28 Januari 2009

MUHKAMÂT DAN MUTASYÂBIHÂT

‏‏(المحكمات والمتشابهات)‏
Oleh: Nur Rosihin Ana‎


A. Pendahuluan

Al-Qur’an adalah kalâm Allah yang diturunkan kepada baginda Nabi Muhammad ‎SAW melalui Malaikat Jibril. Dalam rentang waktu sejak al-Qur’an diturunkan, berbagai ‎diskursus yang menyangkut berbagai aspek dalam al-Qur’an terus dilakukan sampai ‎sekarang, sehingga menghasilkan khazanah disiplin ilmu-ilmu al-Qur’an (‘ulûm al-‎Qur’ân).‎

Diibaratkan lautan teduh, al-Qur’an tidak akan pernah kering ditimba, meskipun ‎pasokan distribusi hujan dari langit sudah terhenti sama sekali. Keindahan panorama laut ‎senantiasa menarik minat para wisatawan untuk menghirup pesonanya. Para pecinta ‎lingkungan hidup penuh dedikasi dan keikhlasan menjaga kelestarian ekosistem laut dari ‎pencemaran. Para ilmuwan dengan teliti melakukan riset untuk mengkaji materi kelautan.‎ Sementara hamparan lautan membentang luas, kandungannya sangat majemuk, ‎namun semuanya dalam kesatuan integral ekosistem laut. Kejernihan air di laut seringkali ‎melahirkan persepsi, interpretasi yang keliru ketika dilihat secara kasat mata. Misalnya dari ‎tanjung terlihat dasar laut yang dangkal, padahal kedalamannya lebih dari lima meter. Oleh ‎karena itu, untuk mengetahui akumulasi materi kelautan, dibutuhkan beberapa instrumen, ‎metodologi pendekatan yang relevan. Pola-pola pendekatan lama seperti terjun bebas tanpa ‎bantuan perlengkapan alat pernafasan, oksigen, kacamata selam, kurang mendapatkan hasil ‎optimal karena keterbatasan stamina tubuh menahan nafas, jarak pandang terlampau dekat ‎sehingga obyek di dasar laut yang ditangkap oleh mata pun terbatas. Bahkan telah dikem¬‎bangkan teknologi kapal selam mini berpenumpang 1-2 orang yang dilengkapi perangkat ‎digital canggih untuk memotret, mendeteksi, menganalisis kehidupan di dasar laut.‎
Proses yang kurang optimal karena keterbatasan instrumen dan metodologi tersebut, ‎membuahkan output yang bias dan mengacaukan logika akal sehat. Apalagi bila output ‎tersebut menjadi referensi para pemerhati lingkungan dan kalangan akademisi. Lebih tragis ‎lagi adalah ketika terjadi penyimpangan esensial dalam melakukan interpretasi. Misalnya ‎ketika berada di dasar laut tampak binatang kecil, badanya membentuk huruf S dan ‎berkepala kuda (kuda laut). Namun karena keterbatasan cara pandang sehingga timbul ‎interpretasi huruf S itu identik dengan $, symbol mata uang dollar Amerika karena di lokasi ‎itu terdapat bangkai kapal Amerika yang tenggelam akibat agresi Jepang dalam peristiwa ‎Pearl Harbour. Begitu juga misalnya penyelam melihat obyek yang menyerupai hewan ‎raksasa tergolek di dasar lautan. Setelah penyelam kembali ke permukaan dia membuat ‎interpretasi bahwa ada ikan paus raksasa sedang melahirkan. Padahal itu adalah kapal ‎selam milik Rusia yang tenggelam karena baling-balingnya dihantam rudal Amerika. Oleh ‎karena itu, analisa komprehenship (jâmi’ dan mâni’), didukung instrumen, akurasi data dan ‎metodologi pendekatan yang relevan merupakan prasyarat yang harus dipenuhi untuk ‎menangkap kata-kata dalam ayat al-Qur’an yang menyimpan makna tersembunyi atau ‎bermakna ganda, sehingga tidak terjadi deviasi dalam interpretasi. ‎
B. Pengertian Muhkamât dan Mutasyâbihât

Kata Muhkamât adalah bentuk plural dari kata muhkam yang merupakan isim ‎maf’ul (passive participle) dari kata ahkama dan berasal dari akar kata dasar hakama yang ‎artinya: mengatur, memim¬pin, memerintahkan, mendekritkan, menitahkan, memutuskan. ‎Kata-kata yang berasal dari akar kata hakama disebut sebanyak 210 kali dalam al-Qur’an. ‎Kata Mutasyâbihât ber¬asal dari kata dasar syabaha yang artinya: mirip, sama, serupa. Kata-‎kata yang berasal da¬ri akar kata syabaha disebut sebanyak 12 kali, disebut sebanyak tiga ‎kali dalam surat Al-Baqarah; dua kali dalam surat Ali Imrân; surat An-Nisâ’; empat kali ‎dalam surat Al-An’âm; surat Ar-Ra’du; dan surat Az-Zumâr. Sedangkan ayat al-Qur’an ‎yang berbicara mengenai muhkamat dan mutasyabihat terdapat dalam surat Ali Imran (3): 7‎
هو الذى أنزل عليك الكتب منه ءايت محكمت هن أم الكتب وأخر متشبهت فأماالذين فى ‏قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشبه منه ابتغآء الفتنة وابتغآء تأويله ومايعلم تأويله إلا الله والرسخون فى ‏العلم يقولون ءامنا به كل من عند ربنا وما يذكر إلا أولوا الألبب ‏‎ ‎
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara ‎‎(isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan ‎yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam ‎hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-‎ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ‎ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan ‎orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-‎ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat ‎mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.‎

Ayat di atas memberikan ilustrasi bahwa ayat-ayat yang terkandung dalam al-‎Qur’an terbagi menjadi dua kategori yaitu Muhkamat dan Mutasyabihat. Ayat-ayat ‎muhkamat adalah (‎أم الكتاب ‏‎ ) ummul kitâb/induk kitab suci ini. Kata ( ‎أم‎ ) um terambil dari ‎akar kata yang bermakna “dituju/menjadi arah”. Ibu dinamai um karena ibu adalah arah ‎yang dituju oleh anak. Imam adalah arah yang dituju oleh yang mengikutinya, sehingga ‎mereka tidak melangkah sebelum sang imam melangkah. Makmum tidak boleh ruku’ ‎sebelum imamnya ruku’, tidak pula sujud sebelum sang imam sujud. Ayat-ayat al-Qur’an ‎yang masuk dalam Um al-Kitab, atau dengan kata lain ayat-ayat muhkamat, adalah yang ‎kepadanya merujuk segala ketetapan serta menjadi penjelas terhadap ayat-ayat lain yang ‎bersifat mutasyabihat, yakni yang samar artinya, sehingga memerlukan keterangan dan ‎penjelasan tambahan. ‎
Kata um berbentuk tunggal, sedang ayat-ayat muhkamat banyak, dan karena itu ayat ‎ini menunjuk ayat-ayat tersebut dalam bentuk jamak ( ‎هن‎ ) hunna/mereka untuk ‎menunjukkan bahwa kedudukannya sebagai induk bukan dalam keberadaan ayat-ayat itu ‎secara berdiri sendiri, tetapi secara keseluruhan. Al-Biqa’i menulis bahwa, “karena sesuatu ‎yang muhkam merupakan sesuatu yang sangat jelas sahingga keterikatan satu ayat dengan ‎yang lain atau pemahaman arti satu ayat dengan ayat yang lain sedemikian mudah, maka ‎ayat-ayat yang muhkam yang banyak itu diperlukan sebagai satu kesatuan, dan dengan ‎demikian ayat-ayat mutasyabih dengan mudah pula dirujuk maknanya kepada ayat-ayat ‎muhkam itu. Ini mudah bagi yang pengetahuannya mendalam serta tulus niatnya”. ‎
Ayat-ayat Muhkamât yaitu yang kandungannya jelas, sehingga hampir-hampir tidak ‎lagi dibutuhkan penjelasan tambahan untuknya, atau yang tidak mengandung makna selain ‎yang terlintas pertama kali dalam benak. Ada juga yang memahami ayat-ayat muhkamât ‎dalam arti ayat-ayat yang mengandung perintah melaksanakan sesuatu atau larangan. ‎
Sedangkan ayat-ayat Mutasyâbihât yaitu bila ada ayat-ayat yang serupa (makna) ‎dengan yang lain. Kata ini (mutasyâbih) dalam penggunaannya, seringkali menunjuk ‎kepada keserupaan dua hal atau lebih yang menimbulkan kesamaran dalam membedakan ‎ciri masing-masing. Jadi yang dimaksud dalam hal ini adalah ayat-ayat yang mengandung ‎kesamaran dalam maknanya. Sementara ulama berpendapat bahwa kesamaran itu muncul ‎karena:‎

‎1.‎ Salah satu kata yang digunakan tidak popular di kalangan pendengarnya. Seperti jika ‎Anda berbicara kepada seseorang di pedesaan yang tidak mengerti satu suku kata yang ‎bisa jadi popular di kota tempat Anda. Kata (‎ابا‎ ) abban dalam QS. ‘abasa (80): 31, ‎tidak diketahui artinya oleh Umar Ibn Khatthab ra., sehingga ayat itu –pada mulanya- ‎buat beliau adalah mutasyâbih. Termasuk dalam bagian ini –menurut banyak ulama- ‎huruf-huruf yang terdapat pada awal surah-surah tertentu, seperti Alif Lâm Mîm. ‎
‎2.‎ Kata yang digunakan mempunyai arti yang bermacam-macam, seperti kata (‎قروء‎) qurû’ ‎yang dapat berarti “suci” dan dapat juga berarti “haid”. Nah, yang manakah yang ‎dimaksud oleh ayat al-Baqarah (2): 228, yang memerintahkan wanita yang dicerai agar ‎menanti tiga qurû’? Ulama berbeda pendapat akibat kesamaran tersebut.‎
‎3.‎ Makna yang dikandungnnya tidak jelas, seperti ayat-ayat yang berbicara tentang ‎persoalan metafisika, nama atau sifat-sifat Allah, dan lain-lain. Apa makna “tangan ‎Allah” atau “wajah-Nya” dan lain-lain? sekali lagi, di sini pun terdapat perbedaan. ‎

Ada ulama yang membagi mutasyâbih dalam tiga kelompok ayat:‎
‎1.‎ Ayat-ayat yang kandungannya mustahil diketahui manusia, seperti ayat-ayat yang ‎berbicara tentang sifat-sifat Allah, waktu kedatangan hari kiamat, dan semacamnya.‎
‎2.‎ Ayat-ayat yang dapat diketahui melalui penelitian seksama, seperti ayat-ayat yang ‎kandungannya bersifat umum, atau yang kesamarannya lahir dari singkatnya redaksi ‎dan atau susunan kata-katanya.‎
‎3.‎ Ayat-ayat yang hanya diketahui oleh para ulama yang sangat mantap pengetahuannya ‎dengan melakukan penyucian jiwa. Ayat-ayat semacam ini tidak dapat terungkap ‎maknanya hanya dengan menggunakan nalar semata-mata.‎

Allah SWT tidak menentukan yang mana ayat mutasyâbih dan mana pula yang ‎muhkam. Bahkan dalam kenyataannya, ada ayat yang oleh sementara ulama dinilai muta¬‎syâbih, sedang ulama yang lain menilainya muhkam, demikian juga sebaliknya. Karena itu, ‎agaknya tidak keliru bila dikatakan bahwa ayat-ayat mutasyâbih antara lain bertujuan untuk ‎mengantar setiap muslim berhati-hati ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. ‎
Di sisi lain, adanya tiga kelompok ayat-ayat yang mutasyabih seperti dikemuka¬kan ‎ini, bertujuan -sekurang-kurangnya bagi kelompok yang pertama- untuk menyadar¬kan ‎manusia tentang keterbatasan ilmu mereka, di samping menjadi semacam ujian ten¬tang ‎kepercayaan manusia terhadap informasi Allah SWT. Sementara itu, untuk ayat-ayat ‎kelompok kedua dan ketiga, ia dapat merupakan dorongan untuk lebih giat melakukan ‎pem¬bahasan dan penelitian, sekaligus untuk menunjukkan peringkat pengetahuan dan ‎kedudukan ilmiah seseorang.‎

C. Ayat-ayat Muhkamât (definitif)‎
Firman Allah dalam surat ‘Ali Imran ayat 7 merupakan signal bahwa dalam al-‎Qur’an terdapat ayat-ayat yang muhkamat dan mutasyabihat. Namun Allah tidak merinci ‎ayat-ayat yang masuk dalam kategori muhkamat dan mutasyabihat, sehingga muncul ‎beberapa perbedaan pendapat di kalangan ulama. ‎
Menurut Abu ‘Utsman: al-muhkam yaitu fâtihatu al-kitâb (surat al-fatihah) karena ‎fâtihatu al-kitâb merupakan bagian dari shalat. Menurut Muhammad ibn Fadhl, al-muh¬‎kam yaitu surat al-Ikhlash karena surat ini hanya menyinggung masalah tauhid. Ada pen¬‎dapat yang mengatakan, seluruh ayat al-Qur’an itu muhkam sebagaimana firman Allah ‎surat Hûd ayat 1: ‎‏ الر كتاب أحكمت اياته‎, Alif Laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya ‎disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci.‎ ‎ Maksudnya diperinci atas ‎beberapa macam, ada yang mengenai ketauhidan, hukum, kisah, akhlak, ilmu pengetahuan, ‎janji dan peringatan dan lain-lain.‎ ‎ ‎
Ada pula yang mengatakan sebaliknya, al-Qur’an itu seluruhnya mutasyabih ‎sebagaimana firman Allah surat al-Zumar ayat 23: ‎كتابا متشابها‎ . Sedangkan menurut Ibn ‎Abbas, ayat-ayat yang muhkamat yaitu firman Allah surat al-An’âm ayat 151: ‎قل تعالوا أتل ما حرم ‏ربكم عليكم ‏‎ dan tiga ayat berikutnya, dan firman Allah yang berkaitan dengan Bani Israil surat ‎al-Isrâ ayat 23: ‎وقضى ربك ألا تعبدوا الا اياه وبالوالدين احسانا‎.‎

D. Ayat-ayat Mutasyâbihât (spekulatif) ‎
Kata-kata dalam al-Qur’an yang mutasyabih misalnya: ‎
‎1.‎‏ ‏Kata abba (‎أبّا‎ ) dalam surat ‘Abasa (80): 31 Allah berfirman:‎
وفكهة وأبا
dan buah-buahan serta rumput-rumputan,‎

Kata abba dalam ayat sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Anas bahwa pada ‎waktu Umar Ibn Khatthab ra membaca surat ‘Abasa, Umar mengetahui seluruh arti kata-‎kata dalam surat ini kecuali kata abba. Suatu kata seringkali terdengar asing (gharîb) di ‎telinga seseorang atau komunitas masyarakat karena tidak dikenal dan tidak dipakai dalam ‎komunitas tersebut. Misalnya kata oyong (nama sayuran) bukanlah kata yang asing bagi ‎sebagian besar ibu-ibu rumah tangga di Jakarta. Namun kata tersebut sangat asing di telinga ‎masyarakat Jawa Tengah karena di daerah-daerah Jawa Tengah nama sayuran oyong ‎dikenal dengan nama-nama: gambas, cmt, mm, trms. ‎

‎2. kata ‎قروء‎ dalam surat al-Baqarah (2): 228:‎
والمطلقت يتربصن بأنفسهن ثلثة قروء...‏
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali ‎quru…‎

Lafazh ‎قروء‎ adalah bentuk jama’ dari ‎قرء‎ , menurut Imam Syafi’i kata ini berarti ‎الطهر‎ ‎‎(suci), sedangkan menurut Imam Hanafi berarti ‎الحيض‎ (menstruasi).‎ ‎ Karena adanya kon¬tro¬‎versi, dimana kata ini mempunyai makna konotatif dan kontradiktif sehingga menim¬bulkan ‎implikasi hukum yang berbeda. Artinya, menurut Imam Syafi’i, perempuan (sudah digauli) ‎yang dicerai suaminya hendaknya menunggu sampai tiga kali masa suci. Sedangkan ‎menurut Imam Hanafi, perempuan tersebut menunggu sampai tiga kali menstruasi. ‎

‎4.‎ Kata ‎يد‎ Dalam surat al-Mâidah (5): 64 ‎
وقالت اليهود يد الله مغلولة...‏
Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu",… ‎
‎ ‎
Kataيد ‏‎ dalam ungkapan bahasa Arab berarti: 1). Anggota badan, tangan (‎الجارحة‎), ‎firman Allah surat Shâd ayat 44: ‎وخذ بيدك ضغثا‎ , Dan ambillah dengan tanganmu seikat ‎‎(rumput); 2) Kenikmatan (‎النعمة‎), orang Arab bilang: ‎كم يد لى عند فلان، أي كم من نعمة لى قد أسديتها له‎ ; 3). ‎Kekuatan (‎القوة‎), surat Shâd ayat 17: ‎واذكر عبدنا داود ذاالأيد، أي ذاالقوة‎ , dan ingatlah hamba Kami ‎Daud yang mempunyai kekuatan; 4. Kekuasaan (‎الملك والقدرة‎) firman Allah surat Ali Imrân ‎ayat 73: ‎قل ان الفضل بيد الله يؤتيه من يشآء‎ ; 5) Anugerah, pemberian (‎صلة‎) surat Yâsin 71: ‎‏...مما عملت ‏ايدينا...، أي مما عملنا نحن‎ ; 6). Penguatan, advokasi, bantuan (‎التأييد والنصرة‎), Nabi Muhammad SAW ‎bersabda: ‎يد الله مع القاضى حتى يقضي والقاسم حتى يقسم ‏‎ . ‎

Dalam surat al-Fath (48): 10‎
إن الذين يبايعونك إنما يبايعون الله يد الله فوق أيديهم...‏
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya ‎mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka,… ‎

‎4. Kata ‎وجه‎ , Firman Allah surat al-Baqarah (2): 115‎
ولله المشرق والمغرب فأينما تولوا فثم وجه الله...‏
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu ‎menghadap di situlah wajah Allah…‎

Al-Thabari menyebutkan bahwa ayat ini turun berkenaan tentang suatu kaum suatu ‎ketika tidak dapat melihat arah kiblat yang tepat, sehingga mereka shalat ke arah yang ‎berbeda-beda.‎ ‎ Menurut Ibn Abbas, ayat ini di-naskh (mansukhah) dengan surat al-‎Baqarah: 144, ‎وحيث ما كنتم فولوا وجوهكم شطره‎ . Diriwayatkan dari Mujahid dan Dhahak, ‎bahwasannya ayat ini muhkam, artinya, di mana saja kamu berada, baik di timur maupun ‎barat, di situlah wajah Allah dan kita diperintahkan untuk menghadap ke arah ka’bah.‎ ‎ ‎Sebab antara timur dan barat terdapat kiblat, sebagaimana sebuah hadits riwayat Abi ‎Hurairah: ‎‏ عن ابى هريرة قال، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم، مابين المشرق والمغرب قبلة لأهل المدينة واهل الشام واهل العراق‏‎.‎ ‎ ‎
Firman Allah surat al-Baqarah (2): 272‎
ليس عليك هدهم ولكن الله يهدى من يشآء وما تنفقوا من خير فلأنفسكم وما تنفقون إلا ‏ابتغآء وجه الله... ‏
Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi ‎Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-‎Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), ‎maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan ‎sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah… ‎

Firman Allah surat Ali ‘Imran (3): 72‎
وقالت طآئـــفة من أهل الكتب ءامنوا بالذى أنزل على الذين أمنوا وجه النهار واكفروا ءاخره ‏لعلهم يرجعون
Segolongan (lain) dari Ahli Kitab berkata (kepada sesamanya): ‎‎"Perlihatkanlah (seolah-olah) kamu beriman kepada apa yang diturunkan ‎kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang ‎dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang mu'min) ‎kembali (kepada kekafiran).‎

Ayat ini diturunkan berkaitan dengan Ka’b ibn Asyraf, Malik ibn al-Shaf dan ‎lainnya, mereka berkata untuk merendahkan kaumnya: "Perlihatkanlah (seolah-olah) kamu ‎beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat Rasul) ‎pada wajah siang ( ‎وجه النهار‎ ), maksudnya permulaan siang (‎أوله‎ ).‎ ‎ Dengan demikian ‎interpretasi dari wajah siang ( ‎وجه النهار‎ ) dalam ayat ini berarti permulaan siang (‎أول النهار‎ ).‎

Firman Allah Surat Yusuf (12): 9‎
اقتلوا يوسف أواطرحوه أرضا يخل لكم وجه أبيكم وتكونوا من بعده قوما صلحين
Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu daerah (yang tak dikenal) supaya ‎perhatian ayahmu tertumpah kepadamu saja, dan sesudah itu hendaklah kamu ‎menjadi orang-orang yang baik."‎

Firman Allah surat Yusuf (12): 93‎
اذهبوا بقميصى هذا فألقوه على وجه أبى يأت بصيرا وأتونى بأهلكم أجمعين‏
Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah dia ke ‎wajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali; dan bawalah keluargamu ‎semuanya kepadaku".‎



Firman Allah surat ar-Ra’d (13): 22‎
والذين صبروا ابتــغآء وجه ربهم...‏
Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, ‎
Firman Allah surat ar-Rûm (30): 38‎
فــئات ذاالقربى حـقه والمسكين وابن السبيل ذلك خـــــير للذين يريدون وجه الله وأولئك هم ‏المفلحون
Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) ‎kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang ‎lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka ‎itulah orang-orang beruntung.‎

Firman Allah surat ar-Rûm (30): 39‎
ومآ ءاتيــتم من ربا ليربوا فى امول الناس فلا يربوا عند الله ومآ ءاتيـــتم من زكــوة تريدون وجه ‏الله فأولئك هم المضعفون ‏
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada ‎harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang ‎kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan ‎Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat ‎gandakan (pahalanya).‎

Firman Allah surat ar-Rahman (55): 27‎
ويبــقى وجه ربك ذوالجـــــلل والإكــرام‏
Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.‎

Kata wajah (‎وجه‎ ) dalam ayat di atas sebagai ungkapan atas Wujud dan Dzat Allah ‎SWT (‎فالوجه عبارة عن وجوده وذاته سبحانه‎) Abu al-Ma’ali berkata, yang dimaksud wajah (‎وجه‎ ) ‎menurut elit ulama adalah Wujud Allah SWT Sang Maha Pencipta.‎ ‎ Segala apa yang ada ‎di dunia akan sirna (fân) kecuali Wujud dan Dzat Allah SWT.‎
‎ ‎
Firman Allah surat al-Lail (92): 20‎
إلا ابتــغآء وجه ربه الأعلى‏
tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya ‎Yang Maha Tinggi.‎
Dalam tafsir Ibn Katsir dijelaskan, ayat di aatas (‎إبتغآء وجه ربه الأعلى‎) yaitu sikap ‎ambisius untuk dapat “menyaksikan” Allah dalam taman-taman surga kehidupan di akhirat ‎‎(‎اى طمعا فى أن يحصل له رؤيته فى الدار الأخرة فى روضات الجنان ‏‎ ).‎ ‎ ‎

E. Konklusi

‎1.‎ Muhkamât yaitu yang kandungannya jelas, sehingga hampir-hampir tidak lagi ‎dibutuhkan penjelasan tambahan untuknya, atau yang tidak mengandung makna selain ‎yang terlintas pertama kali dalam benak. Ada juga yang memahami ayat-ayat muhkamât ‎dalam arti ayat-ayat yang mengandung perintah melaksanakan sesuatu atau larangan. ‎
‎2.‎ Mutasyâbihât yaitu yang serupa (makna) dengan yang lain. Kata ini (mutasyâbih) dalam ‎penggunaannya, seringkali menunjuk kepada keserupaan dua hal atau lebih yang ‎menimbulkan kesamaran dalam membedakan ciri masing-masing.‎
‎3.‎ Dalam al-Qur’an Allah menyinggung tentang muhkam dan mutasyabih, namun tidak ‎ada penjelasan lebih lanjut mengenai kategorisasi ayat-ayat muhkamat dan ‎mutasyabihat.‎
‎4.‎ Sebagian ulama berpendapat bahwa seluruh ayat al-Qur’an adalah muhkamat, sebagian ‎berpendapat bahwa seluruhnya adalah mutasyabihat.© ‎



Daftar Pustaka

Ali, Attabik, dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, ‎‎(Yogyakarta, Yayasan Ali maksum Pondok Pesantren Krapyak: 1998), cet. III.‎
Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mush-haf asy-‎Syarif Medinah Munawwarah: 1422 H),‎
CD Program Al-Qur’an al-Karim, (Perusahaan Perangkat Lunak Sakhr: 1997), ‎Keluaran V, version 6.5.‎
Hijazi, Muhammad Mahmud, Al-Tafsir al-Wâdhih, (Beirut: Dar al-Jail, 1413 H/1993 ‎M) cet. X
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, ‎‎(Ciputat: Lentera Hati, 2000), vol. 2, cet. I.‎




Menyapa senja ‎
Jakarta, 16 Pebr. 1994‎

0 komentar: