Oleh: Nur Rosihin Ana
I. Pendahuluan
Ajaran Islam mengandung tatanan-tatanan yang mencakup seluruh aspek kehidupan seperti aspek sosio-ekonomi, budaya, politik, keamanan. Di samping itu juga mengatur tentang hak dan kewajiban, hubungan individu dengan individu, masyarakat dan negara.
Tatanan tersebut merupakan misi suci Islam dalam rangka mewujudkan kehidupan yang ideal, adil makmur, aman sejahtera lahir maupun batin. Di bidang ekonomi, Islam memberikan tuntunan yang bisa menjadi alternatif sistem perekonomian setelah gagalnya sistem perekonomian Sosialis yang telah runtuh dan sistem Kapitalis yang masih bersikukuh menguasai perekonomian dunia. Kapitalisme telah melahirkan kesenjangan yang tajam antara negara maju, berkembang dan negara dunia ketiga. Beberapa dasawarsa peta dunia didominasi oleh dua mainstream ideologi sentralistik yaitu ideologi Kapitalis dan Sosialis. Kedua ideologi ini saling berlomba mem¬perluas jangkauan hegemoninya ke sejumlah negara di dunia hingga memicu perang berkepanjangan.
Kapitalisme adalah penguasa tunggal perekonomian dunia setelah Uni Soviet se¬bagai komando perekonomian terpusat, runtuh pada awal dekade 1990-an. Pertarungan ideo¬logis yang kemudian larut dalam perang dingin berakhir dengan kapitalisme sebagai pemenang. Berakhirnya perang dingin, tidak saja menyebabkan berbagai perubahan men¬da¬sar dalam struktur kekuatan dunia, melainkan juga membawa nuansa baru dalam hubungan ekonomi antar bangsa. Kehancuran komunisme menuntun negara-negara penganutnya un¬tuk mau tidak mau cenderung menatap pada ekstrim yang lain: dari perencanaan terpusat ke mekanisme pasar.
Madzhab ekonomi Kapitalis sebagai penguasa tunggal ekonomi dunia telah gagal membawakan misi keadilan ('adâlah), kesejahteraan (falâh) bagi kemaslahatan umat ma¬nusia. Justru sebaliknya, kapitalisme membawa dampak buruk bagi sejarah pere¬ko¬¬nomian dunia. Karakter kapitalisme yang eksploitatif telah mewariskan kerusakan alam yang parah bagi kelangsungan ekosistem. Eksploitasi besar-besaran tidak hanya terjadi pa¬da sumber¬daya alam, bahkan sumberdaya manusia dipalingkan dari hakekat ke¬ma¬¬nusiaan, memposi¬sikan manusia sebagai binatang materialis, hedonis yang berten¬ta¬ngan dengan fitrah manusia sebagai makhluk beradab. Kapitalisme melahirkan konsentrasi kekayaan di tangan segelintir orang di tengah kehidupan yang timpang. Bahkan praktek konglomerasi yang tidak sehat memberikan andil cukup besar bagi runtuhnya perekonomian Indo¬nesia. Ketika badai krisis menerjang Indonesia pada pertengahan tahun 1997, noktah hitam konglomerasi tergambar menganga menampilkan guratan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Konglomerasi merupakan bentuk keserakahan yang bertentangan dengan konsep keadilan ('adâlah), menghambat kese¬jah¬te¬raan (falâh) yang merata bagi manusia. Kong¬lo¬merasi juga merupakan wujud pe¬mua¬san ambisi yang berlebihan dan keluar dari konteks kemanusiaan. Islam se¬ba¬gai ajaran sangat respek dan menjunjung tinggi ikhtiar manusia se¬panjang tidak berten¬ta¬ngan dengan norma-norma aga¬ma dan kemanusiaan secara universal. Nilai-nilai normatif yang dibawa¬kan Islam menjadi pijakan dalam memahami kecen¬de¬ru¬ngan yang ter¬ja¬di se¬kaligus men¬cari alternatif pemecahan yang tepat sasaran, mem¬bu¬tuh¬kan pemikiran yang tidak hanya bersifat tradi¬sional, tapi juga pemikiran rasional dan glo¬bal. Pemikiran tentang reaktualisasi pemi¬kiran keislamanan di bidang perekonomian men¬jadi alternatif signifikan di tengah carut-marut sistem pereko¬no¬mi¬an Sosialis dan Kapi¬talis. Profesor Jacquen Austry, ahli ekonomi berkebangsaan Perancis mengatakan: "Bahwa jalan menum¬buh¬¬kan ekonomi tidak terbatas pada dua mazhab yang telah kita kenal, yaitu kapita¬lisme dan sosialisme saja, melainkan ada satu mazhab ekonomi ketiga yaitu mazhab ekonomi Islam. Beliau berpendapat bahwa mazhab ekonomi Islam akan memimpin dunia di kemudian hari karena mazhab ini merupakan susunan kehidupan yang sempurna."
Misi ekonomi Islam adalah menciptakan tatanan yang berkeadilan ('adâlah) dan egaliter. Prinsip ekonomi Islam menitikberatkan pembahasannya pada aspek-aspek vital yang menyangkut kepentingan masyarakat secara universal, lebih-lebih pada golongan fa¬kir-miskin, individu atau kelompok yang dizalimi oleh kebijakan penguasa atau pengu¬sa¬ha. Keberpihakan pada masyarakat yang tidak diuntungkan secara ekonomi ini merupakan bentuk kepedulian Islam dalam rangka meminimalisir ketimpangan sosio-ekonomi yang diaki¬bat¬kan oleh konglomerasi oleh segelintir orang di berbagai bidang kehidupan khususnya bi¬dang ekonomi.
II. Pengertian Ekonomi Islam
Definisi ekonomi (economic) adalah suatu istilah yang dipakai untuk setiap tinda¬kan atau usaha atau proses yang bertujuan menciptakan barang-barang atau jasa-jasa yang dimaksudkan akan memenuhi atau memuaskan kebutuhan-kebutuhan manusia. Lebih khu¬sus, istilah ini dipakai untuk menggambarkan corak produksi barang-barang dan jasa-jasa dengan cara yang paling efektif dan sesuai dengan pengetahuan teknik yang sudah ada.
Sedangkan definisi ekonomi Islam, menurut Prof. M. Abdul Mannan, MA, Ph.D, ilmu ekonomi Islam merupakan il¬mu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. Sebagian ahli berpendapat bahwa ekonomi Islam merupakan sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari Al-Qur'an dan As-Sunnah dan merupakan ba¬ngu¬nan perekonomian yang didirikan atas landasan dasar-dasar tersebut sesuai dengan ling¬kungan dan masanya.
Definisi ekonomi Islam yang pertama menekankan pembahasannya pada masalah-masalah sosial, khususnya yang berkaitan dengan masalah-masalah ekonomi serta impli¬ka¬si-implikasi logis yang ditimbulkannya. Obyek kajian ekonomi Islam terhadap masalah ekonomi kerakyatan merupakan panduan etis dalam menjalankan peran dan fungsi ekonomi sebagai indikator pertumbuhan dan pemerataan menuju terciptanya kesejahteraan rakyat. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan mempunyai hak untuk menda¬patkan penghidupan yang layak sesuai dengan tingkat pertumbuhan di suatu negara. Kemudian rakyat juga berkewajiban ikut andil mensukseskan stabilitas ekonomi yang dirumuskan oleh ne¬ga¬ra. Untuk mengetahui hak dan kewajiban di bidang ekonomi, individu harus menge¬ta¬hui konstelasi di bidang ekonomi. Bagaimana mekanisme perputaran ekonomi, aliran uang (cash flow) dan barang. Perubahan yang pesat dalam bidang Iptek secara langsung ber¬pengaruh pada mekanisme pasar. Oleh karena itu dibutuhkan analisa mendalam bagaimana merumuskan konsep perekonomian yang berdasar pada tata-nilai islami.
Definisi ekonomi Islam kedua memberikan tekanan pada tataran nilai etis eko¬no¬mis. Salah satu prasayarat untuk menciptakan kondisi ekonomi yang stabil dibutuhkan rule of game yang fair. Al-Qur'an sebagai pandangan hidup (way of life) kaum muslimin mem¬berikan landasan etis-normatif di bidang perekonomian. Landasan etis-normatif tersebut kemudian diperjelas lagi oleh As-Sunnah , Ijmak dan Qiyas . Ketiga re¬fe¬rensi ini menjadi pijakan bagi para mujtahid dan para ekonom Islam untuk menyusun sejumlah rumusan sebagai panduan bagi aktifitas ekonomi yang relevan dengan transformasi sosial, budaya, politik dan keamanan.
III. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam
a. Keadilan ('Adâlah)
Misi keadilan adalah substansi dari ajaran Islam, sehingga Al-Qur'an be¬be¬rapa kali mengemas topik-topik yang berkaitan keadilan. Keadilan dalam Islam sangat universal, menyentuh seluruh aspek kehidupan. Dalam menyampaikan misi keadilan, Al-Qur'an tidak hanya memakai kata 'adl, tetapi juga memakai kata yang sinonim dengannya, yaitu qisth. Allah berfirman dalam surah an-Nisâ': 135
يآأيها الذين أمنوا كونوا قوامين بالقسط شهداء لله ولو على أنفسكم أو الوالدين والأقربين
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu.
Ayat di atas membahas masalah keadilan dan persaksian. Kata 'adl adalah antitesa dari kata zhulm. Adil berarti menempatkan sesuatu pada proporsi yang relevan. Sikap adil adalah manifestasi dari kepribadian manusia yang berdasar pada nilai-nilai keimanan dan ketakwaan. Nilai-nilai keadilan merupakan fithrah dari Allah SWT, sehingga manusia senantiasa dituntut untuk mempertahankan eksistensi keadilan dalam semua bidang kehidupan, termasuk dalam bidang ekonomi. Sungguh berat menghadapi kemelut batin dalam diri (perang me¬lawan hawa nafsu) ketika dihadapkan pada pilihan yang bertentangan dengan nor¬ma-norma agama. Begitu juga ketika berhadapan dengan kedua orang tua atau famili. Berlaku adil kepada diri sendiri, kedua orang tua dan famili di bidang eko¬¬nomi berarti mencegah terjadinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme KKN.
Konsep keadilan di bidang ekonomi adalah perlindungan terhadap hak-hak individu. Setiap individu harus terbebas dari eksploitasi yang dilakukan oleh individu-individu lainnya. Islam dengan tegas melarang seorang muslim meru¬gi¬kan orang lain. Firman Allah dalam surat Asy-Syu'arâ: 183
ولا تبخسوا الناس أشياءهم ولا تعثوا فى الأرض مفسدين
Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.
Konsep keadilan juga berarti pemerataan distribusi kekayaan. Ketidakadilan di bidang ekonomi melahirkan terjadinya konsentrasi kekayaan pada negara adi¬daya, kelompok kecil orang atau individu. Konsentrasi kekayaan (konglomerasi) merupakan bentuk konspirasi jahat antara para pengusaha dengan penguasa. Mengenai konglomerasi ini, Allah berfirman Allah dalam surat al-Hasyr: 7
...كي لا يكون دولة بين الأغنياء منكم...
...supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu...
Ayat tersebut di atas berbicara tentang pembagian harta benda fai, harta ram¬pasan yang diberikan Allah kepada kaum muslimin, tanpa melalui pertempuran yang berasal dari harta benda orang kafir. Pada suatu peristiwa, Rasulullah mem¬be¬¬¬rikan rampasan dari Bani Nadhir kepada orang-orang Muhajirin, karena waktu itu mereka adalah orang yang fakir. Sedangkan orang-orang Anshar tidak mene¬ri¬ma bagian apapun, sebab mereka dinilai lebih baik kondisi ekonominya diban¬ding¬kan orang Muhajirin.
Implementasi ayat tersebut oleh Rasulullah di lapangan, pertama, untuk men¬¬cipta¬kan kesejahteraan umum yang merata dan mampu bertahan dalam jangka panjang, serta diperlukan strategi yang memberikan perhatian yang seimbang an¬ta¬ra pertumbuhan dan pe¬merataan. Rasulullah memberikan contoh yang feno¬menal dengan melaksanakan strategi pertumbuhan yang berimbang, dengan hanya mem¬¬berikan fasilitas kepada kelompok yang pa¬ling lemah: Kaum Muhajirin. Feno¬mena kelompok Anshar adalah indikator pertum¬bu¬han, sedangkan kelompok Muhajirin adalah indikator pemerataan. Dengan memberikan fa¬silitas kepada Mu¬ha¬¬jirin, diharapkan mereka dapat berkembang seperti berkembangnya kaum An¬shar. Kedua, untuk melaksanakan strategi pertumbuhan seperti itu, diperlukan pe¬me¬rintahan yang adil, bijaksana dan konsisten dalam menjabarkan kebijakan di lapangan.
b. Solidaritas Sosial
Sistem perekonomian Islam dibangun atas dasar solidaritas sosial. Soli¬da¬ri¬tas sosial dalam Islam tercermin dari sikap tolong-menolong (gotong royong) antar sesama manusia dalam hal kebaikan. Dalam surat al-Ma'idah: 2 Allah SWT berfirman:
وتعاونوا على البر والتقوى ولا تتعاونوا على الإثم والعدوان
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Ayat ini memberi spirit akan pentingnya tolong-menolong atau kerja sama dalam hal-hal yang bernilai posistif. Dalam bidang ekonomi, menurut Kunto¬wi¬joyo, ta'âwun itu dapat pula menjadi kaidah bagi persekutuan yang bersifat mikro, misalnya dalam satu pabrik atau perusahaan. Self management pekerja dan pemi¬likan asset-asset perusahaan oleh karyawan, akan meningkatkan tanggung jawab karyawan pada perusahaan, suatu hal yang sangat baik dalam era yang penuh kom¬petisi. Jadi ada ta'âwun antara pemilik modal dan pemrakarsa dengan karya¬wan. Ta'âwun yang bermula dari kaidah normatif, perlu dasar legal-rasional melalui proses demokratis.
Ta'âwun adalah sebuah upaya kreatif individu yang yang terpancar dari sisi-sisi kemanusiaan dan dilandasi oleh ajaran moral agama (Islam) terhadap individu lainnya. Melalui gerakan ta'âwun akan tercipta sinergi yang sangat potensial bagi terciptanya atmosphere ekonomi yang harmonis, selaras, serasi dan seimbang. Imple¬mentasi konsep Ta’awun yang cukup strategis yaitu mendistribusikan sebagian melalui ibadah zakat, infak, sha¬daqah dan hibah. Misi sosial yang terkandung dalam ibadah zakat, pada hake¬kat¬nya merupakan bentuk kepedulian Islam dalam rangka meminimalisir jumlah ke¬miskinan. Bagaimanapun juga, keberadaan ‘kumis’ (kumuh dan miskin) akan tetap menghiasi wajah du¬nia. Memotong kumis hingga habis tanpa bekas adalah sesuatu yanng mustahil. Sehingga yang bisa dilakukan adalah upaya maksimal meminimalisir tumbuhnya kumis.
Arti zakat dari segi bahasa adalah: persekutuan antara dua hal: berkembang dan kesucian (مشتركة بين النماء والطهارة). Ibadah zakat diwajibkan pada tahun kedua hijrah sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan. Ibadah zakat sekaligus mengan¬dung dua dimensi spiritual, yaitu ibadah personal dan sosial.
عن ابن عباس أن النبى صلى الله عليه وسلم بعث معاذا إلى اليمن فذكر الحديث وفيه: إن الله قدافترض عليهم صدقة فى أموالهم توءخذ من أغنيائهم فترد فى فقرائهم. (متفق عليه واللفظ للبخارى)
Dari Ibnu Abbâs Nabi Saw. mengutus Mu'âdz ke Yaman seraya menyebutkan hadits sebagai berikut: Sesungguhnya Allah telah mewajibkan (bagi kaum muslimin) memberikan sedekah harta-hara mereka yang diambil dari para orang kaya untuk kemudian dikembalikan (diserahkan) kepada para orang fakir.
Harta merupakan titipan (amânah) dari Allah yang harus didistribusikan pada jalan yang diridhai-Nya. Manusia secara de facto memang memiliki keka¬yaan, tetapi secara de jure pemiliknya adalah Allah. Karena itu Allah mempunyai disposal right atas keka¬yaan. Pandangan Islam tentang kekayaan ini berbeda, baik dengan kapitalisme maupun sosialisme. Kapitalisme menjadikan individu sebagai pemilik de facto dan de jure, sedang¬kan sosialisme menyatakan bahwa se¬cara de facto dan de jure kolektifitaslah (negara, masyarakat) yang memiliki. Kapi¬talisme menganggap bahwa selfishness adalah sebuah virtue (nilai), sedangkan sosialisme justru altruism-lah yang paling bernilai.
Kesetiakawanan sosial lewat ibadah zakat menunjukkan kepedulian Islam terhadap masyarakat ekonomi lemah sangat tinggi. Sehingga Al-Qur'an se¬ringkali mengutip kata zakat setelah kata shalat. Firman Allah surat Al-Baqarah: 43
وأقيموا الصلاة وأتوا الزكاة واركعوا مع الراكعين
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'.
Shalat merupakan bentuk ritual berdimensi vertikal antara individu dengan Allah. Sedangkan zakat mengandung dua dimensi yaitu vertikal dan horisontal. Untuk mencip¬ta¬kan harmonitas sosial, Allah mewajibkan ibadah shalat sebagai bentuk pengabdian seorang hamba kepada-Nya, dan mewajibkan zakat, di samping sebagai bentuk ketaatan kepada-Nya juga merupakan bentuk kepedulian individu terhadap kondisi lingkungan sosialnya. Oleh ka¬rena itu, sikap apatis si kaya terha¬dap kondisi lingkungannya merupakan tindakan tak bermoral dan keluar dari konteks manusia sebagai makhluk sosial. Lebih tragis lagi bila dengan kekayaan itu si kaya berani membayar mahal untuk sebuah status simbol, memberi makanan he¬wan-hewan piaraan kesayangan dengan minuman dan makanan bergizi. Sementara bayi-bayi di lingkungan tersebut tidak terpenuhi kebutuhan gizinya.
Skala prioritas dari misi dan orientasi zakat terfokus pada upaya mengu¬rangi angka kemiskinan. Khususnya memerangi "kemiskinan mutlak", yaitu mereka yang me¬ngalami kondisi kehidupan yang buruk karena pe¬nyakit, buta huruf, kekurangan gizi, dan kekumuhan sebagai korban-korban ka¬rena tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya.
Usia kemiskinan hampir sebaya dengan sejarah kehidupan manusia. Dan sepanjang sejarah, belenggu kemiskinan memunculkan implikasi sangat negatif, terlebih lagi jika kemiskinan terjadi karena program atau rekayasa individu terhadap sekelompok orang. Kerawanan-kerawanan sosial menjadi bom waktu yang me¬¬nge¬rikan. Orang-orang yang tertindas dan terpuruk dalam kemiskinan bisa mem¬bangun solidaritas laksanana kawanan srigala yang lapar mengejar mangsa.
c. Halâlan Thayyibâ
Prinsip Islam tentang halâlan thayyibâ (halal dan baik) merupakan panduan etis dalam dunia bisnis. Barang-barang yang diproduksi, diperjualbelikan haruslah barang-barang yang masuk dalam kategori diperbolehkan (halâl) dan baik (thayyib). Produsen dan penjual di tingkat agen maupun pengecer mendapatkan keu¬ntungan secara fair, tidak ada unsur penipuan dalam substansi maupun kom¬po¬sisi produk. Di samping itu hak-hak konsu¬men terlindungi dari praktek-praktek kotor yang dilakukan oleh produsen maupun penjual yang ingin mengeruk keun¬tungan yang sebesar-besarnya. Persaingan di pasar yang kian ke¬tat, memunculkan produk makanan, minuman, dan produk-produk baru lainnya yang sama sekali baru, baik produk import maupun domestik. Oleh karena itu kon¬su¬men harus jeli de¬ngan produk-produk yang dijual di pasar. Sebelum membeli se¬buah produk, konsumen hen¬daknya memeriksa komposisi yang tertera dalam kemasan. Apakah di dalamnya terkan¬dung hal-hal yang dilarang oleh agama, apakah barang dalam kondisi baik, belum melam¬paui masa kadaluwarsa dan cocok untuk dikonsumsi. Mengenai barang-barang yang rusak atau cacat, pembeli mempunyai hak untuk mengembalikan kepada penjual atau menga¬dukan (complain) kepada pihak produsen. Dalam hal ini ulama Syafi'iyyah berpendapat:
إن كان بعض المبيع فاسدا لاينتفع به وبعضه غير فاسد ينتفع به، كان للمشترى الحق فى رده وأخذ ثمنه كاملا، بدون أن يلزم بشئ عما أحدثه فيه من التغيير، لأن له العذر فى ذلك حيث لا يمكنه معرفته إلا بكسره.
Apabila sebagian barang yang dijual (telah dibeli oleh konsumen) dalam kondisi rusak, tidak dapat berfungsi dan sebagian dapat berfungsi dengan baik, maka pembeli mempunyai hak untuk mengembalikan barang (complain) dan meminta kembali harga barang (yang telah dibayarkan) dengan utuh, tanpa dibebani kewajiban atas perubahan yang terjadi pada barang, karena dia dalam posisi terhalang sehingga tidak memungkinkan baginya untuk mengetahui kondisi barang kecuali dengan cara memecahkannya (membuka kemasan).
Meskipun apa yang tertera dalam kemasan bukan jaminan, setidaknya konsumen sudah bertindak hati-hati untuk menghindari diri dari mengkonsumsi makanan maupun minuman yang dilarang oleh agama (ingat kasus Ajinomoto yang menghebohkan itu). Firman Allah dalam surah al-Baqarah: 172
يآأيهاالذين أمنوا كلوا من طيبات مارزقناكم واشكروا لله إن كنتم إياه تعبدون
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah.
Dalam sistem ekonomi Islam, produk barang baik makanan, minuman harus termasuk dalam kategori barang yang sah (diperbolehkan) dan thayyib (baik) untuk diperjualbelikan maupun dikonsumsi. Firman Allah dalam surah al-Baqarah: 173
إنماحرم عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وماأهل به لغير الله فمن اضطر غير باغ ولا عاد فلا إثم عليه إن الله غفور رحيم
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Tiga golongan pertama dilarang karena hewan-hewan ini berbahaya bagi tubuh, yang berbahaya bagi tubuh tentu berbahaya pula bagi jiwa. Menurut jumhur ulama, yang dimaksud dengan keharaman bangkai yaitu الإ نتفاع بها بأكل أو غيره, mengambil manfaat dengan mengkonsumsi atau lainnya (menjual, pen).
Thayyibâ berarti bahwa makanan yang dikonsumsi maupun dijual harus baik dan cocok untuk dimakan, tidak kotor, menjijikkan sehingga merusak selera. Karena itu tidak semua yang diperkenankan boleh dimakan dan diminum dalam semua keadaan.
IV. Identitas Ekonomi Islam
a. Kebebasan Individu dalam berusaha
Setiap individu mempunyai kebebasan dalam berpikir, bertindak dan ber¬sikap. Allah menciptakan segala apa yang ada di bumi adalah untuk kesejahteraan seluruh manusia. Manusia diberi kebebasan mengelola, membudidaya sumber¬da¬ya alam yang dikaruniakan oleh Allah sesuai dengan tingkat kemampuan dan kecerdasan mereka. Firman Allah dalam surat al-Baqarah: 29
هو الذى خلق لكم مافى الأرض جميعا...
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu...
Namun kebebasan tersebut dibatasi oleh etika-etika Islam. Sebab kebebasan yang berlebihan dan keluar dari konteks kemanusiaan berakibat fatal bagi kelangsungan ekosis¬tem alam. Eksploitasi sumber daya alam seperti eksploitasi hutan secara besar-besaran oleh perusahaan-perusahaan yang mendapatkan Hak Pengelolaan Hutan (HPH) dari pemerintah, sehingga hutan menjadi gundul dan berdampak erosi dan bahaya bencana banjir.
Kebebasan manusia dalam berusaha menempati posisi yang mulia dalam Islam. Kebebasan berusaha (Ihtiyâr) merupakan implementasi dari peran manusia sebagai khalifah Allah yang memegang amanah di bumi. Sebagai makhluk yang dibekali dengan kecerdasan (akal), memungkinkan manusia untuk berusaha sesuai dengan kemampuan yang dimiliki¬nya. Dalam Islam, usaha yang bermuatan positif adalah termasuk dalam kategori ibadah. Sekecil apapun usaha yang dilakukan oleh individu akan tampak hasilnya di kemudian hari. Firman Allah dalam surah an-Najm: 39-42
وأن ليس للإنسان إلا ماسعى، وأن سعيه سوف يرى، ثم يجزيه الجزاء الأوفى، وأن إلى ربك المنتهى
Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah di¬usahakannya. Dan bahwasannya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepa¬da¬nya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, dan bahwasannya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu).
Ayat tersebut di atas mengisyaratkan akan pentingnya sebuah 'proses'. Ke¬mu¬dian di dalam proses ada tahapan-tahapan. Di dalam tahapan-tahapan ada skala-skala prioritas. Untuk mencapai kesuksesan dalam usaha, seseorang harus berproses le¬wat usaha keras yang dijalani dengan penuh kesungguhan dan tawakkal (menye¬rahkan sepenuhnya apa yang telah diusahakan kepada Allah SWT). Usaha yang di¬lakukan individu adalah proses untuk mencapai sesuatu, baik yang berupa mate¬ri seperti kekayaan maupun yang immateri seperti penghargaan, status simbol.
Kebebasan manusia dalam aktifitas ekonomi yang paling utama adalah un¬tuk memenuhi kebutuhan primer (primary need) yang meliputi: pakan (makan) sandang (pakaian), papan (rumah/tempat tinggal), kesehatan dan pendidikan. Namun dalam Islam, bekerja tidak hanya sekedar untuk memenuhi unsur-unsur material, melainkan ada nilai transendental yaitu bahwa bekerja merupakan ibadah. Hal ini sebagaimana kaidah ushûliyyah: لا يتم الواجب المطلق إلا به فهو واجب.
Islam mengakui pandangan universal bahwa kebebasan individu bersing¬gu¬ngan atau dibatasi oleh individu lain. Menyangkut masalah hak individu dalam kaitannya dengan masyarakat, para sarjana muslim sepakat pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Kepentingan masyarakat yang lebih luas harus didahulukan dari kepentingan pribadi.
2. Melepas kesulitan harus diprioritaskan dibanding memberi manfaat (درء المفاسد مقدم على جلب المصالح) meskipun keduanya sama-sama merupakan tujuan syari'ah.
3. Kerugian yang lebih besar tidak dapat diterima untuk menghilangkan yang le¬bih kecil. Manfaat yang lebih besar tidak dapat dikorbankan untuk manfaat yang lebih kecil. Sebaliknya, bahaya yang lebih kecil harus diterima/¬di¬ambil untuk menghindarkan bahaya yang lebih besar, sedangkan manfaat yang lebih kecil dapat dikorbankan untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar.
Maka dalam hal ini kebebasan yang melekat pada manusia adalah kebebasan yang relatif, terkait dengan keberadaan alam raya dan seisinya, termasuk di dalamnya adalah komunitas manusia. Stigma pelupa, lemah, keluh kesah yang melekat pada manusia cukup memberikan kesimpulan bahwa kebebasan manusia adalah limited. Sebab segala sesuatu yang unlimited sepenuhnya berada di sisi Allah SWT.
b. Hak Milik Pribadi
Kebebasan manusia untuk mencari rizki yang halal pada tahap tertentu melahirkan hak milik pribadi. Islam memberikan pembenaran terhadap individu untuk memiliki asset sejumlah tertentu yang diperoleh berdasarkan pengetahuan, kemampuan (skill) yang dimiliki individu dengan jalan yang halal. Firman Allah surat al-Baqarah: 188
ولاتأكلوا أموالكم بينكم بالباطل وتدلوا بها إلى الحكام لتأكلوا فريقا من أموال الناس بالإثم وأنتم تعلمون
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
Ayat di atas merupakan larangan memakan harta dengan jalan yang batil. Juga menyinggung praktek-praktek memperkaya diri dengan ber¬sem¬bunyi di balik jubah hukum. Menyelesaikan perkara melalui jalur pengadilan pada hakikatnya adalah un¬tuk mencari solusi penyelesaian yang adil dan cermin kesadaran warga negara yang taat pada hukum. Namun ketika hukum tunduk kepada kepentingan, maka keputusan yang diam¬bil berda¬sarkan order dari pihak-pihak yang berkuasa baik secara materi maupun posisi.
Dalam bidang ekonomi, salah satu sarana untuk memperoleh hak milik ada¬lah melalui usaha perdagangan (bussiness) secara fairplay. Firman Allah surat an-Nisâ': 29
يأيهاالذين أمنوا لاتأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم ولا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.
Ayat di atas merupakan penegasan larangan memakan harta orang lain dengan cara yang batil, seperti mencuri, menipu, memeras. Menurut Syekh Muhammad 'Abduh, kata al-bâthil adalah lawan kata atau antitesa dari al-haqq (أن الباطل هو ما يقابل الحق ويضاده) .
Ayat tersebut juga memberi solusi untuk memperoleh harta, yaitu berasal dari ni¬lai keuntungan (profit value) dari sebuah usaha dagang (bussiness) yang berlangsung de¬ngan prinsip saling menguntungkan, tidak merugikan salah satu pihak. Kepemilikan pribadi dari hasil yang merugikan orang lain adalah sama dengan menari di atas penderitaan orang lain. Di samping itu, memakan harta yang bukan haknya juga berpengaruh kepada kejiwaan, sehingga tidak ada ketenteraman dan keseimbangan dalam kehidupan. Yang tergambar dalam pikiran adalah "besok makan di mana, menginap di mana, dengan siapa" dan merancang agenda "besok makan siapa". Hal ini sangat kontras dengan keluhan si miskin “besok makan apa dan bagaimana cara memperolehnya”.
Hak milik pribadi dalam Islam bukanlah sesuatu yang mutlak. Karena pada hake¬katnya alam raya dan seisinya adalah kepunyaan Allah. Manusia diberi ke¬per¬cayaan (amânah) untuk mengelola dengan sebaik-baiknya sehingga semakin ber¬kembang dan bisa dimanfaatkan oleh sesamanya. Firman Allah surat al-Mâidah: 120
لله ملك السموات والأرض وما فيهن وهو على كل شئ قدير
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Jadi pada hakekatnya manusia tidak mempunyai apa-apa karena segala apa yang ada dalam alam raya dan seisinya adalah kepunyaan Allah. Sehingga milik pribadi yang berada dalam kekuasaan individu di dalamnya terdapat hak individu lainnya. Firman Allah surat adz-Dzâriyât: 19
وفى أموالهم حق للسائل والمحروم
Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian.
Menurut riwayat, ayat ini turun ketika Rasulullah mengirim pasukan bersen¬ja¬ta. Dalam pertempuran, pasukan Rasulullah mendapat kemenangan dan ghanî¬mah. Setelah selesai peperangan datanglah orang-orang miskin meminta bagian¬nya. Ayat ini merupakan penegasan bahwa pada harta ghanîmah terdapat bagian kaum fakir miskin.
Karena hak milik pribadi dalam Islam tidak bersifat mutlak, maka harta yang berada dalam kekuasaan individu mempunyai fungsi sosial. Fungsi-fungsi sosial yang ber¬si¬fat karitatif itu antara lain seperti zakat, shadaqah, hibah, waqaf. Program zakat terutama ber¬tu¬ju¬an meminimalisir angka pengangguran dan kemis¬ki¬nan. Meskipun peranan zakat belum mam¬pu mengatasi tingkat kemiskinan yang terus membengkak, bukan berarti peranan zakat tidak efektif. Pro¬ble¬matika sosial yang sangat kompleks, membu¬tuh¬kan ana¬lisa dan identifikasi ma¬salah secara akurat, faktual dan komprehenship. Sehingga muncul for¬mulasi ba¬¬ru tentang bentuk institusi dan manajemen zakat yang betul-betul berhasil-guna dan berdayaguna meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan di bidang ekonomi.
V. Kesimpulan
1. Runtuhnya Sosialisme dan hegemoni Kapitalisme terhadap perekonomian dunia terbukti gagal menciptakan kesejahteraan (falâh) bagi umat manusia. Sehingga sistem perekonomian Islam menjadi alternatif setelah gagalnya kedua sistem tersebut.
2. Sistem perekonomian Islam berlandaskan pada Al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas yang memberikan guidence tentang prinsip-prinsip keadilan (‘adâlah), solidaritas sosial, halâlan thayyibâ.
3. Dalam pandangan Islam, aktivitas manusia dalam bidang ekonomi yang bertujuan membangun kemashlahatan merupakan aktivitas yang bernilai ibadah.
4. Kepemilikan yang berada dalam genggaman manusia adalah kepemilikan muqayyad (limited), karena kepemilikan muthlaq (unlimited) sepenuhnya berada dalam kekuasaan Allah SWT.
5. Kekayaan yang dimiliki seseorang tidak mungkin terwujud tanpa adanya faktor pendukung berupa keterlibatan berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung. Sehingga menjadi kewajiban individu muslim yang mendapat anugerah kekayaan untuk mendistribusikan kekayaannya melalui aksi sosial yang karitatif dalam bentuk program zakat, infaq, shadaqah, hibah, waqaf, kepada pihak-pihak yang tidak diuntungkan secara materi. Aksi ini sangat strategis dalam rangka meminimalisir angka pengangguran, kemiskinan menuju terciptanya tatanan sosial yang harmonis, selaras, serasi dan seimbang sebagaimana cita ideal yang menjadi misi suci Islam.©
Daftar Pustaka
Abduh, Muhammad, Tafsîr al-Manâr, (Mesir: Math'ba'ah Qâhirah, 1380 H.) cet. IV, juz 5
Abdurachman, A, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan, Jakarta: Yayasan Prapanca, 1963
Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995
Antonio, Muhammad Syafi'i, Bank Syari'ah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, cet. II
Assal (Al), Ahmad Muhammad, dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1999, cet. I
Badawi, A. Zaki, A. Dictionary of the Social Sciences English, French, Arabic (معجم مصطلحات العلوم الاجتماعية) Beirut: Maktabah Lubnan, 1978, cet. I.
Basri, Faisal H., Ekonomi Indonesia Menjelang Abad XXI: Distorsi Peluang dan Kendala, Jakarta: Erlangga, 1995, cet. I
Brewer, Anthony, Kajian Kritis Das Kapital Karl Marx, Jakarta: Teplok Press, 2000, cet.II
Bukhari (Al), Shahih Bukhari, Semarang: Thoha Putra
Chapra, M. Umer, Islam dan Pembangunan Ekonomi, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, cet. I
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Medinah Munawwarah: Khadim al Haramain as Syarifain li Thiba'at al Mush-haf, 1411 H.
Haroen, Nasrun, Perdagangan Saham di Bursa Efek Tinjauan Hukum Islam, Ciputat: Kalimah, 2000, cet. I
Kamali, Muhammad Hashim, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, cet. I
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1999, cet. III
Mannan, M. Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1997.
Saleh, Qamaruddin, et. al., Asbabun Nuzul, (Bandung: CV Diponegoro, tt.), cet. II.
Suseno, Franz Magnis, Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001, cet. V
Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995, cet. I.
Weber, Max, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, Surabaya: Pustaka Promothea, 2001, cet. II
Zawawi, Ali, dan Saifullah Ma'shum, Penjelasan Al-Qur'an tentang Krisis Sosial, Ekonomi dan Politik, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, cet. I.
Menguak tirai pagi
Jakarta, 11 Pebruari 2004
Pukul 4.24 WIB.
28 Januari 2009
SISTEM EKONOMI ISLAM
Label:
ekonomi,
Islam,
kapitalisme,
sosialisme
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar