10 Februari 2009

BAHASA

Dialek Arab
Oleh: Nur Rosihin Ana‎


I. Pendahuluan
Bahasa merupakan alat komunikasi yang penting. Dalam Dekla¬ra¬si Sumpah ‎Pemuda 1928 terdapat slogan yang mengangkat kata bahasa: “Berta¬nah Air Satu, ‎Tanah Air Indonesia Berbangsa Satu, Bangsa Indonesia, Berbahasa Satu Bahasa ‎Indonesia”. Ada juga slogan “Bahasa adalah alat pemersatu bangsa”. ‎
Bangsa Arab sebelum kedatangan Islam adalah susunan masyarakat ber¬‎dasarkan kelompok-kelompok suku (kabilah). Sebagian besar hidup berpindah-‎pindah dalam kemah (karavan) dan oase. Keberadaan mataair (oase) sangat pen¬‎ting, sehingga seringkali terjadi pertikaian antar kabilah karena masalah mataair. ‎Sebab, suatu yang paradoks, di mana ada matair di situ ada kehidupan. Kehi¬du¬‎pan gurun pasir panas meranggas dan penuh misteri karena sewaktu-waktu badai ‎gurun datang menyapu lembah dan bukit, berdampak pada pembentukan sikap ‎dan karakter termasuk di dalamnya keras ketika berbicara. ‎
Suku-suku bangsa di kawasan Arab berkomunikasi dengan bahasa Arab. ‎Namun karena perbedaan latar belakang geografis, etnis, sejarah, menyebabkan ‎mereka berbeda dalam dialek (lahjah). Namun terlepas dari perbedaan yang ada, ‎bahasa Arab merupakan bahasa komunikasi resmi seluruh etnis yang ada di ‎kawasan Arab.‎

II. Pembahasan ‎

a.‎ Pengertian Dialek (lahjah). ‎
Menurut Hasan Shadily, Dialek (Yunani: dialektos), logat setempat atau ‎sedaerah yang berbeda dengan bahasa baku (standar), karena kelainan ucapan ‎dan aturan-aturan tata bahasa. Umpamanya bahasa Melayu ada dialek Deli, ‎Jakarta, Ambon, Johor (bahasa tulisan baku, bukan Riau seperti secara disangka ‎P.P. Rooda van Eysinga dan dijiplak yang lain-lain kemudian), Riau, dan dialek ‎Manado. Ukuran pembeda, apakah kita berhadapan dengan dialek atau dengan ‎bahasa, adalah derajat kemungkinannya untuk dipahami. Suatu dialek pada ‎umum¬nya atau dalam garis besarnya masih dapat dipahami para pemakai bahasa ‎baku atau dialek lain, sedangkan suatu bahasa tidak. Orang Sunda dapat mema¬‎hami dialek Sunda Brebes tapi tidak dapat memahami dialek Jawa Brebes, karena ‎bahasanya lain, tetapi orang jawa dari Surabaya tidak akan terlalu sukar mema¬‎hami dialek Jawa Brebes tersebut.‎ ‎ Sedangkan pengertian dialek (lahjah) menurut ‎Dr. A. Zaki Badawi:‎
تنبثق اللهجة من اللغات العامة وتتميز بخواص معينة من حيث النطق والقواعد ‏والكلمات ولكنها لا تتميز تميزا كافيا بحيث يجعل منها لغة مستقلة. وترتبط ‏اللهجة عادة بمناطق جغرافية معينة (‏dialect areas‏).‏

Pengertian di atas memberikan ilustrasi bahwa dialek adalah subsistem dari ‎bahasa. Bahasa resmi bangsa Indonesia adalah bahasa Indonesia. Namun di da¬‎lamnya terdapat berbagai dialek yang berbeda-beda. Bahasa Indonesia yang diu¬‎capkan orang yang berasal dari Demak, Solo, Yogyakarta berbeda dengan yang ‎diucapkan oleh orang Batak, Sunda, atau orang Jakarta (Betawi). Baik berbeda ‎dalam dialek maupun dalam tekanan suara (intonasi). Jakarta adalah Ibukota dan ‎pusat pemerintahan RI. Posisi ini menjadikan Jakarta sebagai benteng pertahanan ‎bahasa Indonesia. Namun justru penduduk Jakarta menggunakan bahasa dan ‎dialek yang diadopsi dari bahasa negara lain, khususnya bahasa Cina, seperti jigo, ‎cepek, ceban. ‎
Begitu juga yang terjadi di kota Mekah karena menjadi tempat transit para ‎pedagang. Di samping itu juga menjadi tujuan para peziarah Ka’bah untuk memuja ‎kepada patung-patung dewa yang berderet di sekitar Ka’bah. Sehingga terjadi ‎dinamika yang kurang sehat bagi perkembangan bahasa Arab. Para pengunjung ‎yang berasal dari berbagai penjuru kawasan Arab ini mempunyai dialek yang ‎berbeda. Di depan Ka’bah sering diadakan pentas apresiasi sastra (sya’ir), Setiap ‎kabilah mengirimkan penyair terbaiknya. Ketika satu persatu penyair membacakan ‎sya’irnya, muncul ragam dialek yang menjadi identitas suku tertentu. ‎
Bahasa resmi orang Arab adalah Bahasa Arab. Namun mereka mempunyai ‎dialek yang berbeda. Orang awam Yaman membaca/mengucapkan huruf jîm ‎dengan G (Jamal:Gamal), sebagian lagi di antara mereka mengucapkan sa atau ‎saufa dengan bâ. Suku Himyar mengucapkan al dengan am. Madrasah Lughah ‎Arab terdapat di Basrah dan Kufah.‎
‎ ‎
b.‎ Pengertian ‘Arab
Arti kata Arab (‘araba): bangsa atau orang Arab.‎ ‎ Kata ‘araba (‎عرب‎) dan ‎kata jadiannya disebut 21 kali dalam al-Qur’an. Disebut 6 kali dalam surat at-‎Taubah: 90, 97, 98, 99, 101, 120; Yusuf: 2; ar-Ra’du: 37; an-Nahl: 103; Thaha: ‎‎113; asy-Syu’ara: 195; al-Ahzab: 20; az-Zumar: 28; Fushshilat: 3 dan 44; asy-‎Syuura: 7; az-Zukhruf: 3; al-Ahqaaf: 12; al-Fath: 11 dan 16; al-Hujuraat: 14.‎
Ayat-ayat tersebut di atas pada garis besarnya berbicara tentang dua hal. ‎Pertama, tentang sikap orang-orang Arab Badwi, at-Taubah: ayat 90, 97, 98, 99, ‎‎101, 120; surat al-Ahzab: 20; surat al-Fath: 11 dan 16; dan surat al-Hujuraat: 14. ‎Dalam surat al-Taubah ayat 97‎‏:‏
الأعراب اشد كفرا ونفاقا واجدر الا يعلموا حدودما انزل الله على رسوله والله ‏عليم حكيم
‎“Orang-orang Arab Badwi itu, lebih sangat kekafiran dan kemu¬na¬fi¬‎kannya, dan lebih wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang ‎diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi ‎Maha Bijaksana.”‎

Menurut pakar bahasa al-Azhari, kata al-A’râb (‎الأعراب‎) di atas menunjuk ‎siapapun yang tinggal yang jauh dari perkotaan atau tempat pemukiman umum, ‎baik orang Arab maupun orang bukan Arab, dan baik yang tinggal di wilayah Arab ‎atau bukan. Karena itu, tulis al-Jamal, mengutip pendapat al-Azhari, sungguh keli¬‎ru menduga kata ini adalah jamak dari kata ‘arab (‎عرب‎) karena yang dinamakan ‎orang Arab adalah yang dapat berbahasa Arab, baik yang tinggal di pemukiman ‎umum perkotaan/pedesaan maupun yang jauh di puncak gunung atau para ‎nomaden. Di sisi lain, perlu diingat, bahwa yang dimaksud ayat ini bukan semua ‎Badwi dan penduduk yang jauh dari pemukiman. Para a’râb (‎أعراب‎) itu, karena ‎jauhnya tempat tinggal mereka dari kota dan tempat pemukiman, maka mereka ‎hidup dalam kebiasaan mereka, antara lain berterus terang, dan berpegang teguh ‎pada keyakinan dan adat istiadat mereka. Keberanian, kedermawanan, keeng¬ga¬‎nan ditindas merupakan sifat mereka yang terpuji. Tetapi karena jauh dari per¬‎kotaan, mereka tidak mengenal basa-basi, tidak mendengar tuntunan-tuntunan ‎dan budi pekerti Rasulullah secara langsung. Maka wajar jika mereka tidak me¬‎ngetahui batas-batas ajaran agama.‎ ‎ ‎
Bangsa Arab dikenal sebagai suku nomad, tidak menetap, suka berpindah-‎pindah karena alasan sebagaimana tersebut di atas. Saya berasumsi bahwa kata ‎urban (‎عربان‎), bentuk masdar dari kata ‘araba yang seringkali dijumpai dalam ‎pembahasan ilmu-ilmu sosial, merupakan kata yang diadopsi dari bahasa Arab. ‎Masyarakat urban adalah masyarakat yang tinggal di perkotaan atau di pedesaan ‎namun bukan penduduk asli (pendatang). Mereka eksodus baik secara berkelom¬‎pok atau sendiri-sendiri meninggalkan desa mereka menuju kota atau desa lain ‎untuk bekerja, belajar dan berbagai keperluan lainnya. Sehingga penggunaan kata ‎urban, urbanisasi, dengan arti sebagaimana di atas itu dinisbatkan dengan ‎karakter orang Arab yang nomaden. ‎
Kedua, tentang diturunkannya al-Qur’an dengan bahasa Arab, dalam surat ‎Yusuf: 2; ar-Ra’du: 37; an-Nahl: 103; Thaha: 113; asy-Syu’ara: 195; az-Zumar: 28; ‎Fushshilat: 3 dan 44; asy-Syuura: 7; az-Zukhruf: 3; al-Ahqaaf: 12. ‎
‏{انا انزلناه قرآنا عربيا} {وكذلك انزلناه حكما عربيا} ‏
‏{وهذا لسان عربي مبين} {وكذلك انزلناه قرآنا عربيا...} ‏
‏{بلسان عربي مبين} { قرآنا عربيا غير ذى عوج لعلهم يتقون} ‏
‏{كتاب فصلت آياته قرآنا عربيالقوم يعلمون} ‏
‏{ولو جعلناه قرآنااعجميالقالوا لولا فصلت اياتهءاعجمي وعربي} ‏
‏{وكذلك اوحينااليك قرآنا عربيا} {انا جعلناه قرآنا عربيا لعلكم تعقلون} ‏‏{...وهذا كتاب مصدق لسانا عربيا...}‏

Menurut Dr. Jawwad, kata lughat (‎لغة‎) menggunakan arti lahjah (‎لهجه‎, dialek), ‎seperti perkatakaan: bahasa suku Qurays, Hudzail, Tsaqif, maksudnya adalah ‎dialek-dialek mereka. Bahasa al-Qur’an bukanlah salah satu dari lughat (lahjah) ‎Arab. Karena al-Qur’an diturunkan sifatnya ‘araby, maksudnya al-Qur’an diturun¬‎kan dengan menggunakan bahasa seluruh orang Arab (‎بلسان جميع العرب‎). Makna ‎kata-kata ‎لسان عربي‎ dalam al-Qur’an sebagaimana di atas, penggunaan kata ‎‏ لسان ‏‎ ‎adalah sebagai pengganti (badal) dari kata lughat (‎لغة‎) yang berfungsi memperkuat ‎pengertian bahwa bahasa al-Qur’an bukanlah salah satu dari bahasa (lahjah) ‎orang Arab, melainkan meliputi seluruh bahasa (lisan) orang Arab.‎ ‎ ‎


c.‎ Munculnya Bahasa, Dialek (lahjah)‎
Klasifikasi manusia dalam entitas etnis dan bangsa adalah fitrah dari Allah ‎SWT. Hal ini sebagaimana nash dalam al-Qur’an: ‎
يأيهاالناس انا خلقنكم من ذكر وانثى وجعلنكم شعوبا وقبائل لتعارفوا ان اكرمكم ‏عند الله اتقكم ان الله عليم خبير الله ‏
‏"‏Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang ‎laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-‎bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. ‎Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ‎ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya ‎Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (al-Hujurat, 49: 13). ‎

Bangsa merupakan sebuah institusi yang universal. Dalam bangunan se¬‎buah bangsa terdapat subsistem yang dinamakan suku. Kemudian dalam sub¬‎sistem suku terdapat kelompok-kelompok. Subsistem terkecil dari bangsa adalah ‎keluarga kemudian individu-individu. Penafsiran ayat di atas menurut Ibnu Katsir: ‎
وجعلهم شعوبا وهى أعم من القبائل وبعد القبائل مراتب أخر كالفصائل والعشائر ‏والعمائر والأفخاد وغير ذلك وقيل المراد بالشعوب بطون العجم وبالقبائل بطون ‏العرب... ‏

Allah menjadikan kamu berbangsa-bangsa. Kata berbangsa-bangsa ‎‎(‎شعوبا‎) lebih umum dari suku-suku. Subsistem dari suku-suku seperti ‎fashail, ‘asya’ir, ‘amair dan afkhad dan lain-lain. Ada yang mengata¬‎kan, yang dimaksud dengan syu’ûb (‎شعوب‎) adalah klan ajam ‎sedangkan qabâil (‎قبائل‎) adalah klan Arab…”‎ ‎ ‎

Bangsa adalah perkumpulan orang-orang karena didorong oleh faktor ‎keturunan, kesamaan budaya, bahasa atau agama. Kumpulan orang-orang terse¬‎but tinggal di sebuah wilayah tertentu, membuat aturan-aturan sebagai landasan ‎hidup berbangsa demi terciptanya stabilitas politik, sosial, ekonomi, budaya, per¬‎tahanan dan keamanan. ‎
Manifestasi konsep ta’aruf antar individu, bangsa dan suku adalah dengan ‎menggunakan bahasa sebagai sarana komunikasi. Karena faktor bahasa, komu¬ni¬‎kasi akan mengalami hambatan cukup signifikan, menimbulkan salah persepsi, ‎bahkan bisa memicu konflik berkepanjangan. Sehingga tepatlah jika dikatakan ‎bahwa bahasa merupakan alat perekat pemersatu bangsa. Seseorang akan ‎merasa segan berinteraksi dengan orang lain jika gagap dalam berbahasa, baik ‎karena tidak mampu berbahasa dengan baik dan benar, atau karena tidak ‎memahami bahasa orang lain. Apalagi jika masing-masing mempunyai dialek yang ‎berbeda dan perbedaan itu mempunyai konotasi berlawanan dari segi arti. Misal¬‎nya ada pertanyaan “Saya ingin menuju ke Cafe Semanggi, dari Jembatan Se¬‎manggi arahnya terus ke mana? Yang ditanya menjawab “Tahu” (menurut dialek ‎Jakarta, kata ini berarti tidak tahu). ‎
Dengan demikian, bahasa, dialek lahir dari keberadaan sebuah bangsa, su¬‎ku. Suatu bangsa, misalnya bangsa Indonesia, mempunyai bahasa resmi yaitu ‎bahasa Indonesia. Namun karena faktor geografis, budaya, sejarah suku yang ‎berbeda-beda, melahirkan dialek yang berbeda pula. ‎

d. ‎ Kanibalisme Bahasa
Istilah kanibal seringkali digunakan dalam dunia binatang (zoology), ter¬‎masuk di dalamnya adalah manusia. Kanibal diartikan sebagai manusia pemangsa ‎manusia. Kanibalisme bahasa adalah kondisi dimana satu bahasa menjadi punah ‎karena dimangsa oleh bahasa lainnya. Dalam hal ini, penulis ingin meminjam teori ‎Antonio Gramsci tentang hege¬moni. Mansour Fakih, dalam pengantar buku Gaga¬‎san-Gagasan Politik Gramsci ‎ mengatakan: “Bagi Gramsci, proses hegemoni ter¬‎jadi apabila cara hidup, cara berpikir dan pandangan pemikiran masyarakat bawah ‎terutama kaum proletar telah meniru dan menerima cara berpikir dan gaya hidup ‎dari kelompok elit yang mendominasi dan mengeksploitasi mereka.”‎ ‎ Menurut ‎Gramsci, hegemoni berarti penguasaan satu bangsa terhadap bangsa lainnya, ‎atau menggunakan pengertian yang lebih umum, yaitu penguasaan antarbangsa ‎atau antara kota dan desa.‎
Hegemoni negara atau beberapa negara terhadap negara atau beberapa ‎negara lainnya berdampak pada pudarnya struktur politik, sosial, ekonomi, budaya, ‎pertahanan dan keamanan negara yang dikuasai. Bahasa resmi sebuah negara ‎yang hidup di bawah bayang-bayang hegemoni negara asing, sedikit demi sedikit ‎dimasuki oleh bahasa tersebut. Di masa penjajahan Belanda, masyarakat Indone¬‎sia tidak asing, bahkan ada yang menguasai bahasa Belanda. Sampai sekarang ‎sistem hukum di Indonesia masih masih didominasi sistem hukum produk Belanda ‎yang sebenarnya sudah tidak relevan lagi. ‎
Kondisi ironis bersimbah tragis juga dialami negara-negara dunia Islam. ‎Kebodohan, Keterpurukan yang melingkupi sebagian besar negara-negara Islam, ‎berdampak pada kemunduran peradaban. Islam yang pernah tampil gemilang di ‎pentas peradaban, kini jatuh lunglai tak berdaya menatap peradaban Barat. Ketika ‎Islam sedang naik daun di pentas, penemuan demi penemuan menggunakan label ‎berbahasa Arab. Dalam kondisi sekarang, ketika penemuan-penemuan di bidang ‎iptek dikuasai oleh dunia Barat, maka label yang dipakai menggunakan bahasa ‎mereka. ‎
Kamus bahasa Arab kedodoran mencari padanan kata untuk sebuah pe¬‎nemuan, misalnya apa bahasa Arabnya komputer dan satuan-satuannya, seperti ‎mouse, keyboard, CPU, processor, cd room, web site dan program aplikasinya. ‎Dalam kamus Arab makna kata telepon di samping dengan menggunakan kata ‎aslinya (al-telephone), juga memakai kata al-hatif. Ketika ditemukan handphone, ‎apakah bisa masuk dalam kategori al-hatif (?). Lain halnya jika penemuan itu ‎berasal dari orang Islam. ‎
Hal ini merupakan proses terjadinya kanibalisme atau hegemoni bahasa. ‎Bahasa Inggris, Jepang, Cina, Korea tampil menghiasi produk barang, jasa dan ‎produk budaya. Sementara negara-negara Islam yang kaya karena minyak tapi ‎kebekuan menyelimuti otak mereka, sudah cukup berbangga ria mengkonsumsi ‎produk-produk Barat. Sedangkan bagi negara Islam yang terpuruk memeluk ke¬‎mis¬kinan, hanya bisa ternganga menatap kemegahan bangsa lain seraya me¬‎ngangkat kitab suci yang tak berbunyi. ‎

III. Konklusi
‎1.‎ Dialek adalah logat setempat atau sedaerah yang berbeda dengan bahasa ‎baku (standar), karena kelainan ucapan dan aturan-aturan tata bahasa.‎
‎2.‎ Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa (lisân) Arab yang jelas ‎yang dipakai oleh seluruh orang Arab, bukan dengan salah satu bahasa ‎‎(lahjah) suku tertentu.‎
‎3.‎ Lahirnya dialek disebabkan oleh faktor perbedaan gografis, antropologis.‎
‎4.‎ Kanibalisme bahasa terjadi karena faktor hegemoni politik, sosial, budaya, ‎pertahanan dan keamanan dan Iptek oleh satu bangsa terhadap bangsa ‎lainnya. ‎


Daftar Pustaka


Ali, Attabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, ‎‎(Yogyakarta, Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak: 1998), cet ‎III.‎
Bâb (al), Ja’far Dak, Asrâru al-Lisân al-‘Araby, (Damaskus, Al-Ahali Lithibâ’ati wa ‎al-Nasyr: 1990), cet. II,‎
Badawi, A. Zaki, Mu’jam Musthalahât al-‘Ulûm al-Ijtimâ’iyyah, (Beirut, Librairie Du ‎Liban: 1986), New Impression.‎
CD Holy Qur’an Version 6.5, Tafsir Ibn Katsîr, (Perusahaan Perangkat Lunak ‎‎“Sakhr”, 1997), Keluaran Kelima.‎
Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Ummat Islam, terjemahan, (Jakarta: PT ‎RajaGrafindo Persada, 2000), Bagian Kesatu dan Dua, cet. II.‎
Shadily, Hasan, et. al., Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta, PT Ichtiar van Hove: tth) ‎Edisi khusus, jilid 2.‎
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, (Jakarta, Lentera Hati: 2001), cet. I, jilid V.‎
Simon, Roger, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci, terjemahan, (Yogyakarta, ‎Pustaka Pelajar: 1999), cet. 1.‎


Menyaring suara sunyi
Jakarta, 10 Mei 2004 ‎


Selengkapnya.....

KESEJAHTERAAN SOSIAL DALAM ISLAM

Konsep Al-Qur’an tentang Kesejahteraan Sosial
Oleh: Nur Rosihin Ana

I. Pendahuluan
Manusia diciptakan Allah SWT dalam kondisi merdeka. Manusia tidak tun¬‎duk kepada siapapun kecuali kepada-Nya. Hal ini merupakan cermin kebebasan ‎manusia dari ikatan-ikatan perbudakan. Bahkan misi kenabian Muhammad SAW ‎adalah melepaskan manusia dari beban dan rantai yang membelenggunya (al-‎A’râf: 157). Setiap manusia, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat, ‎mempunyai kebebasan dalam berpikir, bertindak (berusaha), dan ber¬sikap dalam ‎rangka menciptakan kehidupan yang sejahtera, baik spirituil maupun materiil.‎
Akan tetapi, kebebasan manusia sebagai individu atau kelompok, tidak bisa ‎dilepaskan dari individu atau kelompok lainnya. Kepentingan individu harus ‎dikorbankan jika bertentangan dengan kepentingan yang menyangkut hajat hidup ‎orang banyak.‎
Kesejahteraan sosial terkait erat dengan keadilan sosial (al-‘adâlah al-‎Ijtimâ‘iyyah). Kesejahteran sosial hanyalah idiom-idiom kosong yang melambung di ‎ruang hampa manakala melupakan prasyarat yang paling signifikan yaitu keadilan. ‎Sebab kesejahteraan sosial merupakan tujuan (goal) yang ingin dicapai, sedang¬‎kan keadilan sosial merupakan shirâthal mustaqîm menuju kesuksesan penca¬‎paian tujuan. Dengan demikian, keadilan di semua bidang, baik materiil maupun ‎spirituil, akan membawa ke arah terciptanya kesejahteraan. ‎
Islam sangat respek dengan tema-tema tentang kesejahteraan sosial. ‎Dalam bidang ekonomi, Islam mengatur distribusi kekayaan agar tidak hanya ‎beredar di kalangan para konglomerat (kay lâ yakûna dûlatan bayna al-aghniyâ’ ‎minkum: al-Hayr: 7). Di samping perannya sebagai agama yang menyeru kepada ‎ajaran tauhid, Islam juga berperan sebagai agama advokasi. Hal ini tergambar dari ‎antusiasme ajaran Islam yang mempunyai keberpihakan kepada kelompok lemah ‎‎(mustadh‘afîn) lewat program zakat. Program zakat meru¬pa¬kan program yang ‎bermuatan ritual dan sosial. Sebagai program ritual, zakat ada¬lah implementasi ‎dari rasa syukur individu atas karunia (kekayaan) yang dibe¬rikan oleh Allah. ‎Sedangkan sebagai program sosial, zakat berfungsi sebagai program aksi ‎pemerataan distribusi dalam rangka mengurangi jumlah kemiskinan. ‎
Dalam pengelolaan negara, Islam memberikan panduan bagi pemimpin ‎negara agar dalam pengambilan keputusan dan kebijakan senantiasa berpihak ‎atas nama kesejahteraan rakyatnya (‎تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة‎). Bukan dalam ‎rangka membangun kekuasaan, menumpuk kekayaan dan mengumbar janji. ‎Semoga dalam Pemilu Presiden 5 Juli 2004 yang akan datang bisa melahirkan ‎figur pemimpin yang adil sehingga mampu menyibak fajar kesejahteraan merekah ‎cerah di wajah masyarakat yang lelah menahan resah.‎
‎ ‎
II. Pembahasan
a. Pengertian
a.1. Kesejahteraan
Kesejahteraan berasal dari kata dasar sejahtera: aman sentosa dan ‎makmur; selamat (terlepas dari segala macam gangguan, kesukaran, dan ‎sebagainya). Kesejahteraan: hal atau keadaan sejahtera; keamanan, keselamatan, ‎ketenteraman, kesenangan hidup, dan sebagainya; kemakmuran. Dalam definisi ‎lain dijelaskan, kesejahteraan:‎
الرفاهية: الحالة التى تتحقق فيها الحاجات الاساسية للفرد والمجتمع من غداء وتعليم وصحة ‏وتأمين ضد كوارث الحياة.‏
‎“Kesejahteraan (welfare) adalah kondisi yang menghendaki ‎terpenuhimya kebutuhan dasar bagi individu atau kelompok baik berupa ‎kebutuhan makan, pendidikan, kesehatan, sedangkan antitesa dari ‎kesejahteraan adalah kesedihan (bencana) kehidupan”. ‎



a.2. Kesejahteraan Sosial ‎
Kesejahteraan sosial: keadaan sejahtera masyarakat.‎ ‎ Sedangkan dalam ‎Mu’jam Musthalahâtu al-‘Ulûm al-Ijtimâ’iyyah dijelaskan:‎
الرفاهية الاجتماعية: نسق منظم من الخدمات الاجتماعية والمؤسسات يرمى الى مساعدة ‏الافراد والجماعات للوصول الى مستويات ملا ئمة للمعيشة والصحة كما يهدف الى قيام علاقات ‏اجتماعية سوية بين الافراد بتنمية قدراتهم وتحسين الحياة الانسانية بما يتفق مع حاجات المجتمع.‏
‎“Kesejahteraan sosial: sistem yang mengatur pelayanan sosial dan ‎lembaga-lembaga untuk membantu individu-individu dan kelompok-‎kelompok mencapai tingkat kehidupan, kesehatan yang layak dengan ‎tujuan menegakkan hubungan kemasayarakatan yang setara antar ‎individu sesuai dengan kemampuan pertumbuhan (development) ‎mereka, memperbaiki kehidupan manusia sesuai dengan kebutuhan-‎kebutuhan masyarakat”. ‎

Dari ragam definisi di atas, pada intinya, kesejahteraan sosial menuntut ‎terpenuhinya kebutuhan manusia yang meliputi kebutuhan primer (primary needs), ‎sekunder (secondary needs) dan kebutuhan tersier. Kebutuhan primer meliputi: ‎pangan (makanan) sandang (pakaian), papan (tempat tinggal), kesehatan dan ‎keamanan yang layak. Kebutuhan sekunder seperti: pengadaan sarana ‎transportasi (sepeda, sepeda motor, mobil, dsb.), informasi dan telekomunikasi ‎‎(radio, televisi, telepon, HP, internet, dsb.). kebutuhan tersier seperti sarana ‎rekereasi, entertaimen. Kebutuhan-kebutuhan ini berdasarkan tingkatan (maqâm) ‎individu. Artinya untuk tingkat masyarakat kelas menengah, kebutuhan akan mobil ‎pribadi untuk menunjang mobilitas aktivitas yang tinggi, masuk dalam kategori ‎kebutuhan primer. Sedangkan untuk kelompok ekonomi menengah ke bawah, ‎mobil pribadi merupakan barang lux dan masuk kategori kebutuhan sekunder. Tiga ‎kategori kebutuhan di atas bersifat materiil sehingga kesejahteraan yang tercipta ‎pun bersifat materiil.‎
Kesejahteraan sosial akan tercipta dalam sistem masyarakat yang stabil, ‎khususnya adanya stabilitas keamanan. Stabilitas sosial, ekonomi tidak mungkin ‎terjamin tanpa adanya stabilitas keamanan (termasuk di dalamnya stabilitas ‎politik). Hal ini sebagaimana do’a Nabi Ibrahim dalam surat al-Baqarah: 126‎
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا ءَامِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ ءَامَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ ‏الْآخِرِ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلًا ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ(126)‏
‎ “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdo`a: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ‎ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan ‎kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan ‎hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun Aku ‎beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa ‎neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali" (al-Baqarah: 126).‎

Kata balad disebut 8 kali dalam al-Qur’an, surat al-A’râf: 57 dan 58, Ibrâhim: ‎‎35, an-Nahl: 7, Fâthir: 9, al-Balad: 1 dan 2, at-Tîn: 3. Kata ini mempunyai arti: ‎negeri, daerah, tanah, kota. Tafsir dari kata baladan âminan dalam ayat di atas ‎adalah sebagai berikut:‎
ابن كثير: رب اجعل هذا بلدا امنا، اى من الخوف لا يرعب اهله. القرطبى: بلدا امنا، يعنى ‏مكة، فدعا لذريته وغيرهم بالامن ورغد العيش.‏
Menurut Ibnu Katsir, kata-kata rabbij‘al hâdzâ baladan âminan, ‎maksudnya adalah aman dari rasa takut yang menyelimuti warga negeri. ‎Sedangkan menurut al-Qurthubi, negeri yang aman itu adalah negeri ‎Mekah, Ibrahim berdo’a untuk keluarga dan penduduk negeri agar ‎tercipta stabilitas keamanan dan kenyamanan dalam kehidupan. ‎

Sebuah negara yang stabilitas keamanannya rawan akan berpengaruh ‎terhadap berbagai sektor kehidupan lainnya. Kinerja sektor ekonomi yang ‎merupakan faktor penyangga kesejahteraan akan terganggu bahkan terbengkelai ‎sama sekali. Begitu pula stabilitas politik. Fakta menunjukkan bahwa negara-‎negara dunia ketiga yang terus dilanda kemelut krisis dalam negeri seperti ‎membengkaknya hutang, angka pengangguran, dan berseminya kawasan kumuh ‎dan miskin (kumis) disebabkan karena stabilitas keamanan dan politik yang labil. ‎Ironisnya, justru tingkat korupsi merajalela di negara-negara dunia ketiga ini. ‎Sebuah ilustrasi, dalam catatan sejarah selama lima kali suksesi kepemimpinan ‎nasional di Indonesia selalu didahului oleh peristiwa-peristiwa yang mengundang ‎kerawanan sosial, politik dan keamanan (sospolkam). Kerawanan-kerawanan ini ‎mengakibatkan gejolak (rush) dalam bidang ekonomi, seperti terjadinya depresiasi ‎nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, menurunnya suku bunga SBI, ‎menurunnya indeks perdagangan di bursa saham yang berarti melemahnya ‎investasi.‎

b. Konsepsi Islam Tentang Kesejahteraan Sosial ‎
Islam sebagai ajaran sangat peduli dengan kesejahteraan sosial. ‎Kesejahteraan social dalam Islam pada intinya mencakup dua hal pokok yaitu ‎kesejahteraan social yang bersifat jasmani dan rohani. Manifestasi dari ‎kesejahteraan sosial dalam Islam adalah bahwa setiap individu dalam Islam harus ‎memperoleh perlindungan yang mencakup lima hal: ‎
Pertama, agama (al-dîn), merupakan kumpulan akidah, ibadah, ketentuan ‎dan hukum yang telah disyari‘atkan Allah SWT untuk mengatur hubungan antara ‎manusia dengan Allah, hubungan antara sebagian manusia dengan sebagian yang ‎lainnya. Kedua, jiwa/tubuh (al-nafs), Islam mengatur eksistensi jiwa dengan men¬‎cip¬takan lembaga pernikahan untuk mendapatkan keturunan. Islam juga melin¬du¬‎ngi dan menjamin eksistensi jiwa berupa kewajiban memenuhi apa yang menjadi ‎kebutuhannya, seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, qishash, diyat, ‎dilarang melakukan hal yang bisa merusak dan membahayakan jiwa/tubuh.‎
Ketiga, akal (al-‘aql), melindungi akal dengan larangan mengkonsumsi ‎narkoba (khamr dan segala hal yang memabukkan) sekaligus memberikan sanksi ‎bagi yang mengkonsumsinya. Keempat, kehormatan (al-‘irdhu), berupa sanksi ‎bagi pelaku zina dan orang yang menuduh zina. Kelima, kekayaan (al-mâl), ‎mengatur bagaimana memperoleh kekayaan dan mengusahakannya, seperti ‎kewajiban mendapatkan rizki dan anjuran bermua‘amalat, berniaga. Islam juga ‎memberi perlindungan kekayaan dengan larangan mencuri, menipu, berkhianat, ‎memakan harta orang lain dengan cara tidak benar, merusak harta orang lain, dan ‎menolak riba.‎ ‎ ‎
Kelima pilar asasi ini menjadi apresiasi, advokasi dan proteksi Islam dalam ‎rangka mewujudkan kesejahteraan sosial. Berkenaan dengan perlindungan jiwa, ‎harta dan kehormatan manusia, Allah berfirman:‎
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ ‏يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ ‏يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ(11)‏
Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok ‎kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik ‎dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita ‎‎(mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita ‎‎(yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan ‎janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil ‎memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ‎ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman‏ ‏dan barangsiapa yang tidak ‎bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (al-Hujurât: 11).‎

Menghina orang lain adalah perbuatan yang tercela. Orang yang menghina ‎belum tentu lebih baik dari yang dihina. Seringkali ada orang menghina orang lain ‎karena alasan kedengkian, kecemburuan. Penghinaan juga bisa berakibat fatal ‎seperti adu mulut, perkelahian hingga pembunuhan. Dalam tayangan di media ‎massa, banyak sekali kasus perkelahian, baik perkelahian tunggal maupun ‎pengeroyokan hingga perkelahian massal yang mengakibatkan korban luka dan ‎meninggal berjatuhan, pembunuhan yang bermula dari sebuah penghinaan. Orang ‎yang dihina, terutama jika penghinaan itu terjadi di depan publik, bisa menuntut ke ‎muka pengadilan karena merasa harga dirinya direndahkan. ‎
‎ ‎
c. Hakikat Kesejahteraan Sosial
Kesejahteraan sosial di dunia bersifat sementara bahkan semu adanya. ‎Pada kurun waktu tertentu mungkin masyarakat hidup damai sejahtera. Namun ‎dalam waktu seketika kesejahteraan itu punah karena konflik massal yang dipicu ‎oleh ketidakpuasan suatu kelompok. Ambisi manusia yang keluar dari konteks ‎kemanusiaan seperti ambisi politik, jabatan, kekuasaan, seringkali merupakan ‎picu-picu dalam sekam yang suatu saat bisa meledakkan konflik horizontal dan ‎meluluhlantakkan bangunan kesejahteraan sosial. ‎
Dalam ranah sejarah kekhalifahan Islam, terdapat tiga generasi yang ‎masing-masing mempunyai ciri tersendiri: pertama, generasi yang berkorban ‎membangun dan mengembangkan sayap kekhalifahan. Sarana suprastruktur ‎diciptakan untuk mengatur struktur roda pemerintahan, sarana infrastruktur ‎dibangun untuk kesejahteraan sosial. Kedua, generasi penikmat kekhalifahan. ‎Generasi ini menuai jerih payah generasi sebelumnya dan tidak banyak ‎mempunyai inisiatif karena kemakmuran dan kesejahteraan sosial sudah mapan ‎pada masa generasi sebelumnya. Ketiga, generasi perusak. Khalifah hanya sibuk ‎dalam kenikmatan dunia (hedonis), sering berpesta pora dan lupa akan ‎kesejahteraan rakyatnya. Rakyat diperas dengan upeti dan pajak tinggi untuk ‎membiayai ambisi pribadi khalifah. Pada kondisi ini khalifah dan para hulubalang ‎lupa dengan peran dan fungsinya. Sementara kekhalifahan berada di atas ujung ‎tanduk kehancuran. Di sisi lain, ada kekuatan asing yang siap mengintai lalu dan ‎menyerbu mereka yang sedang terkapar lemas bermandikan anggur dan minuman ‎keras. Sebetulnya Allah seringkali menjanjikan kesejahteraan bagi manusia. Akan ‎tetapi manusia seringkali lupa, berpaling dari kebenaran. Firman Allah: ‎
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ ‏بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ(96)‏
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, ‎pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan ‎bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa ‎mereka disebabkan perbuatannya (al-A’râf: 96).‎

Penduduk suatu negara yang ingkar nikmat akan menuai laknat. Kekayaan ‎alam yang melimpah, aneka tanaman dan tumbuhan, bahan-bahan tambang, baik ‎di daratan maupun di lautan merupakan sumber-sumber kehidupan yang bisa ‎dimanfaatkan dan dibudidaya untuk kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi karena ‎manusia tidak mensyukurinya lalu bertindak kerusakan sehingga bumi menjadi ‎gersang kering kerontang. Hujan rahmat berubah menjadi bencana erosi dan ‎banjir karena penggundulan hutan. Ikan-ikan di Teluk Jakarta mati karena limbah. ‎
Gambaran Kesejahteraan sosial yang hakiki hanya terjadi di alam surgawi. ‎sebagaimana kondisi Nabi Adam dan Istrinya, Hawa ketika berada di surga: ‎
فَقُلْنَا يَاآدَمُ إِنَّ هَذَا عَدُوٌّ لَكَ وَلِزَوْجِكَ فَلَا يُخْرِجَنَّكُمَا مِنَ الْجَنَّةِ فَتَشْقَى(117)إِنَّ لَكَ أَلَّا تَجُوعَ ‏فِيهَا وَلَا تَعْرَى(118)وَأَنَّكَ لَا تَظْمَأُ فِيهَا وَلَا تَضْحَى(119)‏
Maka kami berkata: "Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh ‎bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia ‎mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu ‎menjadi celaka. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya ‎dan tidak akan telanjang. dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa ‎dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya" ‎‎(Thâhâ: 117-119).‎

Tiada tangis yang menyayat pilu karena derita kelaparan, kemiskinan, ‎ketertindasan. Masyarakat penghuni surga tidak akan pernah merasa haus dan ‎lapar, resah dan gelisah. Tiada caci-maki, konflik yang terjadi di surga karena ‎kesejahteraan lahiriah dan dan batiniah menemukan bentuknya yang paling ‎sempurna. Tiada tayangan sumpah serapah, saling menghujat, slogan dan janji ‎pepesan kosong para politisi yang sedang mengincar kursi kekuasaan. Semuanya ‎hidup teratur, rukun tentrem kerto raharjo seraya senantiasa istighfar, bertasbih ‎dan berdzikir menyebut asma Allah.‎

Daftar Pustaka

Al-Qur’an al-Karim, Tafsir Ibn Katsir dan Tafsir al-Qurthubi, (Perusahaan ‎Perangkat Lunak “Sakhr: 1997), Keluaran ke-V versi 6.50.‎
Badawi, A. Zaki, Mu’jam Mushthalahâtu al-‘Ulûm al-Ijtimâ’iyyah, (Beirut, Maktabah ‎Lubnan: 1986), New Impression.‎
Khalaf, Abdul Wahab, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, (Jakarta, Al-Majlis al-A’la al-Indonîsî li al-‎Da’wah al-Islâmiyyah: 1972), cet. IX.‎
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus ‎Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka: 1996), cet. VII, edisi II.‎







Menghirup udara pagi,‎
Jakarta, 18 Mei 2004‎



Selengkapnya.....