonomi, aliran uang ‎‎(cash flow) dan barang. Perubahan yang pesat dalam bidang Iptek secara langsung ber¬‎pengaruh pada mekanisme pasar. Oleh karena itu dibutuhkan analisa mendalam bagaimana ‎merumuskan konsep perekonomian yang berdasar pada tata-nilai islami.‎
Definisi ekonomi Islam kedua memberikan tekanan pada tataran nilai etis eko¬no¬‎mis. Salah satu prasayarat untuk menciptakan kondisi ekonomi yang stabil dibutuhkan rule ‎of game yang fair. Al-Qur'an ‎ sebagai pandangan hidup (way of life) kaum muslimin mem¬‎berikan landasan etis-normatif di bidang perekonomian. Landasan etis-normatif tersebut ‎kemudian diperjelas lagi oleh As-Sunnah ‎, Ijmak‎ ‎ dan Qiyas‎ ‎. Ketiga re¬fe¬rensi ini menjadi ‎pijakan bagi para mujtahid dan para ekonom Islam untuk menyusun sejumlah rumusan ‎sebagai panduan bagi aktifitas ekonomi yang relevan dengan transformasi sosial, budaya, ‎politik dan keamanan.‎
III.‎ Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam
a. ‎ Keadilan ('Adâlah)‎
Misi keadilan adalah substansi dari ajaran Islam, sehingga Al-Qur'an be¬be¬rapa ‎kali mengemas topik-topik yang berkaitan keadilan. Keadilan dalam Islam sangat universal, ‎menyentuh seluruh aspek kehidupan. Dalam menyampaikan misi keadilan, Al-Qur'an tidak ‎hanya memakai kata 'adl, tetapi juga memakai kata yang sinonim dengannya, yaitu qisth. ‎Allah berfirman dalam surah an-Nisâ': 135‎
يآأيها‎ ‎الذين أمنوا كونوا قوامين بالقسط شهداء‏‎ ‎لله ولو على أنفسكم أو‎ ‎الوالدين والأقربين‎ ‎
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar ‎penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri ‎atau ibu bapa dan kaum kerabatmu.‎
Ayat di atas membahas masalah keadilan dan persaksian. Kata 'adl adalah antitesa ‎dari kata zhulm. Adil berarti menempatkan sesuatu pada proporsi yang relevan. Sikap adil ‎adalah manifestasi dari kepribadian manusia yang berdasar pada nilai-nilai keimanan dan ‎ketakwaan. Nilai-nilai keadilan merupakan fithrah dari Allah SWT, sehingga manusia ‎senantiasa dituntut untuk mempertahankan eksistensi keadilan dalam semua bidang ‎kehidupan, termasuk dalam bidang ekonomi. Sungguh berat menghadapi kemelut batin ‎dalam diri (perang me¬lawan hawa nafsu) ketika dihadapkan pada pilihan yang bertentangan ‎dengan nor¬ma-norma agama. Begitu juga ketika berhadapan dengan kedua orang tua atau ‎famili. Berlaku adil kepada diri sendiri, kedua orang tua dan famili di bidang eko¬¬nomi ‎berarti mencegah terjadinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme KKN.‎
Konsep keadilan di bidang ekonomi adalah perlindungan terhadap hak-hak ‎individu. Setiap individu harus terbebas dari eksploitasi yang dilakukan oleh individu-‎individu lainnya. Islam dengan tegas melarang seorang muslim meru¬gi¬kan orang lain.‎ ‎ ‎Firman Allah dalam surat Asy-Syu'arâ: 183‎
ولا تبخسوا‎ ‎الناس أشياءهم ولا تعثوا فى الأرض مفسدين
Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu ‎merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan. ‎
Konsep keadilan juga berarti pemerataan distribusi kekayaan. Ketidakadilan di ‎bidang ekonomi melahirkan terjadinya konsentrasi kekayaan pada negara adi¬daya, ‎kelompok kecil orang atau individu. Konsentrasi kekayaan (konglomerasi) merupakan ‎bentuk konspirasi jahat antara para pengusaha dengan penguasa. Mengenai konglomerasi ‎ini, Allah berfirman Allah dalam surat al-Hasyr: 7‎
‏...كي لا يكون دولة بين الأغنياء منكم...‏
‎...supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di ‎antara kamu...‎
Ayat tersebut di atas berbicara tentang pembagian harta benda fai, harta ram¬pasan ‎yang diberikan Allah kepada kaum muslimin, tanpa melalui pertempuran yang berasal dari ‎harta benda orang kafir. Pada suatu peristiwa, Rasulullah mem¬be¬¬¬rikan rampasan dari Bani ‎Nadhir kepada orang-orang Muhajirin, karena waktu itu mereka adalah orang yang fakir. ‎Sedangkan orang-orang Anshar tidak mene¬ri¬ma bagian apapun, sebab mereka dinilai lebih ‎baik kondisi ekonominya diban¬ding¬kan orang Muhajirin. ‎
Implementasi ayat tersebut oleh Rasulullah di lapangan, pertama, untuk men¬¬cipta¬‎kan kesejahteraan umum yang merata dan mampu bertahan dalam jangka panjang, serta ‎diperlukan strategi yang memberikan perhatian yang seimbang an¬ta¬ra pertumbuhan dan pe¬‎merataan. Rasulullah memberikan contoh yang feno¬menal dengan melaksanakan strategi ‎pertumbuhan yang berimbang, dengan hanya mem¬¬berikan fasilitas kepada kelompok yang ‎pa¬ling lemah: Kaum Muhajirin. Feno¬mena kelompok Anshar adalah indikator pertum¬bu¬‎han, sedangkan kelompok Muhajirin adalah indikator pemerataan. Dengan memberikan fa¬‎silitas kepada Mu¬ha¬¬jirin, diharapkan mereka dapat berkembang seperti berkembangnya ‎kaum An¬shar. Kedua, untuk melaksanakan strategi pertumbuhan seperti itu, diperlukan pe¬‎me¬rintahan yang adil, bijaksana dan konsisten dalam menjabarkan kebijakan di lapangan.‎ ‎ ‎
b. ‎ Solidaritas Sosial
Sistem perekonomian Islam dibangun atas dasar solidaritas sosial. Soli¬da¬ri¬tas ‎sosial dalam Islam tercermin dari sikap tolong-menolong (gotong royong) antar sesama ‎manusia dalam hal kebaikan. Dalam surat al-Ma'idah: 2 Allah SWT berfirman:‎
وتعاونوا على البر والتقوى ولا تتعاونوا على الإثم والعدوان
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan ‎jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. ‎
Ayat ini memberi spirit akan pentingnya tolong-menolong atau kerja sama dalam ‎hal-hal yang bernilai posistif. Dalam bidang ekonomi, menurut Kunto¬wi¬joyo, ta'âwun itu ‎dapat pula menjadi kaidah bagi persekutuan yang bersifat mikro, misalnya dalam satu ‎pabrik atau perusahaan. Self management pekerja dan pemi¬likan asset-asset perusahaan ‎oleh karyawan, akan meningkatkan tanggung jawab karyawan pada perusahaan, suatu hal ‎yang sangat baik dalam era yang penuh kom¬petisi. Jadi ada ta'âwun antara pemilik modal ‎dan pemrakarsa dengan karya¬wan. Ta'âwun yang bermula dari kaidah normatif, perlu dasar ‎legal-rasional melalui proses demokratis.‎ ‎ ‎
Ta'âwun adalah sebuah upaya kreatif individu yang yang terpancar dari sisi-sisi ‎kemanusiaan dan dilandasi oleh ajaran moral agama (Islam) terhadap individu lainnya. ‎Melalui gerakan ta'âwun akan tercipta sinergi yang sangat potensial bagi terciptanya ‎atmosphere ekonomi yang harmonis, selaras, serasi dan seimbang. Imple¬mentasi konsep ‎Ta’awun yang cukup strategis yaitu mendistribusikan sebagian melalui ibadah zakat, infak, ‎sha¬daqah dan hibah. Misi sosial yang terkandung dalam ibadah zakat, pada hake¬kat¬nya ‎merupakan bentuk kepedulian Islam dalam rangka meminimalisir jumlah ke¬miskinan. ‎Bagaimanapun juga, keberadaan ‘kumis’ (kumuh dan miskin) akan tetap menghiasi wajah ‎du¬nia. Memotong kumis hingga habis tanpa bekas adalah sesuatu yanng mustahil. Sehingga ‎yang bisa dilakukan adalah upaya maksimal meminimalisir tumbuhnya kumis. ‎
Arti zakat dari segi bahasa adalah: persekutuan antara dua hal: berkembang dan ‎kesucian ‎‏(مشتركة بين النماء والطهارة)‏‎. Ibadah zakat diwajibkan pada tahun kedua hijrah sebelum ‎diwajibkannya puasa Ramadhan. Ibadah zakat sekaligus mengan¬dung dua dimensi spiritual, ‎yaitu ibadah personal dan sosial. ‎
عن ابن عباس أن النبى صلى الله عليه وسلم بعث معاذا إلى اليمن فذكر الحديث وفيه: ‏إن الله قدافترض عليهم صدقة فى أموالهم توءخذ من أغنيائهم فترد فى فقرائهم. (متفق ‏عليه واللفظ للبخارى)‏
‏ ‏Dari Ibnu Abbâs Nabi Saw. mengutus Mu'âdz ke Yaman seraya menyebutkan ‎hadits sebagai berikut: Sesungguhnya Allah telah mewajibkan (bagi kaum ‎muslimin) memberikan sedekah harta-hara mereka yang diambil dari para orang‏ ‏kaya untuk kemudian dikembalikan (diserahkan) kepada para orang fakir. ‎
Harta merupakan titipan (amânah) dari Allah yang harus didistribusikan pada ‎jalan yang diridhai-Nya. Manusia secara de facto memang memiliki keka¬yaan, tetapi secara ‎de jure pemiliknya adalah Allah. Karena itu Allah mempunyai disposal right atas keka¬‎yaan. Pandangan Islam tentang kekayaan ini berbeda, baik dengan kapitalisme maupun ‎sosialisme. Kapitalisme menjadikan individu sebagai pemilik de facto dan de jure, sedang¬‎kan sosialisme menyatakan bahwa se¬cara de facto dan de jure kolektifitaslah (negara, ‎masyarakat) yang memiliki. Kapi¬talisme menganggap bahwa selfishness adalah sebuah ‎virtue (nilai), sedangkan sosialisme justru altruism-lah yang paling bernilai.‎
Kesetiakawanan sosial lewat ibadah zakat menunjukkan kepedulian Islam ‎terhadap masyarakat ekonomi lemah sangat tinggi. Sehingga Al-Qur'an se¬ringkali mengutip ‎kata zakat setelah kata shalat. Firman Allah surat Al-Baqarah: 43‎
وأقيموا الصلاة وأتوا الزكاة واركعوا مع الراكعين
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku'lah bersama orang-orang ‎yang ruku'.‎
Shalat merupakan bentuk ritual berdimensi vertikal antara individu dengan Allah. ‎Sedangkan zakat mengandung dua dimensi yaitu vertikal dan horisontal. Untuk mencip¬ta¬‎kan harmonitas sosial, Allah mewajibkan ibadah shalat sebagai bentuk pengabdian seorang ‎hamba kepada-Nya, dan mewajibkan zakat, di samping sebagai bentuk ketaatan kepada-‎Nya juga merupakan bentuk kepedulian individu terhadap kondisi lingkungan sosialnya. ‎Oleh ka¬rena itu, sikap apatis si kaya terha¬dap kondisi lingkungannya merupakan tindakan ‎tak bermoral dan keluar dari konteks manusia sebagai makhluk sosial. Lebih tragis lagi bila ‎dengan kekayaan itu si kaya berani membayar mahal untuk sebuah status simbol, memberi ‎makanan he¬wan-hewan piaraan kesayangan dengan minuman dan makanan bergizi. ‎Sementara bayi-bayi di lingkungan tersebut tidak terpenuhi kebutuhan gizinya.‎
Skala prioritas dari misi dan orientasi zakat terfokus pada upaya mengu¬rangi ‎angka kemiskinan. Khususnya memerangi "kemiskinan mutlak", yaitu mereka yang me¬‎ngalami kondisi kehidupan yang buruk karena pe¬nyakit, buta huruf, kekurangan gizi, dan ‎kekumuhan sebagai korban-korban ka¬rena tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya.‎ ‎ ‎
Usia kemiskinan hampir sebaya dengan sejarah kehidupan manusia. Dan ‎sepanjang sejarah, belenggu kemiskinan memunculkan implikasi sangat negatif, terlebih ‎lagi jika kemiskinan terjadi karena program atau rekayasa individu terhadap sekelompok ‎orang. Kerawanan-kerawanan sosial menjadi bom waktu yang me¬¬nge¬rikan. Orang-orang ‎yang tertindas dan terpuruk dalam kemiskinan bisa mem¬bangun solidaritas laksanana ‎kawanan srigala yang lapar mengejar mangsa.‎
c. ‎ Halâlan Thayyibâ
Prinsip Islam tentang halâlan thayyibâ (halal dan baik) merupakan panduan etis ‎dalam dunia bisnis. Barang-barang yang diproduksi, diperjualbelikan haruslah barang-‎barang yang masuk dalam kategori diperbolehkan (halâl) dan baik (thayyib). Produsen dan ‎penjual di tingkat agen maupun pengecer mendapatkan keu¬ntungan secara fair, tidak ada ‎unsur penipuan dalam substansi maupun kom¬po¬sisi produk. Di samping itu hak-hak konsu¬‎men terlindungi dari praktek-praktek kotor yang dilakukan oleh produsen maupun penjual ‎yang ingin mengeruk keun¬tungan yang sebesar-besarnya. Persaingan di pasar yang kian ke¬‎tat, memunculkan produk makanan, minuman, dan produk-produk baru lainnya yang sama ‎sekali baru, baik produk import maupun domestik. Oleh karena itu kon¬su¬men harus jeli de¬‎ngan produk-produk yang dijual di pasar. Sebelum membeli se¬buah produk, konsumen hen¬‎daknya memeriksa komposisi yang tertera dalam kemasan. Apakah di dalamnya terkan¬‎dung hal-hal yang dilarang oleh agama, apakah barang dalam kondisi baik, belum melam¬‎paui masa kadaluwarsa dan cocok untuk dikonsumsi. Mengenai barang-barang yang rusak ‎atau cacat, pembeli mempunyai hak untuk mengembalikan kepada penjual atau menga¬‎dukan (complain) kepada pihak produsen. Dalam hal ini ulama Syafi'iyyah berpendapat:‎
إن كان بعض المبيع فاسدا لاينتفع به وبعضه غير فاسد ينتفع به، كان للمشترى الحق فى ‏رده وأخذ ثمنه كاملا، بدون أن يلزم بشئ عما أحدثه فيه من التغيير، لأن له العذر فى ‏ذلك حيث لا يمكنه معرفته إلا بكسره.‏
Apabila sebagian barang yang dijual (telah dibeli oleh konsumen) dalam kondisi ‎rusak, tidak dapat berfungsi dan sebagian dapat berfungsi dengan baik, maka ‎pembeli mempunyai hak untuk mengembalikan barang (complain) dan meminta ‎kembali harga barang (yang telah dibayarkan) dengan utuh, tanpa dibebani ‎kewajiban atas perubahan yang terjadi pada barang, karena dia dalam posisi ‎terhalang sehingga tidak memungkinkan baginya untuk mengetahui kondisi ‎barang kecuali dengan cara memecahkannya (membuka kemasan).‎ ‎ ‎
Meskipun apa yang tertera dalam kemasan bukan jaminan, setidaknya konsumen ‎sudah bertindak hati-hati untuk menghindari diri dari mengkonsumsi makanan maupun ‎minuman yang dilarang oleh agama (ingat kasus Ajinomoto yang menghebohkan itu). ‎Firman Allah dalam surah al-Baqarah: 172‎
يآأيهاالذين أمنوا كلوا من طيبات مارزقناكم واشكروا لله إن كنتم إياه تعبدون ‏
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang ‎Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya ‎kepada-Nya kamu menyembah.‎
Dalam sistem ekonomi Islam, produk barang baik makanan, minuman harus ‎termasuk dalam kategori barang yang sah (diperbolehkan) dan thayyib (baik) untuk ‎diperjualbelikan maupun dikonsumsi. Firman Allah dalam surah al-Baqarah: 173‎
إنماحرم عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وماأهل به لغير الله فمن اضطر غير باغ ولا عاد ‏فلا إثم عليه إن الله غفور رحيم
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, ‎dan binatang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa ‎dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan ‎tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah ‎Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ‎
Tiga golongan pertama dilarang karena hewan-hewan ini berbahaya bagi tubuh, ‎yang berbahaya bagi tubuh tentu berbahaya pula bagi jiwa.‎ ‎ Menurut jumhur ulama, yang ‎dimaksud dengan keharaman bangkai yaitu ‎‏ الإ نتفاع بها بأكل أو غيره‎, mengambil manfaat dengan ‎mengkonsumsi atau lainnya (menjual, pen).‎
Thayyibâ berarti bahwa makanan yang dikonsumsi maupun dijual harus baik dan ‎cocok untuk dimakan, tidak kotor, menjijikkan sehingga merusak selera. Karena itu tidak ‎semua yang diperkenankan boleh dimakan dan diminum dalam semua keadaan.‎ ‎ ‎
IV.‎ Identitas Ekonomi Islam
a.‎ Kebebasan Individu dalam berusaha
Setiap individu mempunyai kebebasan dalam berpikir, bertindak dan ber¬sikap. ‎Allah menciptakan segala apa yang ada di bumi adalah untuk kesejahteraan seluruh ‎manusia. Manusia diberi kebebasan mengelola, membudidaya sumber¬da¬ya alam yang ‎dikaruniakan oleh Allah sesuai dengan tingkat kemampuan dan kecerdasan mereka. Firman ‎Allah dalam surat al-Baqarah: 29 ‎
هو الذى خلق لكم مافى الأرض جميعا...‏
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu... ‎
Namun kebebasan tersebut dibatasi oleh etika-etika Islam. Sebab kebebasan yang ‎berlebihan dan keluar dari konteks kemanusiaan berakibat fatal bagi kelangsungan ekosis¬‎tem alam. Eksploitasi sumber daya alam seperti eksploitasi hutan secara besar-besaran oleh ‎perusahaan-perusahaan yang mendapatkan Hak Pengelolaan Hutan (HPH) dari pemerintah, ‎sehingga hutan menjadi gundul dan berdampak erosi dan bahaya bencana banjir. ‎
Kebebasan manusia dalam berusaha menempati posisi yang mulia dalam Islam. ‎Kebebasan berusaha (Ihtiyâr) merupakan implementasi dari peran manusia sebagai khalifah ‎Allah yang memegang amanah di bumi. Sebagai makhluk yang dibekali dengan kecerdasan ‎‎(akal), memungkinkan manusia untuk berusaha sesuai dengan kemampuan yang dimiliki¬‎nya. Dalam Islam, usaha yang bermuatan positif adalah termasuk dalam kategori ibadah. ‎Sekecil apapun usaha yang dilakukan oleh individu akan tampak hasilnya di kemudian hari. ‎Firman Allah dalam surah an-Najm: 39-42 ‎
وأن ليس للإنسان إلا ماسعى، وأن سعيه سوف يرى، ثم يجزيه الجزاء الأوفى، وأن إلى ‏ربك المنتهى
Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah di¬‎usahakannya. Dan bahwasannya‏ ‏usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepa¬da¬‎nya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling ‎sempurna, dan bahwasannya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu).‎
Ayat tersebut di atas mengisyaratkan akan pentingnya sebuah 'proses'. Ke¬mu¬dian ‎di dalam proses ada tahapan-tahapan. Di dalam tahapan-tahapan ada skala-skala prioritas. ‎Untuk mencapai kesuksesan dalam usaha, seseorang harus berproses le¬wat usaha keras ‎yang dijalani dengan penuh kesungguhan dan tawakkal (menye¬rahkan sepenuhnya apa ‎yang telah diusahakan kepada Allah SWT). Usaha yang di¬lakukan individu adalah proses ‎untuk mencapai sesuatu, baik yang berupa mate¬ri seperti kekayaan maupun yang immateri ‎seperti penghargaan, status simbol.‎
Kebebasan manusia dalam aktifitas ekonomi yang paling utama adalah un¬tuk ‎memenuhi kebutuhan primer (primary need) yang meliputi: pakan (makan) sandang ‎‎(pakaian), papan (rumah/tempat tinggal), kesehatan dan pendidikan. Namun dalam Islam, ‎bekerja tidak hanya sekedar untuk memenuhi unsur-unsur material, melainkan ada nilai ‎transendental yaitu bahwa bekerja merupakan ibadah. Hal ini sebagaimana kaidah ‎ushûliyyah: ‎لا يتم الواجب المطلق إلا به فهو واجب‎.‎
Islam mengakui pandangan universal bahwa kebebasan individu bersing¬gu¬ngan ‎atau dibatasi oleh individu lain. Menyangkut masalah hak individu dalam kaitannya dengan ‎masyarakat, para sarjana muslim sepakat pada prinsip-prinsip sebagai berikut: ‎
‎1.‎ Kepentingan masyarakat yang lebih luas harus didahulukan dari kepentingan pribadi.‎
‎2.‎ Melepas kesulitan harus diprioritaskan dibanding memberi manfaat ‎‏ (درء المفاسد مقدم على ‏جلب المصالح)‏‎ meskipun keduanya sama-sama merupakan tujuan syari'ah.‎
‎3.‎ Kerugian yang lebih besar tidak dapat diterima untuk menghilangkan yang le¬bih kecil. ‎Manfaat yang lebih besar tidak dapat dikorbankan untuk manfaat yang lebih kecil. ‎Sebaliknya, bahaya yang lebih kecil harus diterima/¬di¬ambil untuk menghindarkan ‎bahaya yang lebih besar, sedangkan manfaat yang lebih kecil dapat dikorbankan untuk ‎mendapatkan manfaat yang lebih besar.‎
Maka dalam hal ini kebebasan yang melekat pada manusia adalah kebebasan yang ‎relatif, terkait dengan keberadaan alam raya dan seisinya, termasuk di dalamnya adalah ‎komunitas manusia. Stigma pelupa, lemah, keluh kesah yang melekat pada manusia cukup ‎memberikan kesimpulan bahwa kebebasan manusia adalah limited. Sebab segala sesuatu ‎yang unlimited sepenuhnya berada di sisi Allah SWT. ‎
b.‎ Hak Milik Pribadi
Kebebasan manusia untuk mencari rizki yang halal pada tahap tertentu melahirkan ‎hak milik pribadi. Islam memberikan pembenaran terhadap individu untuk memiliki asset ‎sejumlah tertentu yang diperoleh berdasarkan pengetahuan, kemampuan (skill) yang ‎dimiliki individu dengan jalan yang halal. Firman Allah surat al-Baqarah: 188‎
ولاتأكلوا أموالكم بينكم بالباطل وتدلوا بها إلى الحكام لتأكلوا فريقا من أموال الناس بالإثم ‏وأنتم تعلمون
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu ‎dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu ‎kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda ‎orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. ‎
Ayat di atas merupakan larangan memakan harta dengan jalan yang batil. Juga ‎menyinggung praktek-praktek memperkaya diri dengan ber¬sem¬bunyi di balik jubah hukum. ‎Menyelesaikan perkara melalui jalur pengadilan pada hakikatnya adalah un¬tuk mencari ‎solusi penyelesaian yang adil dan cermin kesadaran warga negara yang taat pada hukum. ‎Namun ketika hukum tunduk kepada kepentingan, maka keputusan yang diam¬bil berda¬‎sarkan order dari pihak-pihak yang berkuasa baik secara materi maupun posisi. ‎
Dalam bidang ekonomi, salah satu sarana untuk memperoleh hak milik ada¬lah ‎melalui usaha perdagangan (bussiness) secara fairplay. Firman Allah surat an-Nisâ': 29‎
يأيهاالذين أمنوا لاتأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم ولا ‏تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta ‎sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang ‎berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh ‎dirimu; sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu. ‎
Ayat di atas merupakan penegasan larangan memakan harta orang lain dengan ‎cara yang batil, seperti mencuri, menipu, memeras. Menurut Syekh Muhammad 'Abduh, ‎kata al-bâthil adalah lawan kata atau antitesa dari al-haqq ‎‏(أن الباطل هو ما يقابل الحق ويضاده) ‏‎.‎
Ayat tersebut juga memberi solusi untuk memperoleh harta, yaitu berasal dari ni¬‎lai keuntungan (profit value) dari sebuah usaha dagang (bussiness) yang berlangsung de¬‎ngan prinsip saling menguntungkan, tidak merugikan salah satu pihak. Kepemilikan pribadi ‎dari hasil yang merugikan orang lain adalah sama dengan menari di atas penderitaan orang ‎lain. Di samping itu, memakan harta yang bukan haknya juga berpengaruh kepada ‎kejiwaan, sehingga tidak ada ketenteraman dan keseimbangan dalam kehidupan. Yang ‎tergambar dalam pikiran adalah "besok makan di mana, menginap di mana, dengan siapa" ‎dan merancang agenda "besok makan siapa". Hal ini sangat kontras dengan keluhan si ‎miskin “besok makan apa dan bagaimana cara memperolehnya”.‎
Hak milik pribadi dalam Islam bukanlah sesuatu yang mutlak. Karena pada hake¬‎katnya alam raya dan seisinya adalah kepunyaan Allah. Manusia diberi ke¬per¬cayaan ‎‎(amânah) untuk mengelola dengan sebaik-baiknya sehingga semakin ber¬kembang dan bisa ‎dimanfaatkan oleh sesamanya. Firman Allah surat al-Mâidah: 120‎
لله ملك السموات والأرض وما فيهن وهو على كل شئ قدير
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; ‎dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. ‎
Jadi pada hakekatnya manusia tidak mempunyai apa-apa karena segala apa yang ‎ada dalam alam raya dan seisinya adalah kepunyaan Allah. Sehingga milik pribadi yang ‎berada dalam kekuasaan individu di dalamnya terdapat hak individu lainnya. Firman Allah ‎surat adz-Dzâriyât: 19‎
وفى أموالهم حق للسائل والمحروم
Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan ‎orang miskin yang tidak mendapat bahagian.‎
Menurut riwayat, ayat ini turun ketika Rasulullah mengirim pasukan bersen¬ja¬ta. ‎Dalam pertempuran, pasukan Rasulullah mendapat kemenangan dan ghanî¬mah. Setelah ‎selesai peperangan datanglah orang-orang miskin meminta bagian¬nya. Ayat ini merupakan ‎penegasan bahwa pada harta ghanîmah terdapat bagian kaum fakir miskin.‎
Karena hak milik pribadi dalam Islam tidak bersifat mutlak, maka harta yang ‎berada dalam kekuasaan individu mempunyai fungsi sosial. Fungsi-fungsi sosial yang ber¬‎si¬fat karitatif itu antara lain seperti zakat, shadaqah, hibah, waqaf. Program zakat terutama ‎ber¬tu¬ju¬an meminimalisir angka pengangguran dan kemis¬ki¬nan. Meskipun peranan zakat ‎belum mam¬pu mengatasi tingkat kemiskinan yang terus membengkak, bukan berarti ‎peranan zakat tidak efektif. Pro¬ble¬matika sosial yang sangat kompleks, membu¬tuh¬kan ana¬‎lisa dan identifikasi ma¬salah secara akurat, faktual dan komprehenship. Sehingga muncul ‎for¬mulasi ba¬¬ru tentang bentuk institusi dan manajemen zakat yang betul-betul berhasil-guna ‎dan berdayaguna meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan di bidang ekonomi. ‎
V.‎ Kesimpulan
‎1.‎ Runtuhnya Sosialisme dan hegemoni Kapitalisme terhadap perekonomian dunia ‎terbukti gagal menciptakan kesejahteraan (falâh) bagi umat manusia. Sehingga sistem ‎perekonomian Islam menjadi alternatif setelah gagalnya kedua sistem tersebut. ‎
‎2.‎ Sistem perekonomian Islam berlandaskan pada Al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas ‎yang memberikan guidence tentang prinsip-prinsip keadilan (‘adâlah), solidaritas ‎sosial, halâlan thayyibâ.‎
‎3.‎ Dalam pandangan Islam, aktivitas manusia dalam bidang ekonomi yang bertujuan ‎membangun kemashlahatan merupakan aktivitas yang bernilai ibadah. ‎
‎4.‎ Kepemilikan yang berada dalam genggaman manusia adalah kepemilikan muqayyad ‎‎(limited), karena kepemilikan muthlaq (unlimited) sepenuhnya berada dalam kekuasaan ‎Allah SWT. ‎
‎5.‎ Kekayaan yang dimiliki seseorang tidak mungkin terwujud tanpa adanya faktor ‎pendukung berupa keterlibatan berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung. ‎Sehingga menjadi kewajiban individu muslim yang mendapat anugerah kekayaan untuk ‎mendistribusikan kekayaannya melalui aksi sosial yang karitatif dalam bentuk program ‎zakat, infaq, shadaqah, hibah, waqaf, kepada pihak-pihak yang tidak diuntungkan secara ‎materi. Aksi ini sangat strategis dalam rangka meminimalisir angka pengangguran, ‎kemiskinan menuju terciptanya tatanan sosial yang harmonis, selaras, serasi dan ‎seimbang sebagaimana cita ideal yang menjadi misi suci Islam.© ‎


Daftar Pustaka

Abduh, Muhammad, Tafsîr al-Manâr, (Mesir: Math'ba'ah Qâhirah, 1380 H.) cet. IV, juz 5‎
Abdurachman, A, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan, Jakarta: Yayasan ‎Prapanca, 1963‎
Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995‎
Antonio, Muhammad Syafi'i, Bank Syari'ah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani ‎Press, 2001, cet. II
Assal (Al), Ahmad Muhammad, dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem, Prinsip dan ‎Tujuan Ekonomi Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1999, cet. I
Badawi, A. Zaki, A. Dictionary of the Social Sciences English, French, Arabic‏ (معجم ‏مصطلحات العلوم الاجتماعية)‏‎ Beirut: Maktabah Lubnan, 1978, cet. I. ‎
Basri, Faisal H., Ekonomi Indonesia Menjelang Abad XXI: Distorsi Peluang dan Kendala, ‎Jakarta: Erlangga, 1995, cet. I
Brewer, Anthony, Kajian Kritis Das Kapital Karl Marx, Jakarta: Teplok Press, 2000, cet.II‎
Bukhari (Al), Shahih Bukhari, Semarang: Thoha Putra ‎
Chapra, M. Umer, Islam dan Pembangunan Ekonomi, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, ‎cet. I
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Medinah ‎Munawwarah: Khadim al Haramain as Syarifain li Thiba'at al Mush-haf, 1411 H.‎
Haroen, Nasrun, Perdagangan Saham di Bursa Efek Tinjauan Hukum Islam, Ciputat: ‎Kalimah, 2000, cet. I‎
Kamali, Muhammad Hashim, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka ‎Pelajar, 1996, cet. I
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1999, cet. III‎
Mannan, M. Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima ‎Yasa, 1997.‎
Saleh, Qamaruddin, et. al., Asbabun Nuzul, (Bandung: CV Diponegoro, tt.), cet. II.‎
Suseno, Franz Magnis, Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan ‎Revisionisme, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001, cet. V
Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995, cet. I.‎
Weber, Max, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, Surabaya: Pustaka Promothea, ‎‎2001, cet. II‎
Zawawi, Ali, dan Saifullah Ma'shum, Penjelasan Al-Qur'an tentang Krisis Sosial, Ekonomi ‎dan Politik, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, cet. I.‎


Menguak tirai pagi
Jakarta, 11 Pebruari 2004‎
Pukul 4.24 WIB. ‎

0 komentar: