tag:blogger.com,1999:blog-36989547062763620702023-11-15T09:50:58.127-08:00nora uzhma naghataUnknownnoreply@blogger.comBlogger7125tag:blogger.com,1999:blog-3698954706276362070.post-33797888031151747252009-02-10T22:26:00.000-08:002009-02-10T22:32:12.210-08:00BAHASA<div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">Dialek Arab</span><br />Oleh: Nur Rosihin Ana<br /></div><div style="text-align: justify;"><br /><br />I. Pendahuluan<br />Bahasa merupakan alat komunikasi yang penting. Dalam Dekla¬ra¬si Sumpah Pemuda 1928 terdapat slogan yang mengangkat kata bahasa: “Berta¬nah Air Satu, Tanah Air Indonesia Berbangsa Satu, Bangsa Indonesia, Berbahasa Satu Bahasa Indonesia”. Ada juga slogan “Bahasa adalah alat pemersatu bangsa”. <br /></div><div style="text-align: justify;" class="fullpost">Bangsa Arab sebelum kedatangan Islam adalah susunan masyarakat ber¬dasarkan kelompok-kelompok suku (kabilah). Sebagian besar hidup berpindah-pindah dalam kemah (karavan) dan oase. Keberadaan mataair (oase) sangat pen¬ting, sehingga seringkali terjadi pertikaian antar kabilah karena masalah mataair. Sebab, suatu yang paradoks, di mana ada matair di situ ada kehidupan. Kehi¬du¬pan gurun pasir panas meranggas dan penuh misteri karena sewaktu-waktu badai gurun datang menyapu lembah dan bukit, berdampak pada pembentukan sikap dan karakter termasuk di dalamnya keras ketika berbicara. <br /> Suku-suku bangsa di kawasan Arab berkomunikasi dengan bahasa Arab. Namun karena perbedaan latar belakang geografis, etnis, sejarah, menyebabkan mereka berbeda dalam dialek (lahjah). Namun terlepas dari perbedaan yang ada, bahasa Arab merupakan bahasa komunikasi resmi seluruh etnis yang ada di kawasan Arab.<br /><br />II. Pembahasan <br /><br />a. Pengertian Dialek (lahjah). <br />Menurut Hasan Shadily, Dialek (Yunani: dialektos), logat setempat atau sedaerah yang berbeda dengan bahasa baku (standar), karena kelainan ucapan dan aturan-aturan tata bahasa. Umpamanya bahasa Melayu ada dialek Deli, Jakarta, Ambon, Johor (bahasa tulisan baku, bukan Riau seperti secara disangka P.P. Rooda van Eysinga dan dijiplak yang lain-lain kemudian), Riau, dan dialek Manado. Ukuran pembeda, apakah kita berhadapan dengan dialek atau dengan bahasa, adalah derajat kemungkinannya untuk dipahami. Suatu dialek pada umum¬nya atau dalam garis besarnya masih dapat dipahami para pemakai bahasa baku atau dialek lain, sedangkan suatu bahasa tidak. Orang Sunda dapat mema¬hami dialek Sunda Brebes tapi tidak dapat memahami dialek Jawa Brebes, karena bahasanya lain, tetapi orang jawa dari Surabaya tidak akan terlalu sukar mema¬hami dialek Jawa Brebes tersebut. Sedangkan pengertian dialek (lahjah) menurut Dr. A. Zaki Badawi:<br />تنبثق اللهجة من اللغات العامة وتتميز بخواص معينة من حيث النطق والقواعد والكلمات ولكنها لا تتميز تميزا كافيا بحيث يجعل منها لغة مستقلة. وترتبط اللهجة عادة بمناطق جغرافية معينة (dialect areas).<br /> <br />Pengertian di atas memberikan ilustrasi bahwa dialek adalah subsistem dari bahasa. Bahasa resmi bangsa Indonesia adalah bahasa Indonesia. Namun di da¬lamnya terdapat berbagai dialek yang berbeda-beda. Bahasa Indonesia yang diu¬capkan orang yang berasal dari Demak, Solo, Yogyakarta berbeda dengan yang diucapkan oleh orang Batak, Sunda, atau orang Jakarta (Betawi). Baik berbeda dalam dialek maupun dalam tekanan suara (intonasi). Jakarta adalah Ibukota dan pusat pemerintahan RI. Posisi ini menjadikan Jakarta sebagai benteng pertahanan bahasa Indonesia. Namun justru penduduk Jakarta menggunakan bahasa dan dialek yang diadopsi dari bahasa negara lain, khususnya bahasa Cina, seperti jigo, cepek, ceban. <br />Begitu juga yang terjadi di kota Mekah karena menjadi tempat transit para pedagang. Di samping itu juga menjadi tujuan para peziarah Ka’bah untuk memuja kepada patung-patung dewa yang berderet di sekitar Ka’bah. Sehingga terjadi dinamika yang kurang sehat bagi perkembangan bahasa Arab. Para pengunjung yang berasal dari berbagai penjuru kawasan Arab ini mempunyai dialek yang berbeda. Di depan Ka’bah sering diadakan pentas apresiasi sastra (sya’ir), Setiap kabilah mengirimkan penyair terbaiknya. Ketika satu persatu penyair membacakan sya’irnya, muncul ragam dialek yang menjadi identitas suku tertentu. <br />Bahasa resmi orang Arab adalah Bahasa Arab. Namun mereka mempunyai dialek yang berbeda. Orang awam Yaman membaca/mengucapkan huruf jîm dengan G (Jamal:Gamal), sebagian lagi di antara mereka mengucapkan sa atau saufa dengan bâ. Suku Himyar mengucapkan al dengan am. Madrasah Lughah Arab terdapat di Basrah dan Kufah.<br /> <br />b. Pengertian ‘Arab<br />Arti kata Arab (‘araba): bangsa atau orang Arab. Kata ‘araba (عرب) dan kata jadiannya disebut 21 kali dalam al-Qur’an. Disebut 6 kali dalam surat at-Taubah: 90, 97, 98, 99, 101, 120; Yusuf: 2; ar-Ra’du: 37; an-Nahl: 103; Thaha: 113; asy-Syu’ara: 195; al-Ahzab: 20; az-Zumar: 28; Fushshilat: 3 dan 44; asy-Syuura: 7; az-Zukhruf: 3; al-Ahqaaf: 12; al-Fath: 11 dan 16; al-Hujuraat: 14.<br />Ayat-ayat tersebut di atas pada garis besarnya berbicara tentang dua hal. Pertama, tentang sikap orang-orang Arab Badwi, at-Taubah: ayat 90, 97, 98, 99, 101, 120; surat al-Ahzab: 20; surat al-Fath: 11 dan 16; dan surat al-Hujuraat: 14. Dalam surat al-Taubah ayat 97:<br />الأعراب اشد كفرا ونفاقا واجدر الا يعلموا حدودما انزل الله على رسوله والله عليم حكيم<br />“Orang-orang Arab Badwi itu, lebih sangat kekafiran dan kemu¬na¬fi¬kannya, dan lebih wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”<br /><br />Menurut pakar bahasa al-Azhari, kata al-A’râb (الأعراب) di atas menunjuk siapapun yang tinggal yang jauh dari perkotaan atau tempat pemukiman umum, baik orang Arab maupun orang bukan Arab, dan baik yang tinggal di wilayah Arab atau bukan. Karena itu, tulis al-Jamal, mengutip pendapat al-Azhari, sungguh keli¬ru menduga kata ini adalah jamak dari kata ‘arab (عرب) karena yang dinamakan orang Arab adalah yang dapat berbahasa Arab, baik yang tinggal di pemukiman umum perkotaan/pedesaan maupun yang jauh di puncak gunung atau para nomaden. Di sisi lain, perlu diingat, bahwa yang dimaksud ayat ini bukan semua Badwi dan penduduk yang jauh dari pemukiman. Para a’râb (أعراب) itu, karena jauhnya tempat tinggal mereka dari kota dan tempat pemukiman, maka mereka hidup dalam kebiasaan mereka, antara lain berterus terang, dan berpegang teguh pada keyakinan dan adat istiadat mereka. Keberanian, kedermawanan, keeng¬ga¬nan ditindas merupakan sifat mereka yang terpuji. Tetapi karena jauh dari per¬kotaan, mereka tidak mengenal basa-basi, tidak mendengar tuntunan-tuntunan dan budi pekerti Rasulullah secara langsung. Maka wajar jika mereka tidak me¬ngetahui batas-batas ajaran agama. <br />Bangsa Arab dikenal sebagai suku nomad, tidak menetap, suka berpindah-pindah karena alasan sebagaimana tersebut di atas. Saya berasumsi bahwa kata urban (عربان), bentuk masdar dari kata ‘araba yang seringkali dijumpai dalam pembahasan ilmu-ilmu sosial, merupakan kata yang diadopsi dari bahasa Arab. Masyarakat urban adalah masyarakat yang tinggal di perkotaan atau di pedesaan namun bukan penduduk asli (pendatang). Mereka eksodus baik secara berkelom¬pok atau sendiri-sendiri meninggalkan desa mereka menuju kota atau desa lain untuk bekerja, belajar dan berbagai keperluan lainnya. Sehingga penggunaan kata urban, urbanisasi, dengan arti sebagaimana di atas itu dinisbatkan dengan karakter orang Arab yang nomaden. <br />Kedua, tentang diturunkannya al-Qur’an dengan bahasa Arab, dalam surat Yusuf: 2; ar-Ra’du: 37; an-Nahl: 103; Thaha: 113; asy-Syu’ara: 195; az-Zumar: 28; Fushshilat: 3 dan 44; asy-Syuura: 7; az-Zukhruf: 3; al-Ahqaaf: 12. <br />{انا انزلناه قرآنا عربيا} {وكذلك انزلناه حكما عربيا} <br />{وهذا لسان عربي مبين} {وكذلك انزلناه قرآنا عربيا...} <br />{بلسان عربي مبين} { قرآنا عربيا غير ذى عوج لعلهم يتقون} <br />{كتاب فصلت آياته قرآنا عربيالقوم يعلمون} <br />{ولو جعلناه قرآنااعجميالقالوا لولا فصلت اياتهءاعجمي وعربي} <br />{وكذلك اوحينااليك قرآنا عربيا} {انا جعلناه قرآنا عربيا لعلكم تعقلون} {...وهذا كتاب مصدق لسانا عربيا...}<br /><br />Menurut Dr. Jawwad, kata lughat (لغة) menggunakan arti lahjah (لهجه, dialek), seperti perkatakaan: bahasa suku Qurays, Hudzail, Tsaqif, maksudnya adalah dialek-dialek mereka. Bahasa al-Qur’an bukanlah salah satu dari lughat (lahjah) Arab. Karena al-Qur’an diturunkan sifatnya ‘araby, maksudnya al-Qur’an diturun¬kan dengan menggunakan bahasa seluruh orang Arab (بلسان جميع العرب). Makna kata-kata لسان عربي dalam al-Qur’an sebagaimana di atas, penggunaan kata لسان adalah sebagai pengganti (badal) dari kata lughat (لغة) yang berfungsi memperkuat pengertian bahwa bahasa al-Qur’an bukanlah salah satu dari bahasa (lahjah) orang Arab, melainkan meliputi seluruh bahasa (lisan) orang Arab. <br /><br /><br />c. Munculnya Bahasa, Dialek (lahjah)<br />Klasifikasi manusia dalam entitas etnis dan bangsa adalah fitrah dari Allah SWT. Hal ini sebagaimana nash dalam al-Qur’an: <br />يأيهاالناس انا خلقنكم من ذكر وانثى وجعلنكم شعوبا وقبائل لتعارفوا ان اكرمكم عند الله اتقكم ان الله عليم خبير الله <br />"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (al-Hujurat, 49: 13). <br /><br /> Bangsa merupakan sebuah institusi yang universal. Dalam bangunan se¬buah bangsa terdapat subsistem yang dinamakan suku. Kemudian dalam sub¬sistem suku terdapat kelompok-kelompok. Subsistem terkecil dari bangsa adalah keluarga kemudian individu-individu. Penafsiran ayat di atas menurut Ibnu Katsir: <br />وجعلهم شعوبا وهى أعم من القبائل وبعد القبائل مراتب أخر كالفصائل والعشائر والعمائر والأفخاد وغير ذلك وقيل المراد بالشعوب بطون العجم وبالقبائل بطون العرب... <br /><br /> Allah menjadikan kamu berbangsa-bangsa. Kata berbangsa-bangsa (شعوبا) lebih umum dari suku-suku. Subsistem dari suku-suku seperti fashail, ‘asya’ir, ‘amair dan afkhad dan lain-lain. Ada yang mengata¬kan, yang dimaksud dengan syu’ûb (شعوب) adalah klan ajam sedangkan qabâil (قبائل) adalah klan Arab…” <br /><br />Bangsa adalah perkumpulan orang-orang karena didorong oleh faktor keturunan, kesamaan budaya, bahasa atau agama. Kumpulan orang-orang terse¬but tinggal di sebuah wilayah tertentu, membuat aturan-aturan sebagai landasan hidup berbangsa demi terciptanya stabilitas politik, sosial, ekonomi, budaya, per¬tahanan dan keamanan. <br />Manifestasi konsep ta’aruf antar individu, bangsa dan suku adalah dengan menggunakan bahasa sebagai sarana komunikasi. Karena faktor bahasa, komu¬ni¬kasi akan mengalami hambatan cukup signifikan, menimbulkan salah persepsi, bahkan bisa memicu konflik berkepanjangan. Sehingga tepatlah jika dikatakan bahwa bahasa merupakan alat perekat pemersatu bangsa. Seseorang akan merasa segan berinteraksi dengan orang lain jika gagap dalam berbahasa, baik karena tidak mampu berbahasa dengan baik dan benar, atau karena tidak memahami bahasa orang lain. Apalagi jika masing-masing mempunyai dialek yang berbeda dan perbedaan itu mempunyai konotasi berlawanan dari segi arti. Misal¬nya ada pertanyaan “Saya ingin menuju ke Cafe Semanggi, dari Jembatan Se¬manggi arahnya terus ke mana? Yang ditanya menjawab “Tahu” (menurut dialek Jakarta, kata ini berarti tidak tahu). <br />Dengan demikian, bahasa, dialek lahir dari keberadaan sebuah bangsa, su¬ku. Suatu bangsa, misalnya bangsa Indonesia, mempunyai bahasa resmi yaitu bahasa Indonesia. Namun karena faktor geografis, budaya, sejarah suku yang berbeda-beda, melahirkan dialek yang berbeda pula. <br /><br />d. Kanibalisme Bahasa<br /> Istilah kanibal seringkali digunakan dalam dunia binatang (zoology), ter¬masuk di dalamnya adalah manusia. Kanibal diartikan sebagai manusia pemangsa manusia. Kanibalisme bahasa adalah kondisi dimana satu bahasa menjadi punah karena dimangsa oleh bahasa lainnya. Dalam hal ini, penulis ingin meminjam teori Antonio Gramsci tentang hege¬moni. Mansour Fakih, dalam pengantar buku Gaga¬san-Gagasan Politik Gramsci mengatakan: “Bagi Gramsci, proses hegemoni ter¬jadi apabila cara hidup, cara berpikir dan pandangan pemikiran masyarakat bawah terutama kaum proletar telah meniru dan menerima cara berpikir dan gaya hidup dari kelompok elit yang mendominasi dan mengeksploitasi mereka.” Menurut Gramsci, hegemoni berarti penguasaan satu bangsa terhadap bangsa lainnya, atau menggunakan pengertian yang lebih umum, yaitu penguasaan antarbangsa atau antara kota dan desa.<br />Hegemoni negara atau beberapa negara terhadap negara atau beberapa negara lainnya berdampak pada pudarnya struktur politik, sosial, ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan negara yang dikuasai. Bahasa resmi sebuah negara yang hidup di bawah bayang-bayang hegemoni negara asing, sedikit demi sedikit dimasuki oleh bahasa tersebut. Di masa penjajahan Belanda, masyarakat Indone¬sia tidak asing, bahkan ada yang menguasai bahasa Belanda. Sampai sekarang sistem hukum di Indonesia masih masih didominasi sistem hukum produk Belanda yang sebenarnya sudah tidak relevan lagi. <br />Kondisi ironis bersimbah tragis juga dialami negara-negara dunia Islam. Kebodohan, Keterpurukan yang melingkupi sebagian besar negara-negara Islam, berdampak pada kemunduran peradaban. Islam yang pernah tampil gemilang di pentas peradaban, kini jatuh lunglai tak berdaya menatap peradaban Barat. Ketika Islam sedang naik daun di pentas, penemuan demi penemuan menggunakan label berbahasa Arab. Dalam kondisi sekarang, ketika penemuan-penemuan di bidang iptek dikuasai oleh dunia Barat, maka label yang dipakai menggunakan bahasa mereka. <br />Kamus bahasa Arab kedodoran mencari padanan kata untuk sebuah pe¬nemuan, misalnya apa bahasa Arabnya komputer dan satuan-satuannya, seperti mouse, keyboard, CPU, processor, cd room, web site dan program aplikasinya. Dalam kamus Arab makna kata telepon di samping dengan menggunakan kata aslinya (al-telephone), juga memakai kata al-hatif. Ketika ditemukan handphone, apakah bisa masuk dalam kategori al-hatif (?). Lain halnya jika penemuan itu berasal dari orang Islam. <br />Hal ini merupakan proses terjadinya kanibalisme atau hegemoni bahasa. Bahasa Inggris, Jepang, Cina, Korea tampil menghiasi produk barang, jasa dan produk budaya. Sementara negara-negara Islam yang kaya karena minyak tapi kebekuan menyelimuti otak mereka, sudah cukup berbangga ria mengkonsumsi produk-produk Barat. Sedangkan bagi negara Islam yang terpuruk memeluk ke¬mis¬kinan, hanya bisa ternganga menatap kemegahan bangsa lain seraya me¬ngangkat kitab suci yang tak berbunyi. <br /><br />III. Konklusi<br />1. Dialek adalah logat setempat atau sedaerah yang berbeda dengan bahasa baku (standar), karena kelainan ucapan dan aturan-aturan tata bahasa.<br />2. Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa (lisân) Arab yang jelas yang dipakai oleh seluruh orang Arab, bukan dengan salah satu bahasa (lahjah) suku tertentu.<br />3. Lahirnya dialek disebabkan oleh faktor perbedaan gografis, antropologis.<br />4. Kanibalisme bahasa terjadi karena faktor hegemoni politik, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan dan Iptek oleh satu bangsa terhadap bangsa lainnya. <br /><br /><br />Daftar Pustaka<br /><br /><br />Ali, Attabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta, Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak: 1998), cet III.<br />Bâb (al), Ja’far Dak, Asrâru al-Lisân al-‘Araby, (Damaskus, Al-Ahali Lithibâ’ati wa al-Nasyr: 1990), cet. II,<br />Badawi, A. Zaki, Mu’jam Musthalahât al-‘Ulûm al-Ijtimâ’iyyah, (Beirut, Librairie Du Liban: 1986), New Impression.<br />CD Holy Qur’an Version 6.5, Tafsir Ibn Katsîr, (Perusahaan Perangkat Lunak “Sakhr”, 1997), Keluaran Kelima.<br />Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Ummat Islam, terjemahan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), Bagian Kesatu dan Dua, cet. II.<br />Shadily, Hasan, et. al., Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta, PT Ichtiar van Hove: tth) Edisi khusus, jilid 2.<br />Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, (Jakarta, Lentera Hati: 2001), cet. I, jilid V.<br />Simon, Roger, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci, terjemahan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 1999), cet. 1.<br /><br /><br /><div style="text-align: right;">Menyaring suara sunyi<br />Jakarta, 10 Mei 2004 <br /></div><br /><br /></div>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3698954706276362070.post-49575093253038091022009-02-10T22:08:00.000-08:002009-02-10T22:18:20.293-08:00KESEJAHTERAAN SOSIAL DALAM ISLAM<div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">Konsep Al-Qur’an tentang Kesejahteraan Sosial</span><br /></div><div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center;">Oleh: Nur Rosihin Ana<br /></div><br /><span style="font-weight: bold;">I. Pendahuluan</span><br />Manusia diciptakan Allah SWT dalam kondisi merdeka. Manusia tidak tun¬duk kepada siapapun kecuali kepada-Nya. Hal ini merupakan cermin kebebasan manusia dari ikatan-ikatan perbudakan. Bahkan misi kenabian Muhammad SAW adalah melepaskan manusia dari beban dan rantai yang membelenggunya (al-A’râf: 157). Setiap manusia, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat, mempunyai kebebasan dalam berpikir, bertindak (berusaha), dan ber¬sikap dalam rangka menciptakan kehidupan yang sejahtera, baik spirituil maupun materiil.</div><div style="text-align: justify;" class="fullpost">Akan tetapi, kebebasan manusia sebagai individu atau kelompok, tidak bisa dilepaskan dari individu atau kelompok lainnya. Kepentingan individu harus dikorbankan jika bertentangan dengan kepentingan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.<br />Kesejahteraan sosial terkait erat dengan keadilan sosial (al-‘adâlah al-Ijtimâ‘iyyah). Kesejahteran sosial hanyalah idiom-idiom kosong yang melambung di ruang hampa manakala melupakan prasyarat yang paling signifikan yaitu keadilan. Sebab kesejahteraan sosial merupakan tujuan (goal) yang ingin dicapai, sedang¬kan keadilan sosial merupakan shirâthal mustaqîm menuju kesuksesan penca¬paian tujuan. Dengan demikian, keadilan di semua bidang, baik materiil maupun spirituil, akan membawa ke arah terciptanya kesejahteraan. <br />Islam sangat respek dengan tema-tema tentang kesejahteraan sosial. Dalam bidang ekonomi, Islam mengatur distribusi kekayaan agar tidak hanya beredar di kalangan para konglomerat (kay lâ yakûna dûlatan bayna al-aghniyâ’ minkum: al-Hayr: 7). Di samping perannya sebagai agama yang menyeru kepada ajaran tauhid, Islam juga berperan sebagai agama advokasi. Hal ini tergambar dari antusiasme ajaran Islam yang mempunyai keberpihakan kepada kelompok lemah (mustadh‘afîn) lewat program zakat. Program zakat meru¬pa¬kan program yang bermuatan ritual dan sosial. Sebagai program ritual, zakat ada¬lah implementasi dari rasa syukur individu atas karunia (kekayaan) yang dibe¬rikan oleh Allah. Sedangkan sebagai program sosial, zakat berfungsi sebagai program aksi pemerataan distribusi dalam rangka mengurangi jumlah kemiskinan. <br />Dalam pengelolaan negara, Islam memberikan panduan bagi pemimpin negara agar dalam pengambilan keputusan dan kebijakan senantiasa berpihak atas nama kesejahteraan rakyatnya (تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة). Bukan dalam rangka membangun kekuasaan, menumpuk kekayaan dan mengumbar janji. Semoga dalam Pemilu Presiden 5 Juli 2004 yang akan datang bisa melahirkan figur pemimpin yang adil sehingga mampu menyibak fajar kesejahteraan merekah cerah di wajah masyarakat yang lelah menahan resah.<br /> <br /><span style="font-weight: bold;">II. Pembahasan</span><br />a. Pengertian<br />a.1. Kesejahteraan<br />Kesejahteraan berasal dari kata dasar sejahtera: aman sentosa dan makmur; selamat (terlepas dari segala macam gangguan, kesukaran, dan sebagainya). Kesejahteraan: hal atau keadaan sejahtera; keamanan, keselamatan, ketenteraman, kesenangan hidup, dan sebagainya; kemakmuran. Dalam definisi lain dijelaskan, kesejahteraan:<br />الرفاهية: الحالة التى تتحقق فيها الحاجات الاساسية للفرد والمجتمع من غداء وتعليم وصحة وتأمين ضد كوارث الحياة.<br />“Kesejahteraan (welfare) adalah kondisi yang menghendaki terpenuhimya kebutuhan dasar bagi individu atau kelompok baik berupa kebutuhan makan, pendidikan, kesehatan, sedangkan antitesa dari kesejahteraan adalah kesedihan (bencana) kehidupan”. <br /><br /><br /><br />a.2. Kesejahteraan Sosial <br />Kesejahteraan sosial: keadaan sejahtera masyarakat. Sedangkan dalam Mu’jam Musthalahâtu al-‘Ulûm al-Ijtimâ’iyyah dijelaskan:<br />الرفاهية الاجتماعية: نسق منظم من الخدمات الاجتماعية والمؤسسات يرمى الى مساعدة الافراد والجماعات للوصول الى مستويات ملا ئمة للمعيشة والصحة كما يهدف الى قيام علاقات اجتماعية سوية بين الافراد بتنمية قدراتهم وتحسين الحياة الانسانية بما يتفق مع حاجات المجتمع.<br />“Kesejahteraan sosial: sistem yang mengatur pelayanan sosial dan lembaga-lembaga untuk membantu individu-individu dan kelompok-kelompok mencapai tingkat kehidupan, kesehatan yang layak dengan tujuan menegakkan hubungan kemasayarakatan yang setara antar individu sesuai dengan kemampuan pertumbuhan (development) mereka, memperbaiki kehidupan manusia sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat”. <br /><br />Dari ragam definisi di atas, pada intinya, kesejahteraan sosial menuntut terpenuhinya kebutuhan manusia yang meliputi kebutuhan primer (primary needs), sekunder (secondary needs) dan kebutuhan tersier. Kebutuhan primer meliputi: pangan (makanan) sandang (pakaian), papan (tempat tinggal), kesehatan dan keamanan yang layak. Kebutuhan sekunder seperti: pengadaan sarana transportasi (sepeda, sepeda motor, mobil, dsb.), informasi dan telekomunikasi (radio, televisi, telepon, HP, internet, dsb.). kebutuhan tersier seperti sarana rekereasi, entertaimen. Kebutuhan-kebutuhan ini berdasarkan tingkatan (maqâm) individu. Artinya untuk tingkat masyarakat kelas menengah, kebutuhan akan mobil pribadi untuk menunjang mobilitas aktivitas yang tinggi, masuk dalam kategori kebutuhan primer. Sedangkan untuk kelompok ekonomi menengah ke bawah, mobil pribadi merupakan barang lux dan masuk kategori kebutuhan sekunder. Tiga kategori kebutuhan di atas bersifat materiil sehingga kesejahteraan yang tercipta pun bersifat materiil.<br />Kesejahteraan sosial akan tercipta dalam sistem masyarakat yang stabil, khususnya adanya stabilitas keamanan. Stabilitas sosial, ekonomi tidak mungkin terjamin tanpa adanya stabilitas keamanan (termasuk di dalamnya stabilitas politik). Hal ini sebagaimana do’a Nabi Ibrahim dalam surat al-Baqarah: 126<br />وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا ءَامِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ ءَامَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلًا ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ(126)<br /> “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdo`a: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali" (al-Baqarah: 126).<br /><br />Kata balad disebut 8 kali dalam al-Qur’an, surat al-A’râf: 57 dan 58, Ibrâhim: 35, an-Nahl: 7, Fâthir: 9, al-Balad: 1 dan 2, at-Tîn: 3. Kata ini mempunyai arti: negeri, daerah, tanah, kota. Tafsir dari kata baladan âminan dalam ayat di atas adalah sebagai berikut:<br />ابن كثير: رب اجعل هذا بلدا امنا، اى من الخوف لا يرعب اهله. القرطبى: بلدا امنا، يعنى مكة، فدعا لذريته وغيرهم بالامن ورغد العيش.<br />Menurut Ibnu Katsir, kata-kata rabbij‘al hâdzâ baladan âminan, maksudnya adalah aman dari rasa takut yang menyelimuti warga negeri. Sedangkan menurut al-Qurthubi, negeri yang aman itu adalah negeri Mekah, Ibrahim berdo’a untuk keluarga dan penduduk negeri agar tercipta stabilitas keamanan dan kenyamanan dalam kehidupan. <br /><br />Sebuah negara yang stabilitas keamanannya rawan akan berpengaruh terhadap berbagai sektor kehidupan lainnya. Kinerja sektor ekonomi yang merupakan faktor penyangga kesejahteraan akan terganggu bahkan terbengkelai sama sekali. Begitu pula stabilitas politik. Fakta menunjukkan bahwa negara-negara dunia ketiga yang terus dilanda kemelut krisis dalam negeri seperti membengkaknya hutang, angka pengangguran, dan berseminya kawasan kumuh dan miskin (kumis) disebabkan karena stabilitas keamanan dan politik yang labil. Ironisnya, justru tingkat korupsi merajalela di negara-negara dunia ketiga ini. Sebuah ilustrasi, dalam catatan sejarah selama lima kali suksesi kepemimpinan nasional di Indonesia selalu didahului oleh peristiwa-peristiwa yang mengundang kerawanan sosial, politik dan keamanan (sospolkam). Kerawanan-kerawanan ini mengakibatkan gejolak (rush) dalam bidang ekonomi, seperti terjadinya depresiasi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, menurunnya suku bunga SBI, menurunnya indeks perdagangan di bursa saham yang berarti melemahnya investasi.<br /><br />b. Konsepsi Islam Tentang Kesejahteraan Sosial <br />Islam sebagai ajaran sangat peduli dengan kesejahteraan sosial. Kesejahteraan social dalam Islam pada intinya mencakup dua hal pokok yaitu kesejahteraan social yang bersifat jasmani dan rohani. Manifestasi dari kesejahteraan sosial dalam Islam adalah bahwa setiap individu dalam Islam harus memperoleh perlindungan yang mencakup lima hal: <br />Pertama, agama (al-dîn), merupakan kumpulan akidah, ibadah, ketentuan dan hukum yang telah disyari‘atkan Allah SWT untuk mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, hubungan antara sebagian manusia dengan sebagian yang lainnya. Kedua, jiwa/tubuh (al-nafs), Islam mengatur eksistensi jiwa dengan men¬cip¬takan lembaga pernikahan untuk mendapatkan keturunan. Islam juga melin¬du¬ngi dan menjamin eksistensi jiwa berupa kewajiban memenuhi apa yang menjadi kebutuhannya, seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, qishash, diyat, dilarang melakukan hal yang bisa merusak dan membahayakan jiwa/tubuh.<br />Ketiga, akal (al-‘aql), melindungi akal dengan larangan mengkonsumsi narkoba (khamr dan segala hal yang memabukkan) sekaligus memberikan sanksi bagi yang mengkonsumsinya. Keempat, kehormatan (al-‘irdhu), berupa sanksi bagi pelaku zina dan orang yang menuduh zina. Kelima, kekayaan (al-mâl), mengatur bagaimana memperoleh kekayaan dan mengusahakannya, seperti kewajiban mendapatkan rizki dan anjuran bermua‘amalat, berniaga. Islam juga memberi perlindungan kekayaan dengan larangan mencuri, menipu, berkhianat, memakan harta orang lain dengan cara tidak benar, merusak harta orang lain, dan menolak riba. <br />Kelima pilar asasi ini menjadi apresiasi, advokasi dan proteksi Islam dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial. Berkenaan dengan perlindungan jiwa, harta dan kehormatan manusia, Allah berfirman:<br />يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ(11)<br />Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (al-Hujurât: 11).<br /><br />Menghina orang lain adalah perbuatan yang tercela. Orang yang menghina belum tentu lebih baik dari yang dihina. Seringkali ada orang menghina orang lain karena alasan kedengkian, kecemburuan. Penghinaan juga bisa berakibat fatal seperti adu mulut, perkelahian hingga pembunuhan. Dalam tayangan di media massa, banyak sekali kasus perkelahian, baik perkelahian tunggal maupun pengeroyokan hingga perkelahian massal yang mengakibatkan korban luka dan meninggal berjatuhan, pembunuhan yang bermula dari sebuah penghinaan. Orang yang dihina, terutama jika penghinaan itu terjadi di depan publik, bisa menuntut ke muka pengadilan karena merasa harga dirinya direndahkan. <br /> <br />c. Hakikat Kesejahteraan Sosial<br />Kesejahteraan sosial di dunia bersifat sementara bahkan semu adanya. Pada kurun waktu tertentu mungkin masyarakat hidup damai sejahtera. Namun dalam waktu seketika kesejahteraan itu punah karena konflik massal yang dipicu oleh ketidakpuasan suatu kelompok. Ambisi manusia yang keluar dari konteks kemanusiaan seperti ambisi politik, jabatan, kekuasaan, seringkali merupakan picu-picu dalam sekam yang suatu saat bisa meledakkan konflik horizontal dan meluluhlantakkan bangunan kesejahteraan sosial. <br />Dalam ranah sejarah kekhalifahan Islam, terdapat tiga generasi yang masing-masing mempunyai ciri tersendiri: pertama, generasi yang berkorban membangun dan mengembangkan sayap kekhalifahan. Sarana suprastruktur diciptakan untuk mengatur struktur roda pemerintahan, sarana infrastruktur dibangun untuk kesejahteraan sosial. Kedua, generasi penikmat kekhalifahan. Generasi ini menuai jerih payah generasi sebelumnya dan tidak banyak mempunyai inisiatif karena kemakmuran dan kesejahteraan sosial sudah mapan pada masa generasi sebelumnya. Ketiga, generasi perusak. Khalifah hanya sibuk dalam kenikmatan dunia (hedonis), sering berpesta pora dan lupa akan kesejahteraan rakyatnya. Rakyat diperas dengan upeti dan pajak tinggi untuk membiayai ambisi pribadi khalifah. Pada kondisi ini khalifah dan para hulubalang lupa dengan peran dan fungsinya. Sementara kekhalifahan berada di atas ujung tanduk kehancuran. Di sisi lain, ada kekuatan asing yang siap mengintai lalu dan menyerbu mereka yang sedang terkapar lemas bermandikan anggur dan minuman keras. Sebetulnya Allah seringkali menjanjikan kesejahteraan bagi manusia. Akan tetapi manusia seringkali lupa, berpaling dari kebenaran. Firman Allah: <br />وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ(96)<br />Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya (al-A’râf: 96).<br /><br />Penduduk suatu negara yang ingkar nikmat akan menuai laknat. Kekayaan alam yang melimpah, aneka tanaman dan tumbuhan, bahan-bahan tambang, baik di daratan maupun di lautan merupakan sumber-sumber kehidupan yang bisa dimanfaatkan dan dibudidaya untuk kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi karena manusia tidak mensyukurinya lalu bertindak kerusakan sehingga bumi menjadi gersang kering kerontang. Hujan rahmat berubah menjadi bencana erosi dan banjir karena penggundulan hutan. Ikan-ikan di Teluk Jakarta mati karena limbah. <br />Gambaran Kesejahteraan sosial yang hakiki hanya terjadi di alam surgawi. sebagaimana kondisi Nabi Adam dan Istrinya, Hawa ketika berada di surga: <br />فَقُلْنَا يَاآدَمُ إِنَّ هَذَا عَدُوٌّ لَكَ وَلِزَوْجِكَ فَلَا يُخْرِجَنَّكُمَا مِنَ الْجَنَّةِ فَتَشْقَى(117)إِنَّ لَكَ أَلَّا تَجُوعَ فِيهَا وَلَا تَعْرَى(118)وَأَنَّكَ لَا تَظْمَأُ فِيهَا وَلَا تَضْحَى(119)<br />Maka kami berkata: "Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya" (Thâhâ: 117-119).<br /><br />Tiada tangis yang menyayat pilu karena derita kelaparan, kemiskinan, ketertindasan. Masyarakat penghuni surga tidak akan pernah merasa haus dan lapar, resah dan gelisah. Tiada caci-maki, konflik yang terjadi di surga karena kesejahteraan lahiriah dan dan batiniah menemukan bentuknya yang paling sempurna. Tiada tayangan sumpah serapah, saling menghujat, slogan dan janji pepesan kosong para politisi yang sedang mengincar kursi kekuasaan. Semuanya hidup teratur, rukun tentrem kerto raharjo seraya senantiasa istighfar, bertasbih dan berdzikir menyebut asma Allah.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Daftar Pustaka</span><br /><br />Al-Qur’an al-Karim, Tafsir Ibn Katsir dan Tafsir al-Qurthubi, (Perusahaan Perangkat Lunak “Sakhr: 1997), Keluaran ke-V versi 6.50.<br />Badawi, A. Zaki, Mu’jam Mushthalahâtu al-‘Ulûm al-Ijtimâ’iyyah, (Beirut, Maktabah Lubnan: 1986), New Impression.<br />Khalaf, Abdul Wahab, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, (Jakarta, Al-Majlis al-A’la al-Indonîsî li al-Da’wah al-Islâmiyyah: 1972), cet. IX.<br />Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka: 1996), cet. VII, edisi II.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Menghirup udara pagi,<br />Jakarta, 18 Mei 2004<br /><br /><br /><br /></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3698954706276362070.post-32210453280082707382009-01-29T03:21:00.000-08:002009-01-29T03:25:06.659-08:00ANTROPOLOGI ISLAM<div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">KAJIAN ANTROPOLOGI DAN SOSIAL MASYARAKAT ISLAM</span><br />Oleh: Nur Rosihin <br /></div><div style="text-align: justify;"><br />I. Pendahuluan<br /> Keberadaan suatu masyarakat tidak bisa dilepaskan dari atmosphere yang melingkupinya. Beberapa faktor seperti geografis, demo¬grafis, memberi pengaruh signifikan pada masyarakat dalam dinamika ber¬pi¬kir, ber¬tindak dan bersikap.</div><div style="text-align: justify;" class="fullpost">Di samping itu, perbedaan geografis melahirkan warna kulit yang berbeda, ada yang berkulit coklat, kuning, putih dan hitam, dalam ragam ras (etnik) yang mempunyai ciri khas masing-masing sebagai iden¬titas entitas etnis tertentu. Di atas semua itu, perbedaan spesies manusia me¬ru¬pakan sunnatullâh yang tak terbantahkan dijelaskan dalam nash al-Qur’an. <br /> Perjalanan sejarah Islam di masa lalu yang kelam, bersimbah darah, patut menjadi tela’ah kritis dalam rangka mendapatkan suatu pemahaman yang komprehensip (jâmi’-mâni’). Berbagai faktor pendukung harus dipetakan, diposi¬si¬kan secara simetris. Misalnya faktor geografis dan sosio-kultural yang mem¬punyai kaitan erat dengan kecenderungan suatu masyarakat. Dengan memperhati¬kan variabel-variabel ini mempermudah identifikasi kecenderu¬ngan ritme sejarah. <br />Sementara, di belahan wilayah lain, muncul semangat Islam yang kontradiktif dengan kondisi dimana Islam dilahirkan (Arab). Islamisasi Islam di Asia Tenggara, khususnya Indonesia menampilkan corak pemahaman keis¬la¬man yang inklusif yang tercermin dalam sikap keberagaman dan keberaga¬maan yang moderat (tawâshuth), toleran (tasâmuh) berimbang (tawâzun). Varian ini antara lain dilatarbelakangi kecermatan para penyebar Islam dalam memahami pola-pola sosio-kultural yang berkembang di tengah-tengah ma¬syarakat. Identifikasi sosio-kultural yang matang, menghasilkan format pende¬katan da’wah yang relevan dengan kondisi masyarakat, meskipun di belakang hari muncul tudingan bahwa islamisasi di Indonesia merupakan tahapan yang belum tuntas. Indikatornya misalnya dalam ritual masyarakat penuh dengan aroma sinkretis, yaitu persenyawaan antara ajaran Islam dengan budaya lokal yang sampai sekarang masih kental mewarnai upacara-upacara ritual Islam. <br />Sebagai agama yang membawa umatnya menuju kebahagiaan di du¬nia dan akhirat (sa’âdatu al-dârain), Islam lahir di tanah Arab yang gersang meradang, kering kerontang. Sebagai agama selamat, damai, sejahtera, wa¬jah Islam justru berhiaskan mahkota berdarah. Apa latar belakang timbulnya pertumpahan darah (qitâl) yang melingkupi perjalanan sejarah Islam. Apakah semata demi kejayaan Islam, menyalurkan hobi berperang para suku nomad Arab, atau ada motivasi profit oriented yaitu mengejar akumulasi ghanîmah dan fai’ yang ditinggalkan pemiliknya (musyrikin) yang meninggal di medan peperangan atau lari menyelamatkan diri. <br />Begitu juga dalam taqnîn (pembuatan UU), produk-produk hukum Is¬lam juga merupakan refleksi dari realitas sosio-kultural pada masanya. Di sisi lain, transformasi sosio-kultural adalah sesuatu yang tak terelakkan mengi¬ringi sejarah peradaban yang berjalan dengan logikannya sendiri dan me¬nam¬pilkan pola-pola yang berbeda bahkan kontradiktif dengan wacana klasik.<br />Ruang lingkup kajian antropologi dan sosiologi masyarakat Islam sangat luas karena masing-masing wilayah mempunyai varian-varian yang berbeda antara satu wilaya dengan wilayah lainnya. Sosiologi masyarakat Islam yang hidup di Asia Tenggara berbeda dengan masyarakat di Timur Tengah karena masing-masing mempunyai sejarah dan kultur yang berbeda. Sehingga performance dalam bertutur sapa, berfikir, bertindak dan melakukan aktivitas ritual pun seringkali terjadi perbedaan-perbedaan. Oleh karena itu, tulisan ini akan membatasi diri pada antropologi dan sosiologi masyarakat Islam Arab. <br />II. Definisi <br />a. Definisi Antropologi<br />Antropologi (Yunani: Anthropos: manusia) ilmu pengetahuan tentang manusia. “Anthropologi Fisis” mempelajari sifat-sifat jasmani manusia, di sini termasuk juga rasiologi atau ilmu ras-ras. “Anthropologi Kebudayaan” mem¬pelajari kultur manusia, di sini termasuk juga etnologi dan prasejarah. Dalam A. Dictionary of the Social Sciences dijelaskan: <br />الأنتروبولوجيا: علم الإنسان من حيث هو كائن فيزيقي واجتماعي ويتفرع من هذا العلم مجموعة من العلوم المخصصة فى دراسة الإنسان، كالأنتروبولوجيا الفيزيقية والأنتروبولوجيا الإجتماعية والأنتروبولوجيا الثقافية.<br /><br />“Antropologi: pengetahuan tentang manusia dari sisi kondisi fisik dan sosial. Dari ilmu ini lahir kumpulan beberapa cabang disiplin ilmu tentang studi manusia, seperti antropologi fisik, sosial dan budaya.” <br /><br />b. Definisi Antropologi Sosial<br />Antropologi sosial (Social Anthropology) adalah: <br />الأنتروبولوجيا الإجتماعية: تهتم بدراسة الأشكال الأولية البسيطة للمجتمعات الإنسانية فى المراحل البدائية من تطورها الذي يظهر فيها بوضوح تكامل وحدة البناء. فهي لا تشمل اذن المراحل الأكثر تطورا وتركيبا في نمو هذه المجتمعات. وتعتبر الى حد ما جزءا من الأنتروبولوجيا الثقافية.<br /><br />“Antropologi Sosial (social anthropologi): Studi yang konsen terhadap masalah-masalah utama yang melingkupi komunitas manusia, dalam tingkatan-tingkatan awal perkembangannya yang nampak dari kesempurnaan satu bangunan yang jelas. Antropologi sosial dalam hal ini tidak memuat tingkatan-tingkatan mayoritas perkembangan dan struktur dalam pertumbuhan sosial ini. Antropologi Sosial dianggap sebagai bagian dari antropologi budaya.”<br /><br />III. Pembahasan<br />a. Kondisi Sosial Arab pra-Islam<br />Semenanjung Arabia pra-Islam merupakan daerah terisolir dari penga¬ruh peradaban dua adidaya Romawi dan Persia. Dua adidaya imperial ter¬se¬but tidak melakukan ekspansi ke Arab, karena secara geografis dan demo¬grafis semenanjung Arabia dikelilingi hamparan gurun pasir yang kering dan tandus. Sepanjang mata memandang hanya hamparan pasir yang mengelabui mata dengan halusinasi, menyimpan misteri karena setiap saat badai gurun datang menggulung pasir-pasir beterbangan mengikuti arah badai bertiup dan menyapu apa saja yang merintanginya. Dengan kata lain, Arabia adalah daerah yang minus sumberdaya alam, tanahnya tidak produktif. Masyarakatnya hidup dalam kelompok-kelompok suku yang hidup dalam tenda-tenda (karavan), oase, berpindah-pindah (nomad) dari satu tempat ke tempat lainnya dan bertahan pada profesi sebagai penggembala ternak (pastoral). Ideologi yang dianut masyarakat adalah ideologi pagan yang mempercayai adanya bermacam-macam dewa sebagai sesembahan.<br />Dasar kesatuan hidup keluarga adalah patriarchal-agnatis, dimana sekelompok masyarakat menurun secara langsung melalui garis laki-laki dari nenek moyang dan di bawah otoritas laki-laki yang tua atau laki-laki kepala keluarga. Kondisi ini menempatkan laki-laki (kepala keluarga/suku) pada posisi superior dan perempuan berada dalam inferioritas laki-laki. Posisi kepala suku (selalu dijabat oleh laki-laki) sangat sentral, strategis dan taktis. Kebijakan-kebijakan strategis dan taktis yang menjadi keputusan ketua suku sangat sentralistik, tanpa reserve dan sifatnya mengikat bagi seluruh anggota suku. Misalnya ketua suku menginstruksikan karavan pindah ke suatu tempat atau instruksi untuk berperang melawan suku lain. <br />Hal ini sangat kontras dengan peri-kehidupan masyarakat imperial. Masyarakat imperial mendiami daerah-daerah yang subur sehingga pada umumnya mereka adalah masyarakat agrikultural. Kehidupan mereka teratur karena hidup menetap. Pola hidup masyarakatnya dinamis dan mereka sudah mengenal ajaran monotheis.<br /><br />b. Pengaruh Islam dalam Masyarakat Arab <br /> Setelah Islam datang, masyarakat Arab masih meneruskan tradisi yang berurat akar dari nenek moyang mereka. Lahirnya Islam di tanah Arab tentunya menampilkan corak tersendiri bagi kelangsungan misi suci da’wah islamiyah. Lahirnya Islam di Arab tidak serta-merta membawa perubahan drastis dalam peri-kehidupan masyarakat Arab. Bahkan kehadiran Islam mengundang resistensi dari para ketua suku yang telah lama bercokol menanamkan pengaruh hegemonik di tengah-tengah masyarakat Arab.<br /> Namun setahap demi setahap misi da’wah Nabi terus berkumandang meskipun seringkali berhadapan dan membentur tembok tebal kekuasaan. Dalam lingkup internal suku Qurays—suku keturunan Nabi—terjadi friksi dalam merespon ajaran-ajaran Nabi. Abdul Muthalib, kakek Nabi, adalah seorang yang mempunyai pengaruh di Mekah. Meskipun belum secara resmi menyatakan keislamannya, Abdul Muthalib siap membela Muhammad. Hal ini memberikan saham dan proteksi bagi kelangsungan misi da’wah Nabi. Di lain pihak, Abu Lahab cs memberikan respon negatif, bahkan terus merongrong dan menghalangi langkah Nabi. Secara logika, bagaimana mungkin seorang Abu Lahab yang berpengaruh harus tunduk kepada seorang Muhammad.<br /> <br />c. Perang Suci<br />Kondisi gurun pasir yang panas berpengaruh terhadap pembentukan karakter masyarakat Arab. Masyarakat Arab terkenal dengan karakter mereka yang keras dan gemar berperang. Sehingga suatu hal yang paradoksal jika perjalanan sejarah ekspansi Islam bersimbah darah.<br />Di samping itu, bunyi nash dalam al-Qur’an tentang perang (qitâl, dari kata dasar qatala) memberikan legitimasi yang kuat kepada masyarakat Arab Islam untuk mengobarkan perang suci. Kata qatala dan kata jadiannya disebutkan sebanyak 170 kali dalam al-Qur’an. Di samping kata qatala, al-Qur’an juga memakai kata harb yang juga berarti perang. Kata harb disebut sebanyak 4 kali dalam al-Qur’an, yaitu dalam surat al-Baqarah 2: 279; al-Maidah 5: 64; al-Anfal 8: 57; Muhammad 47: 4. <br />Hobi berperang di satu sisi dan legitimasi nash yang sakral berpadu menjadi simbiosis mutualis. Pada tahap tertentu, sikap heroisme ‘askar Islam yang militan mampu meruntuhkan dua kerajaan adidaya Romawi di Barat dan Persia di Timur dan memperluas jangkauan ekspansi hingga masuk wilayah Eropa.<br />Di sisi lain, perang juga merupakan ajang mempertahankan harga diri suku-suku Arab. Kabilah/suku menjadi populer dan dominan ketika mempunyai track record tinggi dalam kemenangan di setiap ajang peperangan. Sentimen antar suku acapkali memicu terjadinya peperangan. Logika individu sudah membaur dalam logika komunal yang impulsif, sehingga tiada lagi perasaan takut untuk memanggul senjata. Membela kehormatan suku, tanpa memandang benar atau salah, adalah kewajiban yang harus dipikul setiap anggota tanpa reserve. Bahkan setiap anggota suku merasa terhina apabila sukunya menjadi ejekan suku lain. Kebanggan terhadap suku/golongan ini sebagaimana dilukiskan dalam surat al-Mu’minûn: 53 Allah berfirman:<br />فتقطعوا امرهم بينهم زبرا كل حزب بما لديهم فرحون<br />“Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing)”.<br /><br />d. Apresiasi Puisi (Syair)<br />Di samping hobi berperang, masyarakat Arab pra-Islam juga juga gemar mengadakan kontes apresiasi puisi (syair). Kontes biasanya diadakan di samping ka’bah. Masing-masing peserta, baik atas nama individu atau suku, membacakan hasil karyanya di depan ka’bah, disaksikan para khalayak. Hasil karya tersebut kemudian ditempel di dinding-dinding ka’bah. <br />Kontes apresiasi puisi ini juga menjadi ajang gengsi persaingan antar suku. Setiap suku mengirimkan duta terbaiknya untuk berkompetisi dengan duta dari suku lainnya. Tidak ada tim yang membuat juklak, juknis maupun yang merancang event organizer kontes ini. <br /><br />IV. Konklusi<br />1. Struktur sosio-kultural masyarakat Arab pra-Islam adalah masyarakat kesukuan patriarchal nomaden;<br />2. Kondisi geografis gurun sahara yang panas, kering kerontang, berpengaruh pada pola hubungan keseharian yang keras;<br />3. Hobi berperang antar suku di semenanjung Arab mendapatkan legitimasi dari nash suci (ayat-ayat tentang qital). Atau pemahaman sebaliknya, nash tentang qital merupakan refleksi dari peri-kehidupan masyarakat yang gemar berperang;<br /> <br /><br /><br />V. Daftar Pustaka<br /><br />Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Umat Islam, terjemahan (Jakarta, RajaGrafindo Persada: 2000), Bag. I dan II cet. II.<br />Mulia, T.S.G. dan K.A.H. Hidding, Ensiklopedia Indonesia, (Bandung, W. Van Hoeve: tth) h. 91<br />Badawi, A. Zaki, A. Dictionary of the Social Sciences, (Beirut, Librairie Du Liban, 1986), h. 21<br /></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3698954706276362070.post-25079786190289049352009-01-28T22:32:00.000-08:002009-01-28T22:38:48.975-08:00SISTEM EKONOMI ISLAMOleh: Nur Rosihin Ana<br /><br />I. Pendahuluan<br />Ajaran Islam mengandung tatanan-tatanan yang mencakup seluruh aspek kehidupan seperti aspek sosio-ekonomi, budaya, politik, keamanan. Di samping itu juga mengatur tentang hak dan kewajiban, hubungan individu dengan individu, masyarakat dan negara.<span class="fullpost"><br /><br /><br />Tatanan tersebut merupakan misi suci Islam dalam rangka mewujudkan kehidupan yang ideal, adil makmur, aman sejahtera lahir maupun batin. Di bidang ekonomi, Islam memberikan tuntunan yang bisa menjadi alternatif sistem perekonomian setelah gagalnya sistem perekonomian Sosialis yang telah runtuh dan sistem Kapitalis yang masih bersikukuh menguasai perekonomian dunia. Kapitalisme telah melahirkan kesenjangan yang tajam antara negara maju, berkembang dan negara dunia ketiga. Beberapa dasawarsa peta dunia didominasi oleh dua mainstream ideologi sentralistik yaitu ideologi Kapitalis dan Sosialis. Kedua ideologi ini saling berlomba mem¬perluas jangkauan hegemoninya ke sejumlah negara di dunia hingga memicu perang berkepanjangan.<br />Kapitalisme adalah penguasa tunggal perekonomian dunia setelah Uni Soviet se¬bagai komando perekonomian terpusat, runtuh pada awal dekade 1990-an. Pertarungan ideo¬logis yang kemudian larut dalam perang dingin berakhir dengan kapitalisme sebagai pemenang. Berakhirnya perang dingin, tidak saja menyebabkan berbagai perubahan men¬da¬sar dalam struktur kekuatan dunia, melainkan juga membawa nuansa baru dalam hubungan ekonomi antar bangsa. Kehancuran komunisme menuntun negara-negara penganutnya un¬tuk mau tidak mau cenderung menatap pada ekstrim yang lain: dari perencanaan terpusat ke mekanisme pasar. <br />Madzhab ekonomi Kapitalis sebagai penguasa tunggal ekonomi dunia telah gagal membawakan misi keadilan ('adâlah), kesejahteraan (falâh) bagi kemaslahatan umat ma¬nusia. Justru sebaliknya, kapitalisme membawa dampak buruk bagi sejarah pere¬ko¬¬nomian dunia. Karakter kapitalisme yang eksploitatif telah mewariskan kerusakan alam yang parah bagi kelangsungan ekosistem. Eksploitasi besar-besaran tidak hanya terjadi pa¬da sumber¬daya alam, bahkan sumberdaya manusia dipalingkan dari hakekat ke¬ma¬¬nusiaan, memposi¬sikan manusia sebagai binatang materialis, hedonis yang berten¬ta¬ngan dengan fitrah manusia sebagai makhluk beradab. Kapitalisme melahirkan konsentrasi kekayaan di tangan segelintir orang di tengah kehidupan yang timpang. Bahkan praktek konglomerasi yang tidak sehat memberikan andil cukup besar bagi runtuhnya perekonomian Indo¬nesia. Ketika badai krisis menerjang Indonesia pada pertengahan tahun 1997, noktah hitam konglomerasi tergambar menganga menampilkan guratan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). <br />Konglomerasi merupakan bentuk keserakahan yang bertentangan dengan konsep keadilan ('adâlah), menghambat kese¬jah¬te¬raan (falâh) yang merata bagi manusia. Kong¬lo¬merasi juga merupakan wujud pe¬mua¬san ambisi yang berlebihan dan keluar dari konteks kemanusiaan. Islam se¬ba¬gai ajaran sangat respek dan menjunjung tinggi ikhtiar manusia se¬panjang tidak berten¬ta¬ngan dengan norma-norma aga¬ma dan kemanusiaan secara universal. Nilai-nilai normatif yang dibawa¬kan Islam menjadi pijakan dalam memahami kecen¬de¬ru¬ngan yang ter¬ja¬di se¬kaligus men¬cari alternatif pemecahan yang tepat sasaran, mem¬bu¬tuh¬kan pemikiran yang tidak hanya bersifat tradi¬sional, tapi juga pemikiran rasional dan glo¬bal. Pemikiran tentang reaktualisasi pemi¬kiran keislamanan di bidang perekonomian men¬jadi alternatif signifikan di tengah carut-marut sistem pereko¬no¬mi¬an Sosialis dan Kapi¬talis. Profesor Jacquen Austry, ahli ekonomi berkebangsaan Perancis mengatakan: "Bahwa jalan menum¬buh¬¬kan ekonomi tidak terbatas pada dua mazhab yang telah kita kenal, yaitu kapita¬lisme dan sosialisme saja, melainkan ada satu mazhab ekonomi ketiga yaitu mazhab ekonomi Islam. Beliau berpendapat bahwa mazhab ekonomi Islam akan memimpin dunia di kemudian hari karena mazhab ini merupakan susunan kehidupan yang sempurna." <br />Misi ekonomi Islam adalah menciptakan tatanan yang berkeadilan ('adâlah) dan egaliter. Prinsip ekonomi Islam menitikberatkan pembahasannya pada aspek-aspek vital yang menyangkut kepentingan masyarakat secara universal, lebih-lebih pada golongan fa¬kir-miskin, individu atau kelompok yang dizalimi oleh kebijakan penguasa atau pengu¬sa¬ha. Keberpihakan pada masyarakat yang tidak diuntungkan secara ekonomi ini merupakan bentuk kepedulian Islam dalam rangka meminimalisir ketimpangan sosio-ekonomi yang diaki¬bat¬kan oleh konglomerasi oleh segelintir orang di berbagai bidang kehidupan khususnya bi¬dang ekonomi. <br />II. Pengertian Ekonomi Islam<br />Definisi ekonomi (economic) adalah suatu istilah yang dipakai untuk setiap tinda¬kan atau usaha atau proses yang bertujuan menciptakan barang-barang atau jasa-jasa yang dimaksudkan akan memenuhi atau memuaskan kebutuhan-kebutuhan manusia. Lebih khu¬sus, istilah ini dipakai untuk menggambarkan corak produksi barang-barang dan jasa-jasa dengan cara yang paling efektif dan sesuai dengan pengetahuan teknik yang sudah ada. <br />Sedangkan definisi ekonomi Islam, menurut Prof. M. Abdul Mannan, MA, Ph.D, ilmu ekonomi Islam merupakan il¬mu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. Sebagian ahli berpendapat bahwa ekonomi Islam merupakan sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari Al-Qur'an dan As-Sunnah dan merupakan ba¬ngu¬nan perekonomian yang didirikan atas landasan dasar-dasar tersebut sesuai dengan ling¬kungan dan masanya. <br />Definisi ekonomi Islam yang pertama menekankan pembahasannya pada masalah-masalah sosial, khususnya yang berkaitan dengan masalah-masalah ekonomi serta impli¬ka¬si-implikasi logis yang ditimbulkannya. Obyek kajian ekonomi Islam terhadap masalah ekonomi kerakyatan merupakan panduan etis dalam menjalankan peran dan fungsi ekonomi sebagai indikator pertumbuhan dan pemerataan menuju terciptanya kesejahteraan rakyat. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan mempunyai hak untuk menda¬patkan penghidupan yang layak sesuai dengan tingkat pertumbuhan di suatu negara. Kemudian rakyat juga berkewajiban ikut andil mensukseskan stabilitas ekonomi yang dirumuskan oleh ne¬ga¬ra. Untuk mengetahui hak dan kewajiban di bidang ekonomi, individu harus menge¬ta¬hui konstelasi di bidang ekonomi. Bagaimana mekanisme perputaran ekonomi, aliran uang (cash flow) dan barang. Perubahan yang pesat dalam bidang Iptek secara langsung ber¬pengaruh pada mekanisme pasar. Oleh karena itu dibutuhkan analisa mendalam bagaimana merumuskan konsep perekonomian yang berdasar pada tata-nilai islami.<br />Definisi ekonomi Islam kedua memberikan tekanan pada tataran nilai etis eko¬no¬mis. Salah satu prasayarat untuk menciptakan kondisi ekonomi yang stabil dibutuhkan rule of game yang fair. Al-Qur'an sebagai pandangan hidup (way of life) kaum muslimin mem¬berikan landasan etis-normatif di bidang perekonomian. Landasan etis-normatif tersebut kemudian diperjelas lagi oleh As-Sunnah , Ijmak dan Qiyas . Ketiga re¬fe¬rensi ini menjadi pijakan bagi para mujtahid dan para ekonom Islam untuk menyusun sejumlah rumusan sebagai panduan bagi aktifitas ekonomi yang relevan dengan transformasi sosial, budaya, politik dan keamanan.<br />III. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam<br />a. Keadilan ('Adâlah)<br />Misi keadilan adalah substansi dari ajaran Islam, sehingga Al-Qur'an be¬be¬rapa kali mengemas topik-topik yang berkaitan keadilan. Keadilan dalam Islam sangat universal, menyentuh seluruh aspek kehidupan. Dalam menyampaikan misi keadilan, Al-Qur'an tidak hanya memakai kata 'adl, tetapi juga memakai kata yang sinonim dengannya, yaitu qisth. Allah berfirman dalam surah an-Nisâ': 135<br />يآأيها الذين أمنوا كونوا قوامين بالقسط شهداء لله ولو على أنفسكم أو الوالدين والأقربين <br />Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu.<br />Ayat di atas membahas masalah keadilan dan persaksian. Kata 'adl adalah antitesa dari kata zhulm. Adil berarti menempatkan sesuatu pada proporsi yang relevan. Sikap adil adalah manifestasi dari kepribadian manusia yang berdasar pada nilai-nilai keimanan dan ketakwaan. Nilai-nilai keadilan merupakan fithrah dari Allah SWT, sehingga manusia senantiasa dituntut untuk mempertahankan eksistensi keadilan dalam semua bidang kehidupan, termasuk dalam bidang ekonomi. Sungguh berat menghadapi kemelut batin dalam diri (perang me¬lawan hawa nafsu) ketika dihadapkan pada pilihan yang bertentangan dengan nor¬ma-norma agama. Begitu juga ketika berhadapan dengan kedua orang tua atau famili. Berlaku adil kepada diri sendiri, kedua orang tua dan famili di bidang eko¬¬nomi berarti mencegah terjadinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme KKN.<br />Konsep keadilan di bidang ekonomi adalah perlindungan terhadap hak-hak individu. Setiap individu harus terbebas dari eksploitasi yang dilakukan oleh individu-individu lainnya. Islam dengan tegas melarang seorang muslim meru¬gi¬kan orang lain. Firman Allah dalam surat Asy-Syu'arâ: 183<br />ولا تبخسوا الناس أشياءهم ولا تعثوا فى الأرض مفسدين<br />Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan. <br />Konsep keadilan juga berarti pemerataan distribusi kekayaan. Ketidakadilan di bidang ekonomi melahirkan terjadinya konsentrasi kekayaan pada negara adi¬daya, kelompok kecil orang atau individu. Konsentrasi kekayaan (konglomerasi) merupakan bentuk konspirasi jahat antara para pengusaha dengan penguasa. Mengenai konglomerasi ini, Allah berfirman Allah dalam surat al-Hasyr: 7<br />...كي لا يكون دولة بين الأغنياء منكم...<br />...supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu...<br />Ayat tersebut di atas berbicara tentang pembagian harta benda fai, harta ram¬pasan yang diberikan Allah kepada kaum muslimin, tanpa melalui pertempuran yang berasal dari harta benda orang kafir. Pada suatu peristiwa, Rasulullah mem¬be¬¬¬rikan rampasan dari Bani Nadhir kepada orang-orang Muhajirin, karena waktu itu mereka adalah orang yang fakir. Sedangkan orang-orang Anshar tidak mene¬ri¬ma bagian apapun, sebab mereka dinilai lebih baik kondisi ekonominya diban¬ding¬kan orang Muhajirin. <br />Implementasi ayat tersebut oleh Rasulullah di lapangan, pertama, untuk men¬¬cipta¬kan kesejahteraan umum yang merata dan mampu bertahan dalam jangka panjang, serta diperlukan strategi yang memberikan perhatian yang seimbang an¬ta¬ra pertumbuhan dan pe¬merataan. Rasulullah memberikan contoh yang feno¬menal dengan melaksanakan strategi pertumbuhan yang berimbang, dengan hanya mem¬¬berikan fasilitas kepada kelompok yang pa¬ling lemah: Kaum Muhajirin. Feno¬mena kelompok Anshar adalah indikator pertum¬bu¬han, sedangkan kelompok Muhajirin adalah indikator pemerataan. Dengan memberikan fa¬silitas kepada Mu¬ha¬¬jirin, diharapkan mereka dapat berkembang seperti berkembangnya kaum An¬shar. Kedua, untuk melaksanakan strategi pertumbuhan seperti itu, diperlukan pe¬me¬rintahan yang adil, bijaksana dan konsisten dalam menjabarkan kebijakan di lapangan. <br />b. Solidaritas Sosial<br />Sistem perekonomian Islam dibangun atas dasar solidaritas sosial. Soli¬da¬ri¬tas sosial dalam Islam tercermin dari sikap tolong-menolong (gotong royong) antar sesama manusia dalam hal kebaikan. Dalam surat al-Ma'idah: 2 Allah SWT berfirman:<br />وتعاونوا على البر والتقوى ولا تتعاونوا على الإثم والعدوان<br />Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. <br />Ayat ini memberi spirit akan pentingnya tolong-menolong atau kerja sama dalam hal-hal yang bernilai posistif. Dalam bidang ekonomi, menurut Kunto¬wi¬joyo, ta'âwun itu dapat pula menjadi kaidah bagi persekutuan yang bersifat mikro, misalnya dalam satu pabrik atau perusahaan. Self management pekerja dan pemi¬likan asset-asset perusahaan oleh karyawan, akan meningkatkan tanggung jawab karyawan pada perusahaan, suatu hal yang sangat baik dalam era yang penuh kom¬petisi. Jadi ada ta'âwun antara pemilik modal dan pemrakarsa dengan karya¬wan. Ta'âwun yang bermula dari kaidah normatif, perlu dasar legal-rasional melalui proses demokratis. <br />Ta'âwun adalah sebuah upaya kreatif individu yang yang terpancar dari sisi-sisi kemanusiaan dan dilandasi oleh ajaran moral agama (Islam) terhadap individu lainnya. Melalui gerakan ta'âwun akan tercipta sinergi yang sangat potensial bagi terciptanya atmosphere ekonomi yang harmonis, selaras, serasi dan seimbang. Imple¬mentasi konsep Ta’awun yang cukup strategis yaitu mendistribusikan sebagian melalui ibadah zakat, infak, sha¬daqah dan hibah. Misi sosial yang terkandung dalam ibadah zakat, pada hake¬kat¬nya merupakan bentuk kepedulian Islam dalam rangka meminimalisir jumlah ke¬miskinan. Bagaimanapun juga, keberadaan ‘kumis’ (kumuh dan miskin) akan tetap menghiasi wajah du¬nia. Memotong kumis hingga habis tanpa bekas adalah sesuatu yanng mustahil. Sehingga yang bisa dilakukan adalah upaya maksimal meminimalisir tumbuhnya kumis. <br />Arti zakat dari segi bahasa adalah: persekutuan antara dua hal: berkembang dan kesucian (مشتركة بين النماء والطهارة). Ibadah zakat diwajibkan pada tahun kedua hijrah sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan. Ibadah zakat sekaligus mengan¬dung dua dimensi spiritual, yaitu ibadah personal dan sosial. <br />عن ابن عباس أن النبى صلى الله عليه وسلم بعث معاذا إلى اليمن فذكر الحديث وفيه: إن الله قدافترض عليهم صدقة فى أموالهم توءخذ من أغنيائهم فترد فى فقرائهم. (متفق عليه واللفظ للبخارى)<br /> Dari Ibnu Abbâs Nabi Saw. mengutus Mu'âdz ke Yaman seraya menyebutkan hadits sebagai berikut: Sesungguhnya Allah telah mewajibkan (bagi kaum muslimin) memberikan sedekah harta-hara mereka yang diambil dari para orang kaya untuk kemudian dikembalikan (diserahkan) kepada para orang fakir. <br />Harta merupakan titipan (amânah) dari Allah yang harus didistribusikan pada jalan yang diridhai-Nya. Manusia secara de facto memang memiliki keka¬yaan, tetapi secara de jure pemiliknya adalah Allah. Karena itu Allah mempunyai disposal right atas keka¬yaan. Pandangan Islam tentang kekayaan ini berbeda, baik dengan kapitalisme maupun sosialisme. Kapitalisme menjadikan individu sebagai pemilik de facto dan de jure, sedang¬kan sosialisme menyatakan bahwa se¬cara de facto dan de jure kolektifitaslah (negara, masyarakat) yang memiliki. Kapi¬talisme menganggap bahwa selfishness adalah sebuah virtue (nilai), sedangkan sosialisme justru altruism-lah yang paling bernilai. <br />Kesetiakawanan sosial lewat ibadah zakat menunjukkan kepedulian Islam terhadap masyarakat ekonomi lemah sangat tinggi. Sehingga Al-Qur'an se¬ringkali mengutip kata zakat setelah kata shalat. Firman Allah surat Al-Baqarah: 43<br />وأقيموا الصلاة وأتوا الزكاة واركعوا مع الراكعين<br />Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'.<br />Shalat merupakan bentuk ritual berdimensi vertikal antara individu dengan Allah. Sedangkan zakat mengandung dua dimensi yaitu vertikal dan horisontal. Untuk mencip¬ta¬kan harmonitas sosial, Allah mewajibkan ibadah shalat sebagai bentuk pengabdian seorang hamba kepada-Nya, dan mewajibkan zakat, di samping sebagai bentuk ketaatan kepada-Nya juga merupakan bentuk kepedulian individu terhadap kondisi lingkungan sosialnya. Oleh ka¬rena itu, sikap apatis si kaya terha¬dap kondisi lingkungannya merupakan tindakan tak bermoral dan keluar dari konteks manusia sebagai makhluk sosial. Lebih tragis lagi bila dengan kekayaan itu si kaya berani membayar mahal untuk sebuah status simbol, memberi makanan he¬wan-hewan piaraan kesayangan dengan minuman dan makanan bergizi. Sementara bayi-bayi di lingkungan tersebut tidak terpenuhi kebutuhan gizinya.<br />Skala prioritas dari misi dan orientasi zakat terfokus pada upaya mengu¬rangi angka kemiskinan. Khususnya memerangi "kemiskinan mutlak", yaitu mereka yang me¬ngalami kondisi kehidupan yang buruk karena pe¬nyakit, buta huruf, kekurangan gizi, dan kekumuhan sebagai korban-korban ka¬rena tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya. <br />Usia kemiskinan hampir sebaya dengan sejarah kehidupan manusia. Dan sepanjang sejarah, belenggu kemiskinan memunculkan implikasi sangat negatif, terlebih lagi jika kemiskinan terjadi karena program atau rekayasa individu terhadap sekelompok orang. Kerawanan-kerawanan sosial menjadi bom waktu yang me¬¬nge¬rikan. Orang-orang yang tertindas dan terpuruk dalam kemiskinan bisa mem¬bangun solidaritas laksanana kawanan srigala yang lapar mengejar mangsa.<br />c. Halâlan Thayyibâ<br />Prinsip Islam tentang halâlan thayyibâ (halal dan baik) merupakan panduan etis dalam dunia bisnis. Barang-barang yang diproduksi, diperjualbelikan haruslah barang-barang yang masuk dalam kategori diperbolehkan (halâl) dan baik (thayyib). Produsen dan penjual di tingkat agen maupun pengecer mendapatkan keu¬ntungan secara fair, tidak ada unsur penipuan dalam substansi maupun kom¬po¬sisi produk. Di samping itu hak-hak konsu¬men terlindungi dari praktek-praktek kotor yang dilakukan oleh produsen maupun penjual yang ingin mengeruk keun¬tungan yang sebesar-besarnya. Persaingan di pasar yang kian ke¬tat, memunculkan produk makanan, minuman, dan produk-produk baru lainnya yang sama sekali baru, baik produk import maupun domestik. Oleh karena itu kon¬su¬men harus jeli de¬ngan produk-produk yang dijual di pasar. Sebelum membeli se¬buah produk, konsumen hen¬daknya memeriksa komposisi yang tertera dalam kemasan. Apakah di dalamnya terkan¬dung hal-hal yang dilarang oleh agama, apakah barang dalam kondisi baik, belum melam¬paui masa kadaluwarsa dan cocok untuk dikonsumsi. Mengenai barang-barang yang rusak atau cacat, pembeli mempunyai hak untuk mengembalikan kepada penjual atau menga¬dukan (complain) kepada pihak produsen. Dalam hal ini ulama Syafi'iyyah berpendapat:<br />إن كان بعض المبيع فاسدا لاينتفع به وبعضه غير فاسد ينتفع به، كان للمشترى الحق فى رده وأخذ ثمنه كاملا، بدون أن يلزم بشئ عما أحدثه فيه من التغيير، لأن له العذر فى ذلك حيث لا يمكنه معرفته إلا بكسره.<br />Apabila sebagian barang yang dijual (telah dibeli oleh konsumen) dalam kondisi rusak, tidak dapat berfungsi dan sebagian dapat berfungsi dengan baik, maka pembeli mempunyai hak untuk mengembalikan barang (complain) dan meminta kembali harga barang (yang telah dibayarkan) dengan utuh, tanpa dibebani kewajiban atas perubahan yang terjadi pada barang, karena dia dalam posisi terhalang sehingga tidak memungkinkan baginya untuk mengetahui kondisi barang kecuali dengan cara memecahkannya (membuka kemasan). <br />Meskipun apa yang tertera dalam kemasan bukan jaminan, setidaknya konsumen sudah bertindak hati-hati untuk menghindari diri dari mengkonsumsi makanan maupun minuman yang dilarang oleh agama (ingat kasus Ajinomoto yang menghebohkan itu). Firman Allah dalam surah al-Baqarah: 172<br />يآأيهاالذين أمنوا كلوا من طيبات مارزقناكم واشكروا لله إن كنتم إياه تعبدون <br />Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah.<br />Dalam sistem ekonomi Islam, produk barang baik makanan, minuman harus termasuk dalam kategori barang yang sah (diperbolehkan) dan thayyib (baik) untuk diperjualbelikan maupun dikonsumsi. Firman Allah dalam surah al-Baqarah: 173<br />إنماحرم عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وماأهل به لغير الله فمن اضطر غير باغ ولا عاد فلا إثم عليه إن الله غفور رحيم<br />Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. <br />Tiga golongan pertama dilarang karena hewan-hewan ini berbahaya bagi tubuh, yang berbahaya bagi tubuh tentu berbahaya pula bagi jiwa. Menurut jumhur ulama, yang dimaksud dengan keharaman bangkai yaitu الإ نتفاع بها بأكل أو غيره, mengambil manfaat dengan mengkonsumsi atau lainnya (menjual, pen). <br />Thayyibâ berarti bahwa makanan yang dikonsumsi maupun dijual harus baik dan cocok untuk dimakan, tidak kotor, menjijikkan sehingga merusak selera. Karena itu tidak semua yang diperkenankan boleh dimakan dan diminum dalam semua keadaan. <br />IV. Identitas Ekonomi Islam<br />a. Kebebasan Individu dalam berusaha<br />Setiap individu mempunyai kebebasan dalam berpikir, bertindak dan ber¬sikap. Allah menciptakan segala apa yang ada di bumi adalah untuk kesejahteraan seluruh manusia. Manusia diberi kebebasan mengelola, membudidaya sumber¬da¬ya alam yang dikaruniakan oleh Allah sesuai dengan tingkat kemampuan dan kecerdasan mereka. Firman Allah dalam surat al-Baqarah: 29 <br />هو الذى خلق لكم مافى الأرض جميعا...<br />Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu... <br />Namun kebebasan tersebut dibatasi oleh etika-etika Islam. Sebab kebebasan yang berlebihan dan keluar dari konteks kemanusiaan berakibat fatal bagi kelangsungan ekosis¬tem alam. Eksploitasi sumber daya alam seperti eksploitasi hutan secara besar-besaran oleh perusahaan-perusahaan yang mendapatkan Hak Pengelolaan Hutan (HPH) dari pemerintah, sehingga hutan menjadi gundul dan berdampak erosi dan bahaya bencana banjir. <br />Kebebasan manusia dalam berusaha menempati posisi yang mulia dalam Islam. Kebebasan berusaha (Ihtiyâr) merupakan implementasi dari peran manusia sebagai khalifah Allah yang memegang amanah di bumi. Sebagai makhluk yang dibekali dengan kecerdasan (akal), memungkinkan manusia untuk berusaha sesuai dengan kemampuan yang dimiliki¬nya. Dalam Islam, usaha yang bermuatan positif adalah termasuk dalam kategori ibadah. Sekecil apapun usaha yang dilakukan oleh individu akan tampak hasilnya di kemudian hari. Firman Allah dalam surah an-Najm: 39-42 <br />وأن ليس للإنسان إلا ماسعى، وأن سعيه سوف يرى، ثم يجزيه الجزاء الأوفى، وأن إلى ربك المنتهى<br />Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah di¬usahakannya. Dan bahwasannya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepa¬da¬nya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, dan bahwasannya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu).<br />Ayat tersebut di atas mengisyaratkan akan pentingnya sebuah 'proses'. Ke¬mu¬dian di dalam proses ada tahapan-tahapan. Di dalam tahapan-tahapan ada skala-skala prioritas. Untuk mencapai kesuksesan dalam usaha, seseorang harus berproses le¬wat usaha keras yang dijalani dengan penuh kesungguhan dan tawakkal (menye¬rahkan sepenuhnya apa yang telah diusahakan kepada Allah SWT). Usaha yang di¬lakukan individu adalah proses untuk mencapai sesuatu, baik yang berupa mate¬ri seperti kekayaan maupun yang immateri seperti penghargaan, status simbol.<br />Kebebasan manusia dalam aktifitas ekonomi yang paling utama adalah un¬tuk memenuhi kebutuhan primer (primary need) yang meliputi: pakan (makan) sandang (pakaian), papan (rumah/tempat tinggal), kesehatan dan pendidikan. Namun dalam Islam, bekerja tidak hanya sekedar untuk memenuhi unsur-unsur material, melainkan ada nilai transendental yaitu bahwa bekerja merupakan ibadah. Hal ini sebagaimana kaidah ushûliyyah: لا يتم الواجب المطلق إلا به فهو واجب.<br />Islam mengakui pandangan universal bahwa kebebasan individu bersing¬gu¬ngan atau dibatasi oleh individu lain. Menyangkut masalah hak individu dalam kaitannya dengan masyarakat, para sarjana muslim sepakat pada prinsip-prinsip sebagai berikut: <br />1. Kepentingan masyarakat yang lebih luas harus didahulukan dari kepentingan pribadi.<br />2. Melepas kesulitan harus diprioritaskan dibanding memberi manfaat (درء المفاسد مقدم على جلب المصالح) meskipun keduanya sama-sama merupakan tujuan syari'ah.<br />3. Kerugian yang lebih besar tidak dapat diterima untuk menghilangkan yang le¬bih kecil. Manfaat yang lebih besar tidak dapat dikorbankan untuk manfaat yang lebih kecil. Sebaliknya, bahaya yang lebih kecil harus diterima/¬di¬ambil untuk menghindarkan bahaya yang lebih besar, sedangkan manfaat yang lebih kecil dapat dikorbankan untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar. <br />Maka dalam hal ini kebebasan yang melekat pada manusia adalah kebebasan yang relatif, terkait dengan keberadaan alam raya dan seisinya, termasuk di dalamnya adalah komunitas manusia. Stigma pelupa, lemah, keluh kesah yang melekat pada manusia cukup memberikan kesimpulan bahwa kebebasan manusia adalah limited. Sebab segala sesuatu yang unlimited sepenuhnya berada di sisi Allah SWT. <br />b. Hak Milik Pribadi <br />Kebebasan manusia untuk mencari rizki yang halal pada tahap tertentu melahirkan hak milik pribadi. Islam memberikan pembenaran terhadap individu untuk memiliki asset sejumlah tertentu yang diperoleh berdasarkan pengetahuan, kemampuan (skill) yang dimiliki individu dengan jalan yang halal. Firman Allah surat al-Baqarah: 188<br />ولاتأكلوا أموالكم بينكم بالباطل وتدلوا بها إلى الحكام لتأكلوا فريقا من أموال الناس بالإثم وأنتم تعلمون<br />Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. <br />Ayat di atas merupakan larangan memakan harta dengan jalan yang batil. Juga menyinggung praktek-praktek memperkaya diri dengan ber¬sem¬bunyi di balik jubah hukum. Menyelesaikan perkara melalui jalur pengadilan pada hakikatnya adalah un¬tuk mencari solusi penyelesaian yang adil dan cermin kesadaran warga negara yang taat pada hukum. Namun ketika hukum tunduk kepada kepentingan, maka keputusan yang diam¬bil berda¬sarkan order dari pihak-pihak yang berkuasa baik secara materi maupun posisi. <br />Dalam bidang ekonomi, salah satu sarana untuk memperoleh hak milik ada¬lah melalui usaha perdagangan (bussiness) secara fairplay. Firman Allah surat an-Nisâ': 29<br />يأيهاالذين أمنوا لاتأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم ولا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما<br />Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu. <br />Ayat di atas merupakan penegasan larangan memakan harta orang lain dengan cara yang batil, seperti mencuri, menipu, memeras. Menurut Syekh Muhammad 'Abduh, kata al-bâthil adalah lawan kata atau antitesa dari al-haqq (أن الباطل هو ما يقابل الحق ويضاده) . <br />Ayat tersebut juga memberi solusi untuk memperoleh harta, yaitu berasal dari ni¬lai keuntungan (profit value) dari sebuah usaha dagang (bussiness) yang berlangsung de¬ngan prinsip saling menguntungkan, tidak merugikan salah satu pihak. Kepemilikan pribadi dari hasil yang merugikan orang lain adalah sama dengan menari di atas penderitaan orang lain. Di samping itu, memakan harta yang bukan haknya juga berpengaruh kepada kejiwaan, sehingga tidak ada ketenteraman dan keseimbangan dalam kehidupan. Yang tergambar dalam pikiran adalah "besok makan di mana, menginap di mana, dengan siapa" dan merancang agenda "besok makan siapa". Hal ini sangat kontras dengan keluhan si miskin “besok makan apa dan bagaimana cara memperolehnya”.<br />Hak milik pribadi dalam Islam bukanlah sesuatu yang mutlak. Karena pada hake¬katnya alam raya dan seisinya adalah kepunyaan Allah. Manusia diberi ke¬per¬cayaan (amânah) untuk mengelola dengan sebaik-baiknya sehingga semakin ber¬kembang dan bisa dimanfaatkan oleh sesamanya. Firman Allah surat al-Mâidah: 120<br />لله ملك السموات والأرض وما فيهن وهو على كل شئ قدير<br />Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. <br />Jadi pada hakekatnya manusia tidak mempunyai apa-apa karena segala apa yang ada dalam alam raya dan seisinya adalah kepunyaan Allah. Sehingga milik pribadi yang berada dalam kekuasaan individu di dalamnya terdapat hak individu lainnya. Firman Allah surat adz-Dzâriyât: 19<br />وفى أموالهم حق للسائل والمحروم<br />Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian.<br />Menurut riwayat, ayat ini turun ketika Rasulullah mengirim pasukan bersen¬ja¬ta. Dalam pertempuran, pasukan Rasulullah mendapat kemenangan dan ghanî¬mah. Setelah selesai peperangan datanglah orang-orang miskin meminta bagian¬nya. Ayat ini merupakan penegasan bahwa pada harta ghanîmah terdapat bagian kaum fakir miskin. <br />Karena hak milik pribadi dalam Islam tidak bersifat mutlak, maka harta yang berada dalam kekuasaan individu mempunyai fungsi sosial. Fungsi-fungsi sosial yang ber¬si¬fat karitatif itu antara lain seperti zakat, shadaqah, hibah, waqaf. Program zakat terutama ber¬tu¬ju¬an meminimalisir angka pengangguran dan kemis¬ki¬nan. Meskipun peranan zakat belum mam¬pu mengatasi tingkat kemiskinan yang terus membengkak, bukan berarti peranan zakat tidak efektif. Pro¬ble¬matika sosial yang sangat kompleks, membu¬tuh¬kan ana¬lisa dan identifikasi ma¬salah secara akurat, faktual dan komprehenship. Sehingga muncul for¬mulasi ba¬¬ru tentang bentuk institusi dan manajemen zakat yang betul-betul berhasil-guna dan berdayaguna meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan di bidang ekonomi. <br />V. Kesimpulan<br />1. Runtuhnya Sosialisme dan hegemoni Kapitalisme terhadap perekonomian dunia terbukti gagal menciptakan kesejahteraan (falâh) bagi umat manusia. Sehingga sistem perekonomian Islam menjadi alternatif setelah gagalnya kedua sistem tersebut. <br />2. Sistem perekonomian Islam berlandaskan pada Al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas yang memberikan guidence tentang prinsip-prinsip keadilan (‘adâlah), solidaritas sosial, halâlan thayyibâ.<br />3. Dalam pandangan Islam, aktivitas manusia dalam bidang ekonomi yang bertujuan membangun kemashlahatan merupakan aktivitas yang bernilai ibadah. <br />4. Kepemilikan yang berada dalam genggaman manusia adalah kepemilikan muqayyad (limited), karena kepemilikan muthlaq (unlimited) sepenuhnya berada dalam kekuasaan Allah SWT. <br />5. Kekayaan yang dimiliki seseorang tidak mungkin terwujud tanpa adanya faktor pendukung berupa keterlibatan berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung. Sehingga menjadi kewajiban individu muslim yang mendapat anugerah kekayaan untuk mendistribusikan kekayaannya melalui aksi sosial yang karitatif dalam bentuk program zakat, infaq, shadaqah, hibah, waqaf, kepada pihak-pihak yang tidak diuntungkan secara materi. Aksi ini sangat strategis dalam rangka meminimalisir angka pengangguran, kemiskinan menuju terciptanya tatanan sosial yang harmonis, selaras, serasi dan seimbang sebagaimana cita ideal yang menjadi misi suci Islam.© <br /><br /><br />Daftar Pustaka<br /><br />Abduh, Muhammad, Tafsîr al-Manâr, (Mesir: Math'ba'ah Qâhirah, 1380 H.) cet. IV, juz 5<br />Abdurachman, A, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan, Jakarta: Yayasan Prapanca, 1963<br />Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995<br />Antonio, Muhammad Syafi'i, Bank Syari'ah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, cet. II<br />Assal (Al), Ahmad Muhammad, dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1999, cet. I<br />Badawi, A. Zaki, A. Dictionary of the Social Sciences English, French, Arabic (معجم مصطلحات العلوم الاجتماعية) Beirut: Maktabah Lubnan, 1978, cet. I. <br />Basri, Faisal H., Ekonomi Indonesia Menjelang Abad XXI: Distorsi Peluang dan Kendala, Jakarta: Erlangga, 1995, cet. I<br />Brewer, Anthony, Kajian Kritis Das Kapital Karl Marx, Jakarta: Teplok Press, 2000, cet.II<br />Bukhari (Al), Shahih Bukhari, Semarang: Thoha Putra <br />Chapra, M. Umer, Islam dan Pembangunan Ekonomi, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, cet. I<br />Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Medinah Munawwarah: Khadim al Haramain as Syarifain li Thiba'at al Mush-haf, 1411 H.<br />Haroen, Nasrun, Perdagangan Saham di Bursa Efek Tinjauan Hukum Islam, Ciputat: Kalimah, 2000, cet. I<br />Kamali, Muhammad Hashim, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, cet. I<br />Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1999, cet. III<br />Mannan, M. Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1997.<br />Saleh, Qamaruddin, et. al., Asbabun Nuzul, (Bandung: CV Diponegoro, tt.), cet. II.<br />Suseno, Franz Magnis, Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001, cet. V<br />Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995, cet. I.<br />Weber, Max, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, Surabaya: Pustaka Promothea, 2001, cet. II<br />Zawawi, Ali, dan Saifullah Ma'shum, Penjelasan Al-Qur'an tentang Krisis Sosial, Ekonomi dan Politik, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, cet. I.<br /><br /><br />Menguak tirai pagi<br />Jakarta, 11 Pebruari 2004<br />Pukul 4.24 WIB. <br /> </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3698954706276362070.post-68298546710331306962009-01-28T22:00:00.000-08:002009-01-28T22:46:53.083-08:00MUHKAMÂT DAN MUTASYÂBIHÂT<span style="font-weight:bold;">(المحكمات والمتشابهات)</span><br />Oleh: Nur Rosihin Ana<br /><br /><br />A. Pendahuluan<br /><br />Al-Qur’an adalah kalâm Allah yang diturunkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril. Dalam rentang waktu sejak al-Qur’an diturunkan, berbagai diskursus yang menyangkut berbagai aspek dalam al-Qur’an terus dilakukan sampai sekarang, sehingga menghasilkan khazanah disiplin ilmu-ilmu al-Qur’an (‘ulûm al-Qur’ân).<span class="fullpost"><br /><br />Diibaratkan lautan teduh, al-Qur’an tidak akan pernah kering ditimba, meskipun pasokan distribusi hujan dari langit sudah terhenti sama sekali. Keindahan panorama laut senantiasa menarik minat para wisatawan untuk menghirup pesonanya. Para pecinta lingkungan hidup penuh dedikasi dan keikhlasan menjaga kelestarian ekosistem laut dari pencemaran. Para ilmuwan dengan teliti melakukan riset untuk mengkaji materi kelautan. Sementara hamparan lautan membentang luas, kandungannya sangat majemuk, namun semuanya dalam kesatuan integral ekosistem laut. Kejernihan air di laut seringkali melahirkan persepsi, interpretasi yang keliru ketika dilihat secara kasat mata. Misalnya dari tanjung terlihat dasar laut yang dangkal, padahal kedalamannya lebih dari lima meter. Oleh karena itu, untuk mengetahui akumulasi materi kelautan, dibutuhkan beberapa instrumen, metodologi pendekatan yang relevan. Pola-pola pendekatan lama seperti terjun bebas tanpa bantuan perlengkapan alat pernafasan, oksigen, kacamata selam, kurang mendapatkan hasil optimal karena keterbatasan stamina tubuh menahan nafas, jarak pandang terlampau dekat sehingga obyek di dasar laut yang ditangkap oleh mata pun terbatas. Bahkan telah dikem¬bangkan teknologi kapal selam mini berpenumpang 1-2 orang yang dilengkapi perangkat digital canggih untuk memotret, mendeteksi, menganalisis kehidupan di dasar laut.<br />Proses yang kurang optimal karena keterbatasan instrumen dan metodologi tersebut, membuahkan output yang bias dan mengacaukan logika akal sehat. Apalagi bila output tersebut menjadi referensi para pemerhati lingkungan dan kalangan akademisi. Lebih tragis lagi adalah ketika terjadi penyimpangan esensial dalam melakukan interpretasi. Misalnya ketika berada di dasar laut tampak binatang kecil, badanya membentuk huruf S dan berkepala kuda (kuda laut). Namun karena keterbatasan cara pandang sehingga timbul interpretasi huruf S itu identik dengan $, symbol mata uang dollar Amerika karena di lokasi itu terdapat bangkai kapal Amerika yang tenggelam akibat agresi Jepang dalam peristiwa Pearl Harbour. Begitu juga misalnya penyelam melihat obyek yang menyerupai hewan raksasa tergolek di dasar lautan. Setelah penyelam kembali ke permukaan dia membuat interpretasi bahwa ada ikan paus raksasa sedang melahirkan. Padahal itu adalah kapal selam milik Rusia yang tenggelam karena baling-balingnya dihantam rudal Amerika. Oleh karena itu, analisa komprehenship (jâmi’ dan mâni’), didukung instrumen, akurasi data dan metodologi pendekatan yang relevan merupakan prasyarat yang harus dipenuhi untuk menangkap kata-kata dalam ayat al-Qur’an yang menyimpan makna tersembunyi atau bermakna ganda, sehingga tidak terjadi deviasi dalam interpretasi. <br />B. Pengertian Muhkamât dan Mutasyâbihât<br /><br />Kata Muhkamât adalah bentuk plural dari kata muhkam yang merupakan isim maf’ul (passive participle) dari kata ahkama dan berasal dari akar kata dasar hakama yang artinya: mengatur, memim¬pin, memerintahkan, mendekritkan, menitahkan, memutuskan. Kata-kata yang berasal dari akar kata hakama disebut sebanyak 210 kali dalam al-Qur’an. Kata Mutasyâbihât ber¬asal dari kata dasar syabaha yang artinya: mirip, sama, serupa. Kata-kata yang berasal da¬ri akar kata syabaha disebut sebanyak 12 kali, disebut sebanyak tiga kali dalam surat Al-Baqarah; dua kali dalam surat Ali Imrân; surat An-Nisâ’; empat kali dalam surat Al-An’âm; surat Ar-Ra’du; dan surat Az-Zumâr. Sedangkan ayat al-Qur’an yang berbicara mengenai muhkamat dan mutasyabihat terdapat dalam surat Ali Imran (3): 7<br />هو الذى أنزل عليك الكتب منه ءايت محكمت هن أم الكتب وأخر متشبهت فأماالذين فى قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشبه منه ابتغآء الفتنة وابتغآء تأويله ومايعلم تأويله إلا الله والرسخون فى العلم يقولون ءامنا به كل من عند ربنا وما يذكر إلا أولوا الألبب <br />Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.<br /> <br />Ayat di atas memberikan ilustrasi bahwa ayat-ayat yang terkandung dalam al-Qur’an terbagi menjadi dua kategori yaitu Muhkamat dan Mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat adalah (أم الكتاب ) ummul kitâb/induk kitab suci ini. Kata ( أم ) um terambil dari akar kata yang bermakna “dituju/menjadi arah”. Ibu dinamai um karena ibu adalah arah yang dituju oleh anak. Imam adalah arah yang dituju oleh yang mengikutinya, sehingga mereka tidak melangkah sebelum sang imam melangkah. Makmum tidak boleh ruku’ sebelum imamnya ruku’, tidak pula sujud sebelum sang imam sujud. Ayat-ayat al-Qur’an yang masuk dalam Um al-Kitab, atau dengan kata lain ayat-ayat muhkamat, adalah yang kepadanya merujuk segala ketetapan serta menjadi penjelas terhadap ayat-ayat lain yang bersifat mutasyabihat, yakni yang samar artinya, sehingga memerlukan keterangan dan penjelasan tambahan. <br />Kata um berbentuk tunggal, sedang ayat-ayat muhkamat banyak, dan karena itu ayat ini menunjuk ayat-ayat tersebut dalam bentuk jamak ( هن ) hunna/mereka untuk menunjukkan bahwa kedudukannya sebagai induk bukan dalam keberadaan ayat-ayat itu secara berdiri sendiri, tetapi secara keseluruhan. Al-Biqa’i menulis bahwa, “karena sesuatu yang muhkam merupakan sesuatu yang sangat jelas sahingga keterikatan satu ayat dengan yang lain atau pemahaman arti satu ayat dengan ayat yang lain sedemikian mudah, maka ayat-ayat yang muhkam yang banyak itu diperlukan sebagai satu kesatuan, dan dengan demikian ayat-ayat mutasyabih dengan mudah pula dirujuk maknanya kepada ayat-ayat muhkam itu. Ini mudah bagi yang pengetahuannya mendalam serta tulus niatnya”. <br />Ayat-ayat Muhkamât yaitu yang kandungannya jelas, sehingga hampir-hampir tidak lagi dibutuhkan penjelasan tambahan untuknya, atau yang tidak mengandung makna selain yang terlintas pertama kali dalam benak. Ada juga yang memahami ayat-ayat muhkamât dalam arti ayat-ayat yang mengandung perintah melaksanakan sesuatu atau larangan. <br />Sedangkan ayat-ayat Mutasyâbihât yaitu bila ada ayat-ayat yang serupa (makna) dengan yang lain. Kata ini (mutasyâbih) dalam penggunaannya, seringkali menunjuk kepada keserupaan dua hal atau lebih yang menimbulkan kesamaran dalam membedakan ciri masing-masing. Jadi yang dimaksud dalam hal ini adalah ayat-ayat yang mengandung kesamaran dalam maknanya. Sementara ulama berpendapat bahwa kesamaran itu muncul karena:<br /><br />1. Salah satu kata yang digunakan tidak popular di kalangan pendengarnya. Seperti jika Anda berbicara kepada seseorang di pedesaan yang tidak mengerti satu suku kata yang bisa jadi popular di kota tempat Anda. Kata (ابا ) abban dalam QS. ‘abasa (80): 31, tidak diketahui artinya oleh Umar Ibn Khatthab ra., sehingga ayat itu –pada mulanya- buat beliau adalah mutasyâbih. Termasuk dalam bagian ini –menurut banyak ulama- huruf-huruf yang terdapat pada awal surah-surah tertentu, seperti Alif Lâm Mîm. <br />2. Kata yang digunakan mempunyai arti yang bermacam-macam, seperti kata (قروء) qurû’ yang dapat berarti “suci” dan dapat juga berarti “haid”. Nah, yang manakah yang dimaksud oleh ayat al-Baqarah (2): 228, yang memerintahkan wanita yang dicerai agar menanti tiga qurû’? Ulama berbeda pendapat akibat kesamaran tersebut.<br />3. Makna yang dikandungnnya tidak jelas, seperti ayat-ayat yang berbicara tentang persoalan metafisika, nama atau sifat-sifat Allah, dan lain-lain. Apa makna “tangan Allah” atau “wajah-Nya” dan lain-lain? sekali lagi, di sini pun terdapat perbedaan. <br /><br />Ada ulama yang membagi mutasyâbih dalam tiga kelompok ayat:<br />1. Ayat-ayat yang kandungannya mustahil diketahui manusia, seperti ayat-ayat yang berbicara tentang sifat-sifat Allah, waktu kedatangan hari kiamat, dan semacamnya.<br />2. Ayat-ayat yang dapat diketahui melalui penelitian seksama, seperti ayat-ayat yang kandungannya bersifat umum, atau yang kesamarannya lahir dari singkatnya redaksi dan atau susunan kata-katanya.<br />3. Ayat-ayat yang hanya diketahui oleh para ulama yang sangat mantap pengetahuannya dengan melakukan penyucian jiwa. Ayat-ayat semacam ini tidak dapat terungkap maknanya hanya dengan menggunakan nalar semata-mata.<br /><br />Allah SWT tidak menentukan yang mana ayat mutasyâbih dan mana pula yang muhkam. Bahkan dalam kenyataannya, ada ayat yang oleh sementara ulama dinilai muta¬syâbih, sedang ulama yang lain menilainya muhkam, demikian juga sebaliknya. Karena itu, agaknya tidak keliru bila dikatakan bahwa ayat-ayat mutasyâbih antara lain bertujuan untuk mengantar setiap muslim berhati-hati ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. <br />Di sisi lain, adanya tiga kelompok ayat-ayat yang mutasyabih seperti dikemuka¬kan ini, bertujuan -sekurang-kurangnya bagi kelompok yang pertama- untuk menyadar¬kan manusia tentang keterbatasan ilmu mereka, di samping menjadi semacam ujian ten¬tang kepercayaan manusia terhadap informasi Allah SWT. Sementara itu, untuk ayat-ayat kelompok kedua dan ketiga, ia dapat merupakan dorongan untuk lebih giat melakukan pem¬bahasan dan penelitian, sekaligus untuk menunjukkan peringkat pengetahuan dan kedudukan ilmiah seseorang. <br /> <br />C. Ayat-ayat Muhkamât (definitif)<br />Firman Allah dalam surat ‘Ali Imran ayat 7 merupakan signal bahwa dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang muhkamat dan mutasyabihat. Namun Allah tidak merinci ayat-ayat yang masuk dalam kategori muhkamat dan mutasyabihat, sehingga muncul beberapa perbedaan pendapat di kalangan ulama. <br />Menurut Abu ‘Utsman: al-muhkam yaitu fâtihatu al-kitâb (surat al-fatihah) karena fâtihatu al-kitâb merupakan bagian dari shalat. Menurut Muhammad ibn Fadhl, al-muh¬kam yaitu surat al-Ikhlash karena surat ini hanya menyinggung masalah tauhid. Ada pen¬dapat yang mengatakan, seluruh ayat al-Qur’an itu muhkam sebagaimana firman Allah surat Hûd ayat 1: الر كتاب أحكمت اياته, Alif Laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci. Maksudnya diperinci atas beberapa macam, ada yang mengenai ketauhidan, hukum, kisah, akhlak, ilmu pengetahuan, janji dan peringatan dan lain-lain. <br />Ada pula yang mengatakan sebaliknya, al-Qur’an itu seluruhnya mutasyabih sebagaimana firman Allah surat al-Zumar ayat 23: كتابا متشابها . Sedangkan menurut Ibn Abbas, ayat-ayat yang muhkamat yaitu firman Allah surat al-An’âm ayat 151: قل تعالوا أتل ما حرم ربكم عليكم dan tiga ayat berikutnya, dan firman Allah yang berkaitan dengan Bani Israil surat al-Isrâ ayat 23: وقضى ربك ألا تعبدوا الا اياه وبالوالدين احسانا. <br /><br />D. Ayat-ayat Mutasyâbihât (spekulatif) <br />Kata-kata dalam al-Qur’an yang mutasyabih misalnya: <br />1. Kata abba (أبّا ) dalam surat ‘Abasa (80): 31 Allah berfirman:<br />وفكهة وأبا<br />dan buah-buahan serta rumput-rumputan,<br /><br />Kata abba dalam ayat sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Anas bahwa pada waktu Umar Ibn Khatthab ra membaca surat ‘Abasa, Umar mengetahui seluruh arti kata-kata dalam surat ini kecuali kata abba. Suatu kata seringkali terdengar asing (gharîb) di telinga seseorang atau komunitas masyarakat karena tidak dikenal dan tidak dipakai dalam komunitas tersebut. Misalnya kata oyong (nama sayuran) bukanlah kata yang asing bagi sebagian besar ibu-ibu rumah tangga di Jakarta. Namun kata tersebut sangat asing di telinga masyarakat Jawa Tengah karena di daerah-daerah Jawa Tengah nama sayuran oyong dikenal dengan nama-nama: gambas, cmt, mm, trms. <br /><br />2. kata قروء dalam surat al-Baqarah (2): 228:<br />والمطلقت يتربصن بأنفسهن ثلثة قروء...<br />Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru…<br /><br />Lafazh قروء adalah bentuk jama’ dari قرء , menurut Imam Syafi’i kata ini berarti الطهر (suci), sedangkan menurut Imam Hanafi berarti الحيض (menstruasi). Karena adanya kon¬tro¬versi, dimana kata ini mempunyai makna konotatif dan kontradiktif sehingga menim¬bulkan implikasi hukum yang berbeda. Artinya, menurut Imam Syafi’i, perempuan (sudah digauli) yang dicerai suaminya hendaknya menunggu sampai tiga kali masa suci. Sedangkan menurut Imam Hanafi, perempuan tersebut menunggu sampai tiga kali menstruasi. <br /><br />4. Kata يد Dalam surat al-Mâidah (5): 64 <br />وقالت اليهود يد الله مغلولة...<br />Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu",… <br /> <br />Kataيد dalam ungkapan bahasa Arab berarti: 1). Anggota badan, tangan (الجارحة), firman Allah surat Shâd ayat 44: وخذ بيدك ضغثا , Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput); 2) Kenikmatan (النعمة), orang Arab bilang: كم يد لى عند فلان، أي كم من نعمة لى قد أسديتها له ; 3). Kekuatan (القوة), surat Shâd ayat 17: واذكر عبدنا داود ذاالأيد، أي ذاالقوة , dan ingatlah hamba Kami Daud yang mempunyai kekuatan; 4. Kekuasaan (الملك والقدرة) firman Allah surat Ali Imrân ayat 73: قل ان الفضل بيد الله يؤتيه من يشآء ; 5) Anugerah, pemberian (صلة) surat Yâsin 71: ...مما عملت ايدينا...، أي مما عملنا نحن ; 6). Penguatan, advokasi, bantuan (التأييد والنصرة), Nabi Muhammad SAW bersabda: يد الله مع القاضى حتى يقضي والقاسم حتى يقسم . <br /><br />Dalam surat al-Fath (48): 10<br />إن الذين يبايعونك إنما يبايعون الله يد الله فوق أيديهم...<br />Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka,… <br /><br />4. Kata وجه , Firman Allah surat al-Baqarah (2): 115<br />ولله المشرق والمغرب فأينما تولوا فثم وجه الله...<br />Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah…<br /> <br /> Al-Thabari menyebutkan bahwa ayat ini turun berkenaan tentang suatu kaum suatu ketika tidak dapat melihat arah kiblat yang tepat, sehingga mereka shalat ke arah yang berbeda-beda. Menurut Ibn Abbas, ayat ini di-naskh (mansukhah) dengan surat al-Baqarah: 144, وحيث ما كنتم فولوا وجوهكم شطره . Diriwayatkan dari Mujahid dan Dhahak, bahwasannya ayat ini muhkam, artinya, di mana saja kamu berada, baik di timur maupun barat, di situlah wajah Allah dan kita diperintahkan untuk menghadap ke arah ka’bah. Sebab antara timur dan barat terdapat kiblat, sebagaimana sebuah hadits riwayat Abi Hurairah: عن ابى هريرة قال، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم، مابين المشرق والمغرب قبلة لأهل المدينة واهل الشام واهل العراق. <br />Firman Allah surat al-Baqarah (2): 272<br />ليس عليك هدهم ولكن الله يهدى من يشآء وما تنفقوا من خير فلأنفسكم وما تنفقون إلا ابتغآء وجه الله... <br />Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah… <br /><br />Firman Allah surat Ali ‘Imran (3): 72<br />وقالت طآئـــفة من أهل الكتب ءامنوا بالذى أنزل على الذين أمنوا وجه النهار واكفروا ءاخره لعلهم يرجعون<br />Segolongan (lain) dari Ahli Kitab berkata (kepada sesamanya): "Perlihatkanlah (seolah-olah) kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang mu'min) kembali (kepada kekafiran).<br /><br /> Ayat ini diturunkan berkaitan dengan Ka’b ibn Asyraf, Malik ibn al-Shaf dan lainnya, mereka berkata untuk merendahkan kaumnya: "Perlihatkanlah (seolah-olah) kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada wajah siang ( وجه النهار ), maksudnya permulaan siang (أوله ). Dengan demikian interpretasi dari wajah siang ( وجه النهار ) dalam ayat ini berarti permulaan siang (أول النهار ).<br /><br />Firman Allah Surat Yusuf (12): 9<br />اقتلوا يوسف أواطرحوه أرضا يخل لكم وجه أبيكم وتكونوا من بعده قوما صلحين<br />Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu daerah (yang tak dikenal) supaya perhatian ayahmu tertumpah kepadamu saja, dan sesudah itu hendaklah kamu menjadi orang-orang yang baik."<br /><br />Firman Allah surat Yusuf (12): 93<br />اذهبوا بقميصى هذا فألقوه على وجه أبى يأت بصيرا وأتونى بأهلكم أجمعين<br />Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah dia ke wajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali; dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku".<br /><br /><br /><br />Firman Allah surat ar-Ra’d (13): 22<br />والذين صبروا ابتــغآء وجه ربهم...<br />Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, <br />Firman Allah surat ar-Rûm (30): 38<br />فــئات ذاالقربى حـقه والمسكين وابن السبيل ذلك خـــــير للذين يريدون وجه الله وأولئك هم المفلحون<br />Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang beruntung.<br /><br />Firman Allah surat ar-Rûm (30): 39<br />ومآ ءاتيــتم من ربا ليربوا فى امول الناس فلا يربوا عند الله ومآ ءاتيـــتم من زكــوة تريدون وجه الله فأولئك هم المضعفون <br />Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).<br /><br />Firman Allah surat ar-Rahman (55): 27<br />ويبــقى وجه ربك ذوالجـــــلل والإكــرام<br />Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.<br /><br /> Kata wajah (وجه ) dalam ayat di atas sebagai ungkapan atas Wujud dan Dzat Allah SWT (فالوجه عبارة عن وجوده وذاته سبحانه) Abu al-Ma’ali berkata, yang dimaksud wajah (وجه ) menurut elit ulama adalah Wujud Allah SWT Sang Maha Pencipta. Segala apa yang ada di dunia akan sirna (fân) kecuali Wujud dan Dzat Allah SWT.<br /> <br />Firman Allah surat al-Lail (92): 20<br />إلا ابتــغآء وجه ربه الأعلى<br />tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi.<br /> Dalam tafsir Ibn Katsir dijelaskan, ayat di aatas (إبتغآء وجه ربه الأعلى) yaitu sikap ambisius untuk dapat “menyaksikan” Allah dalam taman-taman surga kehidupan di akhirat (اى طمعا فى أن يحصل له رؤيته فى الدار الأخرة فى روضات الجنان ). <br /><br />E. Konklusi<br /><br />1. Muhkamât yaitu yang kandungannya jelas, sehingga hampir-hampir tidak lagi dibutuhkan penjelasan tambahan untuknya, atau yang tidak mengandung makna selain yang terlintas pertama kali dalam benak. Ada juga yang memahami ayat-ayat muhkamât dalam arti ayat-ayat yang mengandung perintah melaksanakan sesuatu atau larangan. <br />2. Mutasyâbihât yaitu yang serupa (makna) dengan yang lain. Kata ini (mutasyâbih) dalam penggunaannya, seringkali menunjuk kepada keserupaan dua hal atau lebih yang menimbulkan kesamaran dalam membedakan ciri masing-masing.<br />3. Dalam al-Qur’an Allah menyinggung tentang muhkam dan mutasyabih, namun tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai kategorisasi ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat.<br />4. Sebagian ulama berpendapat bahwa seluruh ayat al-Qur’an adalah muhkamat, sebagian berpendapat bahwa seluruhnya adalah mutasyabihat.© <br /><br /><br /><br />Daftar Pustaka<br /><br />Ali, Attabik, dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Yogyakarta, Yayasan Ali maksum Pondok Pesantren Krapyak: 1998), cet. III.<br />Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mush-haf asy-Syarif Medinah Munawwarah: 1422 H),<br />CD Program Al-Qur’an al-Karim, (Perusahaan Perangkat Lunak Sakhr: 1997), Keluaran V, version 6.5.<br />Hijazi, Muhammad Mahmud, Al-Tafsir al-Wâdhih, (Beirut: Dar al-Jail, 1413 H/1993 M) cet. X<br />Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Ciputat: Lentera Hati, 2000), vol. 2, cet. I.<br /><br /><br /><br /><br />Menyapa senja <br />Jakarta, 16 Pebr. 1994<br /> </span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3698954706276362070.post-82369619709965902022008-09-02T20:30:00.000-07:002008-09-02T20:35:44.508-07:00خطبة عيد الفطر<center><iframe align="center" id="IW_frame_26284" src="http://www.islamway.com/?iw_s=outdoor&iw_a=outlessons&lesson_id=26284" frameborder="0" allowtransparency="1" scrolling="no" width="330" height="155"></iframe></center>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3698954706276362070.post-57664698897007791202008-05-13T00:53:00.000-07:002009-01-29T02:44:40.169-08:00KUMPULAN KAIDAH FIKIH<div align="center"><span style="font-size:130%;"><span style="font-size:180%;"><span style="font-family: times new roman;font-family:verdana;font-size:100%;" >الْحُكْمُ يَدُوْرُمَعَ عِلَّتِهِ وَسَبَبِهِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا</span><br /></span><br /><em>Al-<u>h</u>ukmu yadûru ma'a 'illatihi wa sababihi wujûdan wa 'adaman</em><br /><br />Ada dan tidaknya hukum itu tergantung pada sebab ('illat)nya.<br /><br /><br /></span><span style="font-size:180%;"><span style="font-size:130%;"><span style="font-family: times new roman;">تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلأَمْكِنَةِ وَاْلأَزْمِنَةِ</span></span><br /></span></div><div align="center"><span style="font-size:130%;"><em>Taghayyur al-ahkâm bi taghayyur al- amkinah wal azminah</em><br /><br />Hukum itu berubah disebabkan perubahan tempat dan waktu.<br /><br /><br /><span style="font-size:180%;"><span style="font-size:130%;">مَالاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ</span><br /></span><br /><em>Mâ lâ Yatimmu al-Wâjibu illâ bihî fa Huwa Wâjib</em><br /><br />Suatu kewajiban tidak akan sempurna, kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu tadi hukumnya menjadi wajib.</span></div>Unknownnoreply@blogger.com0